Kamis, 24 Maret 2011

Indahnya Kemiskinan

“Kamu pinjam beras ke Bulek Budi dua kilo nak!” Begitu perintah Ibu yang hampir setiap pekan keempat setiap bulan saya dengar. Jatah beras yang diterima Bapak setiap tanggal 10 tidak cukup untuk menghidupi tujuh orang anaknya. Bulek Budi, tetangga sekitar 50 meter dari rumah kami adalah salah satu ‘langganan’, tempat kami meminjam beras. Pak Budi memang satu kantor dengan Bapak kami. Bedanya Pak Budi secara ekonomi kondisinya jauh lebih baik daripada kami. Saya sendiri, sebenarnya terlalu dini untuk mengetahui urusan perekonomian orangtua. Yang saya mengerti satu, bahwa jika Ibu menyuruh saya untuk pergi ke Bulek Budi, berarti ‘gentong’ tempat Ibu menyimpan beras sudah kosong.

Bulek Budi bukan satu-satunya tetangga tempat kami meminjam beras, tempat kemana saya membawa tas kecil yang sudah usang sebagai tempat beras. Mbah Tun, perempuan tua yang biasa melewati depan rumah kami bila beliau ke mushollah, tidak jauh dari tempat kediaman Bulek Budi juga tidak ketinggalan. Kadang pula ke Bude Kinama, selain beberapa nama yang tidak perlu saya sebutkan disini. Meski waktu itu saya masih kecil, saya merasakan lebih ‘enak’ jika pinjam beras ke rumahnya Mbah Tun. Itu karena saya hampir setiap hari biasa main, tepatnya kerja sambilan, di rumah beliau. Saya setia memberi les membaca menulis, matematika, menggambar, atau apa sajalah kepada cucu-cucu Mbah Tun, yang tidak kurang dari 10 orang jumlahnya. Saya mendapatkan imbalan jasa atas kerjaan ‘sampingan’ tersebut. Mbah Tun kadang menyuruh saya untuk memijati kakinya yang sudah keriput termakan usia. Langkah-langkah kaki beliau yang penuh varices sudah tidak lagi tegar. Sambil berjalan membungkuk, Mbah Tun meminta bantuan saya “Capek nak. Tolong Mbah dipijatin ya?” Saya mengangguk setuju. Sebagai anak kecil yang mungkin polos, dalam hati saya juga butuh, sekali lagi, imbalan jasa.

Cucu Mbah Tun terpencar di tiga rumah yang bersebelahan dengan rumah beliau. Masing-masing dibelakang, dan disebelah kiri rumahnya. Setiap hari saya hampir harus selalu bergiliran berkunjung ke tiga rumah tersebut. Mbah Tun dan anaknya tempat dimana beliau tinggal, tergolong mampu. Kepergian saya kesana setiap hari, sejauh pengetahuan saya, juga diharapkan. Bahkan akan ditanyakan jika sehari saja tak muncul. Sekalipun anak Mbah Tun seorang guru SD, ironisnya, saya yang waktu itu berumur sekitar 12 tahun, justru yang mengajari anak-anaknya. Subhanallah. Saya pribadi rasanya tidak memikirkan waktu untuk belajar buat diri sendiri. Orangtua saya juga tidak pernah mananyakan “Kamu sudah belajar nak?”

Di sekolah, saya sering membantu teman-teman yang ‘malas’ untuk menulis pelajaran di bukunya. Dengan membantu menuliskannya, saya mendapatkan imbalan apakah itu berupa uang, snack, hingga peralatan sekolah seperti buku, pensil atau ballpen. Pendeknya, dengan begitu saya tidak perlu risau dengan uang saku yang nyaris tidak saya terima dari Ibu sehari-harinya. Bagaimana saya bisa mengharapkan uang saku, jika untuk kebutuhan makan sehari-hari di rumah saja kurang?

Mbah Tun dan ketiga anaknya sering memberi saya makanan untuk saya bawa pulang ke rumah. Entah kenapa, dari hasil pemberian tesrsebut, saya tidak merasa malu. Nasi, sayur, ketela, roti atau apa saja yang bisa dimakan seringkali saya bawa ke rumah. “Ini kamu bawa pulang nanti nak!” Kata Mbah Tun yang menganggap saya tidak beda dengan cucu-cucu beliau. Andai ada nasi yang sudah basi pun saya tidak menolak, karena sama Ibu biasa dikeringkan kemudian dipakai sebagai sarapan pagi. Subhanallah! Melihat ‘keindahan’ kehidupan waktu itu, nasi basi yang dikeringkan, ditanak lagi, diberi sedikit kelapa dan garam, nikmat saja rasanya. Itulah barangkali karunia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, kecuali yang miskin seperti kami barangkali.

Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kesulitan orangtua membeayai uang sekolah SMP waktu itu. Setiap hari saya harus berjalan kaki lebih dari 6 km pulang pergi ke sekolah, kecuali jika ada truk yang bisa saya tumpangi. Sepatu sekolah yang saya kenakan acapkali bekas sepatu seragam pabrik salah satu kakak saya yang ikut membantu meringankan beban orangtua. Tiga dari sepuluh anggota keluarga kami, termasuk Ibu, kerja sambilan menjahit sarung di salah satu pabrik di kota kami.Dari situ akhirnya saya juga bisa menjahit, setidaknya pakaian saya yang robek. Bukankah Rasulullah juga menjahit sendiri pakaiannya? Sayangnya kerja mereka tidak berlangsung lama, karena pabriknya segera ditutup. Ini yang membuat kakak-kakak saya tidak kuasa untuk meneruskan pendidikannya. Dua orang kakak saya hanya sanggup sampai SMP, dua orang kakak lagi hanya SD, sementara saya sendiri yang mulai masuk SMP dengan beaya yang saya tidak tahu, bagaimana orangtua saya mengusahakannya. Dan dua adik yang masih kecil.

