Kamis, 31 Maret 2011

Hasan Bashri Pergi Haji

Diriwayatkan bahwa Hasan Bashri, seorang sufi terkenal, tersesat dalam perjalanan menuju haji. Dia menemui anak kecil dan menanyakan arah kepadanya. Ketika ia sudah menemui jalur yang harus ditempuh, anak kecil itu bertanya kepada Hasan Bashri. ''Syaikh, apa yang engkau kenakan dan makan?'' Syaikh menjawab ia memakai baju wol dan makan roti gandum untuk mengalahkan hawa syahwatnya.

Anak itu berkata kepadanya,''Makanlah dan pakailah apa yang engkau kehendaki sejauh itu halal.'' Lalu dia bertanya lagi di mana Hasan Bashri menginap. Dikatakan bahwa Hasan Bashri bermalam di gubuk yang terbuat dari kayu. ''Jangan berbuat zalim. Bermalamlah di manapun engkau kehendaki,'' tutur anak itu lagi.

''Andai engkau benar, aku akan melakukan apa yang engkau katakan.'' Anak kecil hanya tersenyum. ''Aku melihat engkau dalam keadaan lalai. Ketika aku tunjukkan tentang dunia, engkau menerimanya. Tapi ketika aku tunjukkan jalan akhirat, engkau menafikan perkataanku. Kembali ke rumahmu. Tak ada haji untukmu.''

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Menjaga Amanah

Ibrahim bin Adham pernah menjadi penjaga kebun milik orang kaya. Dia menjaga kebun tersebut dengan terus memperbanyak shalat. Satu hari, pemilik kebun meminta dipetikkan buah delima. Ibrahim mengambil dan memberinya. Tapi pemilik kebun malah memarahinya. Ia tersinggung karena diberikan buah delima yang asam rasanya.

''Apa kau tak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam?''

Ibrahim menjawab,''Aku belum pernah merasakannya.''

Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu. Pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. ''Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding engkau.''

Ibrahim menjawab,'' Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi.''

Di hari lain, majikan kembali meminta buah delima. Kali ini Ibrahim memberi yang terbaik menurut pengetahuannya. Tapi lagi-lagi pemilik kebun kecewa karena buah yang dia terima asam rasanya. Diapun memecat Ibrahim. Sufi besar itupun pergilah. Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria yang sekarat karena kelaparan. Ibrahim memberinya buah delima yang tadi ditolak majikannya.

Ibrahim lantas berjumpa lagi dengan pemilik kebun yang berniat membayar upahnya. Ibrahim berkata agar dipotong dengan buah delima yang ia berikan kepada orang sekarat yang ia jumpai. ''Apa engkau tak mencuri selain itu,'' tanya pemilik kebun. ''Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu.'' Setelah upahnya dibayar Ibrahim pun pergi.

Pemilik kebun, setahun kemudian, mendapat tukang baru. Dia kembali meminta buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling harum dan manis. Pemilik kebun itu bercerita bahwa ia pernah meiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu.

''Dia juga selalu shalat. Betapa dustanya dia,'' kata pemilik kebun.

Tukang kebun yang baru lantas berujar.''Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan singgahsananya karena zuhud.''

Pemilik kebun lantas mengambil debu dan menaburnya di atas kepalanya sembari menyesali, ''Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.''


Menikahi Wanita Ideal

Seorang teman bercerita kepada Mullah, "Wanita yang akan saya nikahi kaya, cantik, gadis, berkelakuan baik, dan pandai."

Mullah menjawab, "Aku takut Anda tidak akan memperoleh semua kualitas tersebut pada satu istri, kecuali kalau Anda akan menikahi lima wanita!"

Mengukur Panjang Dunia

Seorang teman Mullah bertanya padanya: "Mulla, berapa meterkah panjang dunia ini?"

Pada saat yang sama orang-orang mengusung petimati berisi jenazah ke kuburan.

Mullah menunjuk petimati itu dan berkata, "Tanya dia! Lihat, dia telah mengukurnya, menghitung, dan sekarang dia pergi!"