Seringkali saya tidak tidur di rumah karena harus memberikan les di beberapa tempat tadi. Saya sendiri waktu itu tidak mengerti apakah ini namanya pemberian les private. Yang penting saya akan mendapatkan imbalan dari mengajari anak-anak kecil disana-sini. Saya juga mengajari Ibu saya yang buta huruf. Subhanallah, Ibu akhirnya bisa membaca meski tulisan yang dibaca harus besar-besar. Dan tandatangan beliau pun saya yang mengajarinya. Saya ‘bangga’ bisa memberikan sedikit ‘sumbangan’ bagi beliau.

Yang menguntungkan adalah, rumah kami dekat dengan kantor desa. Pak Lurah sepertinya tidak keberatan dengan saya manfaatkannya kantor desanya untuk mengajari anak-anak, padahal waktu itu saya juga masih anak-anak. Disana kebetulan ada papan tulis dan kadang-kadang juga kapur. Saya gunakan kesempatan baik ini. Jadilah saya ‘guru kecil’.

Bilamana Ramadan tiba, kami senang sekali. Entah ada makanan atau tidak, puasa di kampung melahirkan perasaan yang tersendiri. Puasa pun bukan menjadi halangan bagi saya untuk mencari kayu di hutan. Waktu itu belum ada larangan bagi kami untuk mencari kayu disana. Yang pasti, kami tidak mencari kayu jati, sengon atau pinus yang dimanfaatkan untuk membangun rumah atau perabotan. Kami mencari kayu kering kecil-kecil buat menghidupkan api dapur. Saya tahu Ibu tidak mampu membeli minyak tanah setiap saat. Saya masih ingat ketika pertama kali mencari kayu, kelas 5 SD, ingin menangis rasanya, karena tidak tahu bagaimana harus menebang kayu. Dengan golok kecil yang tidak tajam ditangan, saya mencoba menirukan apa yang dilakukan teman-teman. Pada akhirnya toh saya bisa melakukan, sehingga pernah suatu saat halaman depan rumah yang luasnya kira-kira 40 meter persegi, penuh dengan kayu bakar. Sekali lagi, saya bangga bisa memberikan ‘sumbangan kecil’ ini bagi Ibu saya.

Saya benar-benar tidak mengerti apa arti cinta orangtua terhadap anaknya waktu itu. Setiap pagi yang saya dengar “Nggak bangun kamu?”. Kemudian saya dengar “Blakkkk...!”, Ibu membuka jendela, yang membuat kami terjaga karena kedinginan. Saya tidur di ‘amben’, sebutan tempat tidur tanpa kasur yang umum di desa-desa. Tempat tinggal kami tidak jauh dari hutan, sekitar 3 km. Pagi hari sesudah sholat Subuh, suasana terasa segar, petani sudah banyak yang lalu-lalang pergi ke sawah. Orang yang berbelanja ke pasar mulai membuka kesibukanmya. Tidak sedikit pula yang sekedar jalan-jalan pagi seusai sholat. Sementara Ibu menyiapkan sarapan buat kami, jikapun ada. Bila kami tidak melipat selimut, Ibu bertanya “Siapa yang kamu pikir akan melipat selimutmu?”, sebuah pertanyaan yang amat menyentuh rasa tanggungjawab kami. Demikian halnya jika sesudah makan lantas kami tidak mencuci piringnya, “Kamu pikir siapa nanti yang akan mencuci piring tersebut?” Subhanallah. Kami yang masih anak-anak waktu itu tidak menyadari bahwa kelak, itu semua amat membantu diri kami sendiri menjadi orang-orang yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang kami perbuat, hanya berangkat dengan melipat selimut dan mencuci piring diwaktu kecil!

Ibuku kurus sekali waktu itu, entah karena kekurangan makan atau terlalu banyak memikirkan kami, atau kedua-duanya. Sementara kami berada di sekolah, agaknya Ibu berjalan kesana kemari, bisa jadi mencari pinjaman atau sekedar membantu saudara-saudara Bapak saya yang punya pekarangan, agar setidaknya bisa mendapatkan sesuap makanan buat anak-anaknya, saya tidak tahu. Bila ada makanan ekstra, Ibu biasanya juga bilang “Jangan dihabiskan, ingat lainnya!” Maksudnya ingat saudara-saudara lainnya yang berjumlah tujuh orang. Saya merasakan, jadi orang miskin itu akan ‘jauh’ dari saudara, teman bahkan ‘kenikmatan’ dunia.

Terkadang saya mendengar Ibu agak uring-uringan kepada Bapak sebab memang penghasilan Bapak tidak cukup. Saya tahu itu karena bilamana saya ingin pergi ke kota bersama Bapak yang berangkat kerja, kala liburan tiba, beliau tidak mengendarai kendaraan umum, melainkan truk, gratis. Bagi saya hal itu tidak ubahnya ‘hiburan’. Ketika saya diajak ke kantin dekat kantor ternyata beliau tidak membayar cash alias hutang. Subhanallah, Bapak ku, hanya karena ingin menyenangkan hati anaknya, harus hutang ke kantin tersebut. Aku bisa mengerti hutang tidaknya ini sesudah cukup ‘besar’ tentunya.

Kami tidak sendirian dilanda kemiskinan waktu itu. Masih banyak keluarga-keluarga lainnya yang bisa saja jauh dibawah kami tingkat penderitannya. Rumah kami memang tembok, tapi itu warisan yang diberikan kepada Ibu dari nenek beliau. Setiap akhir pekan, biasanya ada saja ‘hiburan’ yang dipertontonkan oleh orang-orang kota yang datang ke desa kami. Saya sebagai anak-anak ikut saja melihat acara tersebut tanpa berpikiran negatif. Sesudah saya besar saya baru mengerti bahwa tontonan tersebut adalah bagian dari kegiatan kristenisasi di desa kami. Beberapa tetangga kami yang kemudian memeluk Kristen, mereka yang secara ekonomi juga lemah seperti kami, ternyata bagian dari korban kristenisasi tersebut.

Ramadan ini adalah puasa ketiga Ibu kami tidak bisa ikut menikmatinya. Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak mendahului beliau jauh sebelumnya. “ Bangun, sudah hampir Imsak!” Begitu suara Ibu yang hampir setiap hari kami dengar kala Ramadan tiba, padahal belum tentu ada makanan yang buat ukuran sekarang ‘layak’ kami makan. Begitu seringnya Ibu bilang “Makan apa nanti ?”, sehingga makan nasi dan garam atau terasi saja, bukan asing bagi kami. “Aku akan cari bayam !” kadang saya tawarkan pada Ibu sekiranya tidak ada sayur. Maksud saya adalah, bayam-bayam liar yang ada di sawah-sawah orang lain itulah yang saya cabuti. Astaghfirullah. Sekiranya perbuatan ini disebut mencuri, saya memohon ampun kepadaMu ya Allah atas segala kekhilafan hambaMu yang kala itu didera kemiskinan!

Walaupun kefakiran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bisa membawa kekufuran, mencuri kayu di hutan, hutang yang belum tentu dilunasi tepat waktu, mencuri bayam di ladang.....adalah buah dari kemiskinan ini, sekarang saya bisa merasakan, betapa kemiskinan waktu itu ternyata juga ‘indah’. Orang hanya akan bisa menikmati dan mensyukuri besarnya nikmat dan karunia Allah SWT sesudah mengenyam kemiskinan. Apakah karena alasan tersebut Rasulullah Muhammad SAW lebih memilih kemiskinan dibanding harus menjadi raja yang kaya raya? Apakah karena hikmah dibalik kemiskinan yang besar inilah sahabat-sahabat Rasulullah memilih menjadi melarat? Subhanallah! Adakah Ibu dan Bapakku di Alam Baka sana mengerti rahasia dibalik semua ini? Bahwa kemiskinan kami dulu yang membuat saudara tidak dekat, teman jadi langka, keindahan dunia menjadi mahal, ternyata buahnya begitu indah? Berbahagialah orang yang bisa belajar kehidupan ini dari kemiskinan.

sumber : eramuslim

Inferiority Complex

Inferiority Complex. Apaan tuh? Perasaan malu (shyness), kehilangan kepercayaan diri (diffidence), sifat takut/malu-malu (timidity), atau istilah trendnya anak muda sekarang MINDER dan NGGAK PD. Kok bisa gitu ya? Pertanyaan itu melintas dikepalaku. Kenapa minder dan nggak pd? Kita kan Muslim.

Sebelum kita nyari obatnya, tentu kita bakalan cari dulu sebabnya. Kalo aku pikir-pikir, akar permasalahannya adalah datang dari keimanan. Kita mengalami “erosi” iman,....bahkan bukan lagi erosi, namun sudah menjadi “longsor”. Perkembangan teknologi, kemajuan zaman, globalisasi, modernisasi, semua ibarat air hujan yang sedikit demi sedikit mengikis keimanan, bahkan dibeberapa kasus ibarat air bah yang mengakibatkan terjadinya longsoran iman, membawa semua keimanan itu dalam aliran bah.

Seiring terkikisnya dan hilangnya keimanan itu, kita mulai meraba-raba, mata mulai melirik, telinga mulai dipertajam, akal pikiran dimainkan. Buat apa? Buat mencari pijakan dan pegangan. Dan decak kagum pun muncul, ketika mata menemukan fokus yang indah, yang lebih maju dari segi peradaban dan teknologi, namun miskin dari segi rohani, dunia barat. Barat menjadi kiblat, identitas ditunjukkan dengan meniru stylenya barat, gaya hidup berputar 180 derajat. Otakpun mulai melakukan perbandingan dan hitungan matematis, yang sudah pasti persentasenya selalu lebih di barat. Hasilnya, barat adalah “kiblat” dan “figure” yang patut diikuti.

Trus, hubungannya dengan inferiority complex itu apa? Sudah pasti ada. Kalau kita mempelajari Islam, yakin akan keislaman kita, keagungan ajaran Islam, inferiority complex nggak bakalan terjadi. Tapi kondisi sekarang, sepertinya cenderung menganggap bahwa Islam itu sendiri kolot dan terbelakang, sehingga melahirkan perasaan minder dan nggak pede tadi untuk mengakui keislaman kita.

Sebenarnya, anggapan itu keluar, karena kita tidak mau melihat kembali sejarah Islam itu sendiri. Karena kalau dibandingkan dengan masa kejayaan Romawi dan Yunani, kejayaan Islam adalah yang terpanjang dalam sejarah, bahkan perkembangan barat yang diilhami dengan era renaissance pun mengalami fase kekosongan (vacuum).

Kita lihat saja betapa banyak ilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran para ahli-ahli muslim. Dibidang kedokteran, yang kita memandang dunia barat itu sangat maju, padahal banyak sekali konstribusi ahli-ahli kedokteran Islam dari zaman dahulu. Sebut saja, Al Zahrawi (976-1013) yang bukunya menjadi standar bagi Eropa dalam ilmu bedah dan juga anatomi selama berabad-abad, atau Ibn al Quffi (630-1286) yang bukunya itu mengetengahkan permasalahan traumatologi serta ilmu bedah dari kepala hingga kaki. Konstribusi ahli-ahli kedokteran Islam ini meliputi keseluruhan aspek kedokteran. Atau Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang dikenal sebagai bapak kimia, Ibn Sina (981-1037) yang konstribusinya diberbagai bidang, mulai dari kedokteran, filosofi, eksiklopedia, matematika dan juga astronomi. Siapa lagi? Ada Ibn Rusyd, Ibn Khuldun, Umar Al-Khayyam, dan masih banyak lagi.