Bukan Urusanku

Keledai Nasrudin dicuri orang. Ia segera mengadu ke polisi.

"Mullah," ujar Kepala Polisi, "ini masalah serius. Kita akan berusaha keras agar keledai Tuan kembali. Di samping itu, Anda termasuk orang penting. Sekarang ceritakanlah dari mula, bagaimana hal itu bisa terjadi?"

"Karena aku tidak ada di sana, sulit bagiku untuk menceritakan urutan kejadian itu. Betul kan?" kata Nasrudin. "Di samping itu, bukan urusanku untuk mengetahui hal itu."

[dari humorsufi3]

Hadiah

Nasrudin punya sebuah kabar baik untuk sang Raja. Dan setelah dengan susah payah berusaha menghadap raja, akhirnya ia pun bisa menceritakan berita baik itu.

Raja tampak gembira mendengar cerita Nasrudin. "Pilih sendiri, hadiah apa yang kau inginkan," katanya.

"Lima puluh cambukan," kata Nasrudin.

Meskipun terheran-heran, Raja memerintahkan juga agar Nasrudin dicambuk.

Ketika cambukan sudah sampai ke yang dua puluh lima, Nasrudin berteriak: "Berhenti!"

"Sekarang," katanya, "bawa masuk temanku, dan beri ia setengah dari hadiah yang kuperoleh. Tadi aku telah bersumpah untuk memberinya setengah dari hasil yang kuperoleh karena kabar baik yang kusampaikan itu."


Sop Panas, Tangan Dingin

Seorang laki-laki yang mendengar bahwa Nasrudin adalah orang yang amat bijaksana, bertekad mengadakan perjalanan guna menemuinya. "Aku bisa mempelajari sesuatu dari orang bijaksana seperti ini," pikirnya.

"Dan, pasti ada metode-metode tertentu dalam kegilaannya. Aku sendiri pernah belajar di sekolah-sekolah metafisik. Ini akan membuatku bisa menilai dan mempelajari kegagalan orang lain."

Selanjutnya, ia mengadakan perjalanan yang amat melelahkan untuk sampai ke rumah Nasrudin yang kecil, berada di lereng sebuah bukit. Melalui jendela, laki-laki itu melihat Nasrudin sedang membungkuk di samping bara api, mencoba meniupnya ke arah tangannya yang ditekuk. Ketika kehadirannya diketahui, laki-laki ini bertanya kepada sang Mullah tentang apa yang sedang dikerjakannya.

"Menghangatkan tanganku dengan napasku," kata Nasrudin memberi tahu. Setelah itu, keduanya sama-sama diam, sehingga pencari ilmu ini mulai berpikir apakah Nasrudin bersedia membagi kebijaksanaannya.

Sekarang, istri Nasrudin ke luar membawa dua mangkuk kaldu. "Mungkin sekaranglah saatnya aku mempelajari sesuatu," kata si pencari ilmu kepada dirinya sendiri.

Dengan suara keras, ia bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan, Guru?"

"Meniup kalduku dengan napasku agar dingin," kata sang Mullah.

"Tak salah lagi, ini orang, pasti penipu," kata sang tamu kepada dirinya sendiri. "Tadi dia bilang, meniup agar panas, lalu barusan dia berkata, meniup agar dingin. Bagaimana aku bisa percaya dengan apa yang ia akan katakan kepadaku?"

Dan laki-laki itu pun pergi.

"Bagaimana pun, waktu tidak sia-sia," katanya kepada dirinya sendiri, ketika ia menuruni bukit.

"Paling tidak, aku sudah tahu bahwa Nasrudin itu bukan seorang guru."


Tangga yang Akan Dijual

Nasrudin memanjat sebuah dinding, lalu tangga yang dipakainya ditarik dan diletakkan di kebun tetangganya. Pemilik kebun ternyata memergokinya, dan bertanya apa yang sedang ia lakukan di sana.

"Aku... punya sebuah tangga yang akan kujual," ujar Nasrudin berimprovisasi.

"Dasar bodoh!" kata sang tetangga. "Kebun itu bukan tempat menjual tangga."