Kemampuan para ilmuwan islam ini menjadikan sebutan ilmuwan rangkap atau eksiklopedia, karena penguasaan mereka terhadap beragam keilmuan. Jadi, apa yang membuat kita minder dan nggak pede dengan sekian banyak kekayaan islam itu sendiri.

Gimana dengan zaman sekarang? Bagi yang masih ingat dengan Abdus Salam, peraih nobel fisika tahun 1979, yang penelitian-penelitiannya tidak terlepas dari keyakinannya akan ilmu Allah, dan keyakinannya bahwa Al Quran adalah penuntun dalam segala ilmu.

Kalo aku sih, memandang ke barat itu boleh saja, tapi kita hanya memandang, sedangkan pegangan kita tetap pada 2 pusaka kita, Al quran dan Hadist.

”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".” (QS 3:32)

”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS 3:132)

Barat itu memang maju secara peradaban dan teknologi, tapi rohaninya miskin. Lihat saja negara-negara Eropa yang dari segi tatanan sosial lebih bagus. Tapi, kemiskinan rohani membuat mereka lelah untuk hidup dan memilih meninggalkan dunia dengan paksa dengan jalan bunuh diri.

Dari data WHO, The world health report 2001, disebutkan bahwa di Eropa sendiri, penyebab kematian tertinggi kedua adalah bunuh diri. Di Amerika serikat sendiri, kisaran 19 – 20-an persen masih mewarnai angka korban bunuh diri. Kenapa? Toh mereka sudah maju, peradaban maju dan teknologi nggak kurang modern. Tentu saja statistik itu saja nggak cukup, namun aku cuma mau memperlihatkan bahwa kemiskinan iman gampang sekali mendorong kita ke hal-hal seperti itu.

”..... Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS 4:29)

Aku pikir, yang bisa kita jadikan perbandingan dan cambuk buat kebangkitan kita itu adalah bagaimana mereka bisa maju, tatanan sosial mereka yang harmonis, perekonomian mereka yang bagus, pendidikan yang baik, dan sebagainya. Namun, jangan salah, kalau kita mau mempelajari Islam, sebenarnya semua itu sudah ada di dalam Al Quran dan Hadists, berikut pula dengan buktinya, yaitu sejarah kejayaan Islam.

Jadi, jangan lagi berpikiran bahwa orang yang memegang teguh syari’at itu kolot, pergi ke pengajian dianggap kuno, nggak ngeceng di mall disebut kuper, dan sebagainya. Aku yakin banget, dengan pemahaman tentang keislaman secara baik akan menghapus segala rasa minder dan nggak pede itu, inferiority complex, dan menjadikan kita bangga sebagai muslim. Jadi jangan seperti lirik lagunya Arie Wibowo, Singkong dan Keju.

...Bajumu dari Paris.
Sepatumu dari Italy.
Semua demi gengsi.
Semua serba luar negeri....

sumber : eramuslim

Ini Adalah Sebuah Kisah

Ada seorang kyai pemilik sebuah pesantren kecil yang punya seekor burung Beo. Burung beo ini pandai sekali bercakap-cakap. Dia memang dipelihara sejak masih kecil oleh Kyai tersebut. Sebut saja namanya Kyai haji Mustafa.

Kyai Haji Mustafa ini sangat sayang pada burung beonya. Burung beo ini ditaruhnya di depan kamarnya yang memang menghadap teras sekaligus menghadap bangsal kelas pesantrennya. Jadi, hampir tiap pagi hingga sore burung beo tersebut mendengar suara anak-anak pesantren tadarrus Al Quran dan ditambah dengan tiap malam mendengar ceramah agama islam yang memang dilakukan setiap sepuluh menit menjelang waktu tidur. Karenanya, tidak heran kalau burung beo itu selalu melafalkan kalimat-kalimat thayibah setiap kali dia mengeluarkan suara-suara yang meniru suara manusia. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, rasanya sudah sering keluar dari mulut burung tersebut.

Tentu saja dengan suara pelo khas burungnya. Bahkan, jika burung itu sedang tidur lalu ada yang mengagetkannya, maka burung tersebut langsung spontan mengeluarkan kalimat “Astaghfirullah.”. Hal ini membuat Kyai Mustafa kian sayang pada burungnya tersebut. Murid-murid di pesantren itu, karena melihat gurunya begitu sayang, juga ikut menyayangi si burung dan merawat serta menjaganya dengan sebaik mungkin.

Suatu hari, di siang hari yang panas terik, ketika Kyai Mustafa sedang istirahat di kamarnya tiba-tiba dia mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya.

“KWAAAKKKK..” Begitu bunyinya. Itu adalah suara khas seekor burung Beo. Spontan Kyai Mustafa melompat dari tidur siangnya dan berlari menghampiri si Burung Beo. Ada apakah gerangan? Ternyata, seekor kucing besar telah menerkam burung beonya. Kucing itu segera berlari melihat kehadiran Haji Mustafa. Darah berceceran di mana-mana dan leher burung beo yang malang itu nyaris terputus. Lidah si Beo menjulur ke luar. Burung kesayangan telah pergi menghadap Allah SWT. Haji Mustafa terpaku melihatnya, hilang kata-katanya, bahkan kesedihan pun tak langsung terasakan karena rasa terkejutnya itu. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Hanya itu kalimat yang sempat meluncur dari mulutnya.

Hari-hari selanjutnya, Haji Mustafa jadi terlihat murung. Dia tampak semakin sering menyendiri dan mengasingkan diri dari keramaian sekitarnya. Murid-muridnya ikut sedih dan berduka. Melihat gurunya sedih, semua murid di pesantren itu juga ikut sedih dan tak bergairah. Mereka berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar guru mereka kembali bersemangat seperti dahulu. Karena biar bagaimanapun, yang mati tidak akan kembali. Maka mereka semua bersepakat untuk membelikan seekor burung Beo yang baru yang juga sudah pandai berkata-kata. Hadiah itu diberikan pada sang guru dengan harapan bisa menghilangkan kesedihan sang guru.

Demi melihat hadiah dari murid-muridnya, haji Mustafa termenung. Ditatapnya semua murid-muridnya satu persatu.

“Tahukan kalian, mengapa aku bersedih dan sering menyendiri setelah kepergiaan burung beoku?” Murid-muridnya menggeleng. Dalam hati mereka berkata, apakah hadiah yang mereka berikan tidak memenuhi standar yagn dikehendaki gurunya?

“Aku bersedih bukan karena kehilangan si Beo. Bukan anak-anak. Aku bersedih karena aku berada di dekat si Beo ketika nyawanya meregang. Aku terkejut, karena si Beo yang lidahnya sudah sangat fasih mengucapkan kalimat Thoyibah, yang mulutnya tak henti memuji Allah bahkan yang terkejutnya pun tak pernah lupa pada nama Allah, ternyata di akhir hidupnya, yang keluar dari mulutnya bukan nama Allah. Burung Beo itu lupa dengan semua kalimat Thoyyibah yang sudah dihapalnya justru di akhir hidupnya. Aku sedih, sangat sedih karena aku takut, jika malaikat datang mencabut nyawaku, aku takut akupun seperti si Beo. Lupa pada Allah.” Naudzubillahi min dzaliik.

Hmm… itu cerita Haji Mustafa dan burung beonya seputar masalah kematian.

Kematian

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Bisa jadi, kematian adalah satu-satunya hal yang pasti di alami setiap manusia. “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…”(Quran 4: 78)

Kita mungkin kelak menjadi orang tua, Kelak mungkin menjadi orang kaya tapi Mungkin pula menjadi orang miskin. Kita mungkin saja mempunyai anak dan keluarga, mungkin juga tidak. Kita mungkin bisa mengalami kesuksesan tapi mungkin saja kebalikannya. Sedangkan kematian ? Setiap kita dapat dipastikan akan mengalaminya. Sesungguhnya, kematian adalah sesuatu yang amat dekat, lebih dekat dari urat leher kita bahkan, namun sering terlupakan.

Rasulullah pernah membuat garis-garis horizontal di pasir dan mengatakan : “Ini adalah angan-angan manusia,” Kemudian ia manggambar garis-garis vertikal sambil berkata, “Ini adalah hambatan atau kendala dari garis-garis horizontal tersebut.” Kemudian dibuatlah garis yang mengelilingi garis horizontal dan vertikal itu berbentuk kotak di luar kedua garis yang dibuatnya di awal tadi. “Ini adalah kotak ajal manusia. Jika ia selamat dari yang ini (garis vertikal) tentu tak akan selamat dari yang ini (garis kotak)”. Yaitu kematiannya.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”(Quran 3: 185)

Kita sering berpikir soal cita-cita dan harapan hidup. Adakalanya setinggi bintang di langit. Kita ingin bisa seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria “orang sukses” di dunia ini. Dalam mencapai cita-cita tersebut, ada saja hambatan yang akan menghadang. Kita mungkin berhasil melewati berbagai kendala lain, namun tidak mungkin mengatasi kematian. Karena itu, sudahkah kita berpikir soal cita-cita mati : Mati seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria “orang yang sukses” hingga saat kematian datang menghampiri mereka ? Orang yang sukses menghadapi sang maut adalah mereka yang menutupi hidupnya dengan indah (husnul khotimah).

Cita-cita bisa mati dalam keadaan husnul khotimah, itulah cita-cita orang yang ingin sukses hingga titik akhir hidupnya.

Siapa mereka ? Yaitu orang yang menjalani hidup dengan istiqomah (konsisten dengan amal soleh), atau orang yang selalu menjaga diri dari perbuatan dosa juga orang yang terbiasa melakukan evaluasi terhadap setiap amalnya. Mereka adalah orang yang senantiasa menjaga kakinya dari menyambangi tempat maksiat. Mereka juga tidak menggunakan anggota tubuh untuk berbuat dosa. Mereka selalu ingat akan Allah, berbuat karena Allah, untuk Allah.

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”(Quran.21: 34-35).

Hamid Al-Qushairy berkata, “Setiap orang di antara kita yakin akan datangnya kematian, sementara kita tidak melihat seseorang bersiap-siap menghadapi kematian itu. Setiap orang di antara kita yakin adanya neraka, sementara kita tidak melihat orang yang takut terhadap neraka, sementara di antara kita yakin adanya surga sementara kita tidak melihat ada yang berbuat agar bisa masuk surga. Untuk apa kalian bersenang-senang ? Apa yang sedang kalian tunggu ? Tiada lain adalah kematian. Kalian akan mendatangi Allah dengan membawa kebaikan ataukah keburukan. Maka hampirilah Allah dengan cara yang baik.”

Soal kapan dan bagaimana mereka mati tidak menjadi persoalan, karena ini rahasia mutlak Allah.

Bisa saja kematian merenggut kala mereka tergeletak di tempat tidur, ada kalanya di saat kepala tersungkur sujud, ada kalanya pula di medan peperangan bersimbah darah. Atau bisa jadi kematian datang ketika kita sedang tertawa, atau bisa juga ketika kita sedang menangis. Kematian bisa datang ketika kita sedang mengalami kesadaran tapi bisa juga ketika kita sedang tidak sadarkan diri.