"Kamu yang tolol," kata Nasrudin. "Kamu belum tahu? Tangga itu bisa dijual di mana pun."

Anjing di Kakinya

Nasrudin sering berjalan-jalan di kuburan, memikirkan perihal kehidupan dan kematian. Suatu hari, ketika ia sedang asyik dengan kegiatannya itu, ia melihat seekor anjing galak sedang berada di dekat sebuah makam.

Dengan marah, diambilnya sebuah tongkat dan diusirnya anjing itu. Tapi si anjing hanya menggeram, dan sepertinya melotot akan melompat ke arahnya.

Nasrudin bukanlah orangnya yang mau begitu saja dihadapkan pada bahaya jika hal itu memang bisa dihindari. "Duduk saja di situ," katanya membujuk si anjing, "tidak apa-apa, selama engkau hanya meringkuk di kaki manusia yang telah mati itu."


Aku Percaya Engkau Benar

Suatu kali Nasrudin bertindak sebagai seorang hakim. Pada saat kasus diungkap, penuntut berbicara begitu memikat sehingga Nasrudin berteriak:"Aku percaya, engkau benar!"

Seorang petugas pengadilan membujuk Nasrudin agar bisa lebih menahan diri, karena pernyataan dari tertuduh belum lagi didengar.

Selanjutnya, Nasrudin juga begitu terpikat oleh kepandaian bicara si tertuduh sehingga ia langsung berteriak setelah orang itu menyelesaikan pernyataannya: "Aku percaya engkau benar!"

Petugas pengadilan merasa tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.

"Tuanku, tidak mungkin keduanya sama-sama benar."

"Aku percaya engkau pun benar!" kata Nasrudin.

Mengapa Unta Tak Punya Sayap

"Dari hari ke hari," kata Nasrudin kepada istrinya, "aku merasa semakin kagum akan penciptaan alam, dan segalanya yang ada di dunia ini dibuat demi kesejahteraan manusia."

Istrinya meminta Nasrudin memberi sebuah contoh.

"Misalnya saja, bahwa dengan rahmat Allah, unta-unta itu tidak punya sayap."

"Bagaimana hal itu bisa dikatakan membantu menyejahterakan kita?"

"Bayangkan! Kalau saja unta-unta itu punya sayap betapa mereka akan senang bertengger di atas rumah dan kemudian merusakkan atap, dan kemudian tidak peduli terhadap keributan yang mereka ciptakan itu."


Khotbah di Masjid

Oleh masyarakat Nasruddin diberi tugas untuk menyampaikan khotbah di masjid setiap hari Jumat. Rupanya tugas itu selalu berat baginya dan ia senantiasa mencari akal agar tidak usah berkhotbah setiap Jumat.

Pada suatu hari Jumat ia mempunyai suatu gagasan yang bagus. Ketika ia tampil di mimbar dan akan menyampaikan khotbahnya, ia berkata dengan suara keras, "Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara sudah mengetahui yang akan saya sampaikan dalam khotbah ini?"

Para jemaat itu tentu saja terkejut, menjawab, "Belum, kami belum tahu."

Dengan tenang Nasruddin berkata, "Wah, kalau Saudara belum tahu apa-apa mengenai hal yang begini penting, saya kira akan membuang-buang waktu saja bagi saya untuk berbicara mengenai itu."

Sehabis berbicara itu Nasruddin turun dari mimbar dan tidak jadi memberi khotbah.

Hari Jumat berikutnya ia tampil lagi di mimbar dan menyodorkan pertanyaan yang sama seperti pekan sebelumnya.

"Apakah Saudara-saudara tahu mengenai hal yang akan saya bicarakan hari ini?"

Kali ini para jemaat berpikir dan mereka ingat apa yang terjadi seminggu sebelumnya, jadi secara serentak mereka menjawab, "Kami sudah tahu."

Nasruddin pun berkata kepada mereka. "Lha, kalau semua sudah tahu apa yang akan saya sampaikan, saya kira akan membuang-buang waktu saja kalau saya memberi khotbah di sini sekarang."

Dan seperti juga minggu yang sebelumnya, kemudian ia turun mimbar tanpa memberikan khotbah.

Pada hari Jumat ketiga, Nasruddin kembali lagi di mimbar dengan pertanyaan yang sama. "Apakah Saudara-saudara tahu apa yang akan saya sampaikan?"

Kali ini para jemaat agak bingung, ada yang menjawab "Ya" dan ada yang menjawab "Tidak".

"Baiklah," kata Nasruddin. "Beberapa di antara Saudara-saudara tahu apa yang akan saya sampaikan, yang lain tidak tahu, jadi lebih baik yang tidak tahu itu bertanya kepada yang tahu."

Sehabis berbicara itu ia pun turun dari mimbar tanpa memberi khotbah sama sekali.

humor sufi II

Masalahnya Bertambah Sulit

Ketika Nasrudin menjadi hakim, seseorang datang dan berkata kepadanya, ''Lembu Anda telah menanduk perut sapiku hingga mati.''

Nasrudin menoleh sebentar dan menjawab, ''Ya, namun pemiliknya tidak dapat ikut campur. Itu urusan binatang dengan binatang.''

Lalu pria itu berkata, ''Maaf tuan, saya salah bicara, maksudku, maksudku, lembu sayalah yang menanduk perut sapi Anda hingga mati.''

Nasrudin terlihat sangat terkejut. ''Oh, kalau begitu, masalahnya bertambah sulit. Coba ambilkan buku yang bersampul kulit warna hitam di rak itu, aku akan mempelajarinya dulu.''

Kemana Larinya Daging Itu?

Suatu hari, Nasrudin membeli tiga potong daging. Setelah menaruhnya di rumah, ia kemudian pergi bekerja. Melihat daging di dapur, istri Nasrudin segera mengundang teman-temannya dan menghadirkan daging yang baru dibeli itu.

Pada sore harinya, saat Nasrudin pulang, ia menyuruh istrinya untuk segera menyiapkan makan malam untuknya. Sang istri hanya menyuguhkan roti dan air putih. Daging? Sudah habis disantapnya bersama teman-temannya.

Melihat menu makan malamnya itu, Nasrudin berkata pada istrinya, ''Jika kamu tidak memiliki cukup waktu untuk memasaknya, mengapa tidak kamu letakkan saja beberapa potong kecil daging itu di atas roti ini, sehingga bertambah lezat? Dengan begitu, tentu aku akan menyantapnya dengan lebih nikmat.''

Istrinya menjawab, ''Ada sesuatu yang menghalang-halangiku untuk memasaknya. Ketika aku sedang sibuk, tiba-tiba binatang peliharaan kesayanganmu itu mengambilnya. Tadi aku masuk ke dapur dan aku melihatnya sedang mengusap-usap mulutnya. Daging itu ternyata telah habis dimakan oleh kucing kesayanganmu itu.''

Maka, Nasrudin memandangi kucingnya, kemudian dia berdiri dan segera mengambil sebuah timbangan. Dia lalu mengangkat kucing itu dan menimbangnya. Ternyata berat kucing itu hanya tiga kilogram, persis sama seperti sebelumnya.

Nasrudin kemudian berkata pada istrinya, ''Hai wanita kurang iman, jika yang kutimbang ini adalah daging, lalu kemanakah kucing itu? Namun jika yang kutimbang ini adalah kucing kesayanganku, lalu kemanakah larinya daging itu?

Melihat Gajah

Adalah seekor gajah di rumah yang gelap. Beberapa orang Hindu membawanya untuk dipertunjukkan. Karena melihat dengan mata tak mungkin, setiap orang meraba dengan tangannya. Mereka lantas mendefinisikan gajah itu berdasar perabaannya saja.

Tangan yang seorang menyentuh belalainya. Ia berkata, ''Mahluk ini seperti pipa air.''

Yang lain meraba telinganya. Baginya gajah seperti kipas yang lebar. Yang lain memegang kakinya dan ia berkata, ''Aku dapati bentuk gajah seperti sebuah tiang.''