Salman al-Farisi ra, meninggal setelah sakit keras. Menjelang kematiannya, Saad bin Abi Waqqash menengoknya. Saad melihat Salman sedang menangis. Saad bertanya keheranan, “Ya Aba Abdillah, mengapa engkau menangis, padahal Rasulullah saw meninggal dalam keadaan senang kepadamu, begitu pula para sahabatnya.?” Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut mati atau karena cinta dunia, tetapi aku teringat akan pesan Rasulullah saw, “Hendaklah kalian mencari dunia seperti halnya seorang musafir membawa bekal perjalanannya,” sedangkan engkau melihat apa yang ada di sekelilingku ini “ Sa’ad berkata, “Aku melihat di sekeliling Salman yang ada dalam ruangan itu, tetapi aku tidak melihat kecuali barang-barang yang tidak bernilai lebih dari dua puluh dirham.” Sesudah menjelang ajal, Salman berkata pada istrinya, “Bawalah kemari tempat misk (minyak kesturi) itu. Ambilkan seember air !” Salman lalu memasukkan misk itu ke dalam air, kemudian ia memerintahkan kepada istrinya, “Percikkan air itu ke sekitarku karena sebentar lagi akan datang makhluk Allah yang tidak mau disuguhi makanan, tetapi senang pada wangi-wangian, kemudian kaututup pintu dan tinggalkan aku seorang diri.” Istrinya berkata, “Aku melakukan perintahnya dan aku menunggu sebentar di luar kamar. Tak lama, aku mendengar suara lembut dari dalam, lalu aku cepat-cepat masuk dan ternyata ia sudah meninggal dunia.

Innalillahi Wainna ilaihi rajiun. Sesungguhnya segala sesuatunya itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Kita memohon kepada Allah atas karunia dan Kasih-Nya, agar dijadikan golongan orang-orang yang bersegera mengejar ketertinggalan (dalam beramal), termasuk dalam golongan orang yang berhati-hati dengan datangnya kematian, mempersiapkan bekal diri sebelum mati, dan mengambil manfaat dari segala petunjuk serta nasehat.

“Ya Rabbi, sungguh kami telah mendengar seruan yang menyeru kepada iman : “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kamipun beriman. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan kesalahan kami, serta matikanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat kebajikan. Ya Rabbi, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul-Mu, dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat nanti. Sungguh Engkau sama sekali tidak akan pernah menyalahi janji. (Quran 3: 193-294)

“Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami serta memberi rahmat kapada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”(Quran 7 : 23)

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, yang tiada Tuhan pantas disembah melainkan Engkau yang telah menciptakan diriku. Aku adalah hamba-Mu, yang dengan segala kemampuanku perintah-Mu aku laksanakan. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan yang aku perbuat terhadapMu. Engkau telah mencurahkan nikmatMu kepadaku, sementara aku senantiasa berbuat dosa. Maka ampunilah dosa-dosaku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”

‘Allahumma, ampunilah kesalahan-kesalahan, kesengajaan, kebodohan dan keterlaluanku, serta dosa yang terdapat pada diriku.”

“Allahumma, perbaikilah urusan agamaku yang menjadi pegangan bagi setiap urusanku. Perbaikilah duniaku yang disitulah urusan kehidupanku. Perbaikilah akhiratku yang kesanalah aku akan kembali. Jadikanlah hidupku ini sebagai tambahan kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat peristirahatan dari setiap kejahatan.”

Aamiin, Allahumma Aamiin.

Ade Anita (adeanita_26@yahoo.com.au)


sumber : kafemuslimah.com

Inilah Hidup


Hidup ini memang menyajikan berbagai cerita dan berbagai fenomena yang menakjubkan. Tak terbayangkan. Seorang ayah yang dia hanya bisa bekerja dan bekerja bagi keluarga, kemiskinan yang menimpa mereka itu adalah garis hidup yang mustahil diubah (anggapan mereka).

Di sisi lain, seorang remaja yang hanya memikirkan bagaimana tampil cantik dan menarik. Mereka tak berpikir bahwa hidup ini menuntut orang untuk berjuang, dan ada orang di luar sana yang hanya bisa merenungi dan menerima nasib menjadi orang yang tidak beruntung. Ada juga orang yang hanya bisa memperhatikan, mengamati dan berusaha menghibur mereka yang merasa kurang beruntung.

Inilah hidup. Sekali lagi, inilah hidup. Dunia memang aneh. Allah menciptakan semua ini pasti memberikan pelajaran yang berharga, bagi orang-orang yang berpikir. Islam mengajarkan umat manusia untuk berzuhud terhadap dunia, qonaah (menerima) dan istiqomah sebagai napak tilas di jalan surga. Inilah salah satu fenomena hidup yang sempat terekam oleh mataku…..

Ketika kutelusuri jalan menjelang maghrib, kulihat laki-laki 40-an sedang mendendangkan sebuah lagu di sebuah restoran mewah. tampak orang-orang di sana ada yang acuh, ada sedikit memberi perhatian. Pernahkah kalian bayangkan bagaimana perasaan laki-laki itu tatkala melihat orang-orang yang kelihatannya lebih sukse dari dia? Pernahkah terpikir oleh kalian apa yang terlintas dalam benaknya takala menyadari mereka lebih beruntung darinya? Aku juga tak tau itu. aku juga tak tahu seberapa besar kekuatan kesabaran, keikhlasan dan kepasrahan yang ada di benaknya. Aku juga tak tahu di mana di menyimpan keping-keping kesonbongan dan rasa malu. Aku rasa di sudah mampu berdamai dengan takdir. Dia orang yang tegar di jalan kehidupan. Ya…. Merekalah pahlawanku masa kini.

Kata orang pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan harta, jiwa dan darah yang dimiliki untuk kepentingan bangsa dan Negara. Pahlawan adalah orang yang tidak membebani Negara dan mampu mengangkat derajat bangasa di mata dunia.