Yang lain meletakkan tangannya di punggungnya dan ia berkata, ''Sesungguhnya gajah ini menyerupai singgahsana.''

Setelah masing-masing memasang lilin di tangannya, perbedaan pun akan lenyap dari kata-kata mereka. Semua benar namun hanya sepotong-sepotong. Untuk melihat kebenaran, kita harus mempelajari banyak hal dan menyeluruh.

Engkau Adalah Aku

Seorang pria pergi ke rumah kekasihnya. Ia datang dan mengetuk pintu rumah perempuan yang dicintainya. ''Siapa itu?'' tanya sang kekasih.

Ia menjawab,''Aku.''

''Pergilah,'' kata sang kekasih lagi. Ini terlalu cepat; padahal di mejaku tak tersedia tempat buat yang masih mentah.

Betapa yang mentah kan dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat melepaskannya dari kemunafikan?

Dengan sangat kecewa, pria itu meninggalkan rumah kekasihnya. Selama satu tahun, api perpisahan membakar hatinya. Kemudian ia datang lagi dan melangkah menuju rumah kekasihnya.

Ia mengetuk pintu dan seratus harapan dan kecemasan, kalau-kalau dari bibirnya terlontar kata-kata yang tak berkenan.

''Siapa itu,'' tanya sang kekasih dari balik pintu. Pria itu menjawab,'' Engkau, wahai pesona segala hati.''

''Kini masuklah,'' kata sang kekasih. ''Karena Engkau adalah Aku. Di rumah ini tak ada tempat untuk dua Aku.''


Di Istana Sultan Demak

Konon, Nasruddin pernah berkunjung ke Tanah Jawa. Itu terjadi ketika ia masih muda dan penuh jiwa petualangan. Ketika itu ia ikut sebuah kapal dagang yang berlayar ke Timur Jauh, dan dalam perjalanan pulang ke Turki, kapal itu kebetulan mampir di sebuah bandar di pesisir utara Jawa.

Pada zaman itu, kehebatan Sultan Demak sudah didengarnya, karena itu kesempatan tersebut dipergunakan sebaik-baiknya untuk berkenalan langsung dengan Sultan.

Nasruddin mendapat keterangan bahwa Sultan tidak berkeberatan menerimanya, sebab ia pun ingin berkenalan dengan pemuda Turki yang terkenal cerdas itu.

Sebelum menghadap, Nasruddin mendapat keterangan terinci mengenai tata tertib keraton Jawa. Antara lain dikatakan oleh pegawai istana, "Nasruddin, kau harus selalu menyembah setiap kali berbicara dengan Sultan!" Lalu ia pun diajar bagaimana melakukan sembah.

Di depan Sultan, Nasruddin duduk bersila dengan tertib. "Kau yang bernama Nasruddin?" tanya Sultan.

"Benar, Yang Mulia," jawab Nasruddin sambil menyembah.

"Kau tinggal dimana?"

"Di Akshehir, Yang Mulia," jawabnya terus tetap menyembah tertib.

"Dekat Masjid Agung?" tanya Sultan.

Nasruddin ingin menunjukkan lokasi masjid di kotanya itu, tetapi ia ingat bahwa harus tetap menyembah kalau berbicara dengan Sultan; jadi ia menunjuk dengan kaki kanannya sambil berkata, "Masjid di sebelah sini, Yang Mulia."

"Dekat pasar?" tanya Sultan lagi.

"Pasar di sebelah sini, Yang Mulia," sambil berkata itu Nasruddin menunjuk dengan kaki kirinya, jadi sekarang kedua kakinya mekangkang.

"Dekat kelurahan?" tanya Sultan.

Nasruddin mulai bingung, ia harus menunjukkan tempat tetapi kedua tangannya untuk menyembah. Akhirnya tangannya yang kanan tetap nempel di hidung, yang sebelah kiri menunjuk, "Kelurahan di sebelah situ, Yang Mulia."

"Lantas, rumahmu sebelah mana?"

Tak ada lagi anggota badannya yang bisa dipakai untuk menunjukkan lokasi rumahnya. Akhirnya dikatakannya, "Rumah hamba di sebelah sana, Yang Mulia," dan sambil berkata itu ia meludah, tepat jatuh di hadapan Sultan.

Bosan terhadap Guru

Sekelompok anak sekolah yang sudah jenuh dengan guru mereka memutuskan untuk melepaskan diri darinya sejenak.

Salah seorang di antara mereka, yang lebih arif daripada yang lainnya, berkata "Aku akan masuk ke dalam kelas untuk mengatakan kepada guru: "Mengapa Bapak kelihatan begitu pucat?"

Lalu Hasan masuk ke dalam kelas dan bertanya kepada guru itu apakah dia sedang tidak enak badan. Lalu Asad, Karim, satu persatu, semuanya berkomentar sama."

Anak-anak itu melakukan apa yang sudah mereka rencanakan. Mulanya sang guru tidak begitu memperhatikan, tetapi lama lama dia menjadi yakin kalau dirinya benar-benar sakit. Dia merasa sakit hati kepada istrinya karena tidak memedulikan keadaan dirinya:

"Tadi pagi istriku bahkan tidak menanyakan kepadaku apa yang sedang kurasakan dan apakah aku sebaiknya tinggal di rumah saja, tidak usah mengajar. Barangkali dia berharap aku mati saja."

[humorsufi : M Farzan]

Syair yang Jelek

Amir kota membacakan sebuah syair yang digubahnya dan meminta pendapat Bahlul.

"Aku tidak menyukainya," sahut Bahlul.

Amir pun marah dan memerintahkan agar Bahlul dijebloskan ke dalam penjara.

Minggu berikutnya si amir memanggil Bahlul dan membacakan lagi di hadapannya syairnya yang lain.

"Bagaimana dengan yang ini?" tanyanya.

Bahlul segera bangkit berdiri.

"Hendak ke mana kamu?" tanya si amir.

"Ke penjara," jawab Bahlul.


Hantam Kepalamu

Seorang lelaki datang kepada seorang syekh sufi dan berkata:

"Aku capek jadi seorang zahid, dan keduniawian membuatku dingin. Apa yang harus kulakukan?"

Sufi itu menjawab: "Hantam kepalamu dengan batu karang."

Cermin

Di tepi jalan seorang tolol menemukan sebuah cermin. Dia memungutnya, melihat ke cermin, dan tampak olehnya bayangannya. Segera ia meletakkan cermin itu lagi, seraya berkata, "Maaf, aku tidak tahu kalau itu milikmu."

Tawakal Nabi Musa

Diceritakan Nabi Musa mengadukan sakit giginya kepada Allah SWT. Allah berfirman kepadanya,'' Ambillah rumput falani dan letakkan di gigimu yang sakit.''

Musa melakukannya dan seketika sakit giginya hilang. Beberapa saat kemudian, ia merasakan giginya kembali sakit. Ia langsung mengambil rumput falani dan meletakkannya sebagaimana pertama kali.

Bukannya sembuh, sakit giginya justru bertambah parah. Musa kembali memohon pertolongan Allah SWT. ''Ya Allah, bukankah Engkau telah menyuruh dan menunjukkan kepadaku tentangnya.''

Allah berfirman,''Wahai Musa, Aku adalah yang menyembuhkan dan menyehatkan. Aku adalah yang memberikan bahaya dan manfaat. Pada waktu pertama, engkau melakukannya karena Aku, sehingga kuhilangkan penyakitmu. Sedangkan sekarang engkau melakukannya bukan karena Aku, melainkan rumput itu.''

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Kisah Umar bin Abdul Aziz

Dikisahkan, istri Umar bin Abdul Aziz memiliki seorang budak perempuan yang sangat cantik. Umar amat menyukainya. Dia berkali-kali meminta budak itu kepada istrinya. Namun izin tak juga diperoleh.

Ketika menjadi khalifah, istri Umar mendandani budak perempuan hingga sangat cantik dan tak bisa dikenali. Budak itu dikirimkan kepada Umar bin Abul Aziz. ''Ia kuberikan kepadamu untuk melayanimu, Wahai Amirul Mukminin.''