Tapi entah kenapa menurutku pahlawan di masa bukan seperti definisinya tepatnya untuk kasus yang satu ini. Pahlawan masa kini bukan lagi orang yang rela mengangkat senjata dan mengorbankan nyawa. Pahlawanku bukan pula para politikus, pejabat pemerintahan ataupun pe-men, batman dan supermen. Pahlawanku adalah pahlawan yang rela pergi pagi pulang sore. Dengan berbekal keikhlasan dan keyakinan bahwa nanti sore dia akan membawakan sesuatu untuk keluarganya. Merekalah pahlawna masa kini ku. Yang hidup sederhana, tanpa embenani orang lain. Yang hidup pas-pasan tanpa membebani Negara dan tak mengemis surat pembebasan utang pada Negara.

is_ismi@yahoo.com
buat teman2ku jazakillah atas masukannya

sumber : eramuslim

Inspirasi

Suatu ketika Mohamdas Karamchand Gandhi akan berangkat dari Durban menuju Pretoria, Afrika Selatan untuk membantu sahabatnya, Dada Abdulla dalam suatu kasus persidangan. Saat itu Gandhi adalah seorang pengacara terkenal di Afrika Selatan. Ia sudah terkenal di kalangan penduduk India dan penduduk lokal di Afrika Selatan. Tatkala menunggu kereta berangkat, Gandhi mencoba untuk membaca buku yang diberikan Dada Abdulla. Baru sampai pada halaman pertama, Gandhi dikejutkan oleh suara lantang dari petugas kereta api. "Hei, Kuli", begitu panggilan seorang Inggris terhadap warga kulit hitam di Afrika Selatan. "Kamu tidak seharusnya berada di sini." Gandhi memang berada di gerbong kelas eksekutif yang biasanya ditempati oleh bangsawan-bangsawan Inggris kelas atas. Gandhi menjawab, "Saya sudah membayar tiket kelas eksekutif ini, jadi saya berhak dan sudah seharusnya mendapat pelayanan yang sama dengan penumpang di gerbong ini." Memang pada saat itu perbedaan antara penduduk lokal maupun pendatang dari India dengan penduduk berkulit putih khususnya Inggris sangat terasa. Mereka yang berkulit hitam sering mendapat perlakuan semena-mena walaupun dari kalangan terpelajar sekalipun.

Apa daya, walaupun Gandhi bersikeras untuk tetap duduk di kursi kelas eksekutif, petugas kereta api itu memaksa dengan kekerasan agar Gandhi duduk di kelas biasa. Akhirnya Gandhi yang bertubuh kecil tidak bisa melawan kekerasan dari petugas kereta api yang badannya jauh lebih besar. Ia ditendang keluar dari kereta, semua barangnya pun dihamburkan begitu saja keluar dari kereta. "Jangan lupa bawa bukumu ini, Kuli", demikian kata petugas kereta api membuang buku yang diberikan sahabat Gandhi, Dada Abdulla. Buku itu dilempar dan mengenai kepala Gandhi sehingga terjatuh di sampingnya. "Apakah nasib kami akan terus seperti ini?", pikir Gandhi meratapi nasibnya. Ketika merapikan barangnya Gandhi secara tidak sengaja membaca satu bagian halaman yang terbuka dari buku yang tadi mengenai kepalanya tadi. Bagian itu berbunyi:

"Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang utusan pada tiap-tiap bangsa untuk menyerukan: "Sembahlah Allah, dan jauhilah godaan shaitan", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS. An Nahl:36)

Ternyata buku yang diberikan sahabat Gandhi adalah Quran. Sejak membaca penggalan ayat tersebut, Gandhi mulai tergerak hatinya untuk mengajak kaum tertindas di Afrika Selatan dan akhirnya India untuk melawan penjajah. Konon sejak saat itu, Gandhi selalu membaca Qur'an sebagai salah satu referensi penting dalam perjalanan hidupnya, terutama dalam meraih kemerdekaan India dengan cara damainya. Subhanallah!

***

Kejadian di atas, penulis ambil dari film "The Making of Mahatma", sebuah film tentang perjalanan hidup Gandhi. Bagian dimana Gandhi membaca Qur'an sangat berbekas dalam ingatan ini. Qur'an menjadi sumber inspirasi penting dari dimulainya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita pun akan ingat bagaimana seorang yang keras dan selalu berprinsip semua permasalahan diselesaikan dengan pedang seperti Umar bin Khattab, bisa luluh hatinya oleh bacaan Qur'an dan terinspirasi untuk ikut serta dalam menyebarkan ajaran Islam.

Inspirasi dari Allah juga diberikan oleh Allah kepada siapa yang mau mengamati ciptaannya. Kita ingat bagaimana Salman Al Farizi terinspirasi untuk membuat parit di sekeliling kota Madinah, karena melihat keadaan geografis yang menguntungkan pasukan Muslim jika menghadapi serangan. Kita juga ingat bagaimana Jabal Al Thariq yang terinspirasi untuk membakar kapal pembawa mereka dari dataran Maghribi ke Spanyol untuk membakar semangat para pasukannya. "Tidak ada jalan ke belakang lagi, hanya ada satu jalan yaitu terus maju ke depan, Allahu akbar!", demikianlah kata-kata yang dilontarkan Jabal Al Thariq untuk memberi inspirasi kepada pasukannya.

Allah memberikan kita berbagai macam inspirasi lewat berbagai ciptaannya. Tinggal bagaimana kita bisa menangkap inspirasi itu untuk dijadikan sebagai pemicu dalam berbuat sesuatu yang besar, sesuatu yang dapat memberikan inspirasi lagi bagi anak cucu kita. Wallahu'alam bishshawab.

Zulfikar S. Dharmawan
zulfikar@ukhuwah.or.id



sumber : eramuslim

Itu Santa, Nak.....

Meriah... Sungguh meriah suasana menjelang Natal di Negeri Sakura. Kerlap-kerlip lampu beraneka warna menambah gemerlapan kota. Toko-toko dihias dengan begitu indah, seraya menawarkan discount besar-besaran. Tak ketinggalan sang pelayan mengenakan pakaian kebesaran berwarna merah, lengkap dengan topi runcing yang ada lampu neonnya.

Mereka tersenyum penuh keramahan, irashaimase... irashaimase..., teriaknya. Tamu adalah raja, sementara di negara kita raja hanya untuk mereka yang berbelanja dengan pakaian dan kendaraan mewah.