Umar lantas bertanya,''Dari mana engkau mendapatkannya?''

''Aku memperolehnya dari ayahku, Abdul Malik,'' kata istrinya.

Umar lantas menyelidiki asal kepemilikan budak itu. Ia membayar stafnya untuk memeriksa asal-usul budak perempuan nan jelita tersebut. Ia telah mendapat hasil yang meyakinkan. Semua ridha yang berhubungan dengan ridha akan budak itu. Umar sangat menginginkannya. Di hadapan budak itu, Umar berkata, ''Engkau kubebaskan karena Allah.''

Si budak bertanya kepada Umar,'' Mengapa, Wahai Amirul Mukminin. Bukankah Engkau telah melenyapkan kesyubhatanku.''

Umar menjawab,''Bila aku melakukan hal demikian, aku bukan termasuk orang yang menahan keinginan dan hawa nafsu.''

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Penggembala Domba

Abdullah bin Dinar bercerita bahwa satu kali Khalifah Umar tengah berjalan. Mereka menjumpai seorang anak kecil yang sedang menggembala domba. Umar berkata padanya, ''Juallah seekor domba kepadaku.''

Anak lelaki itu menjawab,''Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku.''

Untuk mengujinya, Umar berkata lagi,''Engkau kan bisa katakan kepadanya bahwa seekor srigala telah menerkam seekor domba. Tuanmu tak akan tahu.''

''Dia memang tak akan tahu. Tapi Allah mengetahuinya,'' kata anak itu lagi.

Mendengar jawaban tersebut, Umar menangis. Dia mengikuti anak itu untuk membebaskannya dari tuannya. ''Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia dan bebas pula di akhirat,'' kata Umar kepada anak gembala itu.

(dikutip dari cerita Al Ghazali)

Burung Bersabar

Dikisahkan pada zaman Nabi Sulaiman AS, hidup seekor burung yang bersuara merdu dan memiliki bulu yang indah. Tertarik dengan suara dan keindahan bulunya, seorang lelaki membeli burung tersebut dengan harga seribu dinar. Beberapa burung lain hinggap di atas sarang burung itu dan berkicau sebentar sebelum terbang. Setelah kedatangan burung-burung itu, burung dengan suara indah malah terdiam. Tak terdengar lagi kicaunya yang merdu.

Pemilik burung itu lantas mengadukan masalahnya kepada Nabi Sulaiman. Beliau bertanya kepada burung itu. ''Pemilikmu punya hak darimu. Dia telah membelimu dengan harga sangat mahal. Lantas mengapa engkau membisu?''

Burung itu menjawab, ''Wahai Nabi Allah, aku berkicau karena sedih dan rindu dengan pasanganku. Aku ingin lepas dari sangkar. Kemudian datang teman-temanku yang memintaku bersabar. Temanku itu bilang, keras kepala hanya akan mendatangkan kesusahan. Lagi pula lelaki itu membeli aku hanya karena cintanya pada suaraku. Maka aku memilih diam.'' Mendengar penjelasan si burung, Nabi Sulaiman membebaskan burung itu setelah membayar kepada pemiliknya.

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Ada Cara Lain

Seseorang yang sudah mempelajari banyak ilmu metafisik di berbagai perguruan, datang kepada Nasrudin. Untuk menunjukkan ia murid yang baik, maka diungkapkan secara detail tempat-tempat di mana ia belajar, dan apa saja yang sudah ia pelajari.

"Saya harap, Mullah akan menerima saya, atau, paling tidak, menceritakan tentang ide-ide Mullah," katanya, "karena saya sudah begitu banyak menghabiskan waktu dalam mempelajari ilmu ini."

"Aku mengerti maksudmu," kata Nasrudin, "engkau telah mempelajari guru-guru dan ajaran mereka. Tapi mestinya guru-guru dan ajaran-ajaran itulah yang harus mengajarimu. Nah, dari sana, kita baru akan memperoleh sesuatu yang bermanfaat."