Malam pun tak kalah semarak dengan siang. Jalanan bagaikan diselimuti cahaya kunang-kunang, mengerubungi orang-orang yang berjalan-jalan untuk sekedar menghabiskan waktu ataupun kesuntukan rutinitas kerja.

Kemeriahan semakin lengkap dengan banyak pohon Natal yang dihiasi hiasan cantik dan menarik. Lampu-lampu kecil, lonceng, bandul bola emas dan perak saling memantulkan cahaya bagai kerlingan mata bidadari yang cantik. Bagi orang Jepang, suasana menjelang dan Natal itu sendiri adalah saatnya bersuka ria, tanpa peduli dengan ritual agama.

Hmm.. aroma pesta pun tercium dimana-mana. Bercampur baur dengan alunan lagu Jingle Bells, Holy Night, Gloria ataupun Kurisumasu Omedetou, yang kadang menggoda iman untuk melagukannya.

Uups...!!!
Disentak, membuat langkahku terhenti, "Jangan dipegang nak, nanti jatuh!" seraya tangan menahan keinginan si kecil. Sekilas kutangkap matanya yang tadi berbinar-binar, berhasrat ingin menyentuh bola warna-warni yang tergantung di sebuah pohon natal imitasi. Ia hanya diam, tak berkata apa-apa.

Namun tak lama, terdengar teriakannya, "Ibu..., mau beli ini!!!" seraya tangannya yang mungil menunjuk sebentuk permen dari berbagai bentuk yang berwarna-warni. Aku hanya terpana, detak jantung pun seakan terhenti, "Itu Santa, nak..." Syukurlah, ia sudah tau alasannya, tanpa perlu kujelaskan itu siapa dan mengapa.

Dialihkan pandangannya, sudut mata berpindah dari permen berbentuk Santa Claus kepada yang lainnya. Ekor mata cantiknya pun kembali berhenti, menatap penuh harap sambil berteriak, "Kalau gitu yang ini aja, ini kan cuma yuki daruma!!!"

Lidahku kelu tak bisa berkata, hanya tarikan nafas yang terdengar. Aku tahu, sebenarnya bukan soal Santa, yuki daruma atau yang lainnya, tapi karena dia hanyalah anak-anak, sama seperti yang lainnya, suka dengan kemeriahan.

Pulang ke rumah, aku terpekur merenungkan apa yang telah dilalui, lalu mencoba menuliskannya kembali dalam rangkaian kata yang mudah-mudahan bermakna. Sepintas mata mengerling, si kecil begitu asyik dengan acara Christmas Gifts Packing di TV, wah... memang menarik. Tak sadar mata ini tak berkedip menatap acara yang penuh pesona itu hingga tuntas, lalu aku kembali terdiam.

Si kecil menoleh kepadaku, sedikit merajuk dan berteriak, "Ibu..., mengapa tak mengatakan KIREEEI!!!"

Tanpa semangat, aku bergumam, "Ya, memang cantik."

Yaa Robbi...
Jauh di lubuk hati, aku merasa telah berlaku tak adil. Bukankah sebuah fitrah bila mereka begitu menikmati kerlap kerlip lampu yang menarik hati, bola-bola yang berkilau merah, biru, hijau, kuning dibercaki warna keemasan yang gemulai bergelantungan, atau pun hadiah yang berbungkus pita-pita indah? Lalu mengapa aku melarangnya?

Usia mereka yang begitu muda belum bisa direcoki dengan segala macam fatwa atau penjelasan detail tentang aqidah. Bagi mereka, semua itu hanyalah permainan, yang bisa membuat hati mereka terhibur dan sejenak bergembira.

Aku pun semakin dalam merenung, teringat Idul Fitri barusan.

***

Hujan deras, membuat kami basah kuyup, lalu pulang dengan kedinginan. Kembali menghadapi hari-hari sepi di rumah, justru di saat anak-anak seusia mereka selayaknya bergembira seperti di kampung halaman. Terbayang tingkah polah mereka yang pamer pakaian baru, sambil di kantong-kantongnya penuh dengan 'angpau'.

Mereka saling berteriak riang gembira bersahut-sahutan, seakan berharap setiap hari adalah hari raya.

Sungguh besar harapan di Idul Fitri mendatang akan ada acara yang menarik buat mereka, agar mereka tahu bahwa mereka juga punya hari bahagia. Bukan hanya sekedar rutinitas orang tua belaka, makan-makan di sebuah rumah rakyat yang besar, sementara anak-anak tak tahu berbuat apa, hanya terpaksa menonton berbagai macam gaya tertawa orang dewasa.

Drama sederhana tentang sejarah RasuluLlah SallaLlaahu Alayhi Wasallam, dengan mereka menjadi pemainnya, rasanya menarik untuk dilakukan, tentu itu akan menyenangkan hati mereka. Saat itu mereka bisa belajar tentang indahnya Islam, kepahlawanan, serta nikmatnya menjadi orang Islam.

Pun rasanya tambah meriah saat mereka menonton drama yang juga diperankan orang dewasa, ada adegan ibu yang menghibur anak-anaknya agar segera tidur padahal mereka kelaparan, lalu seorang laki-laki datang, wajahnya penuh uraian air mata sambil di punggungnya memikul beras dari arah Baitul Maal.

Saat itu aku akan berteriak dengan penuh kebanggaan dan kerinduan akan sosok umara' sekaligus ulama, "Itu Umar nak...!!!"

Salahkah aku begitu berharap?

Ah... rasanya tidak, bukankah mereka juga punya anak-anak, dan kita semua juga pernah menjadi anak-anak.

Wallahua'lam bi showab.

Catatan:
Irashaimase: selamat datang
Kurisumasu Omedetou: Merry Christmas
Yuki daruma: boneka salju
Kirei: cantik, indah.

sumber : eramuslim

Izinkan Aku Menangis

Jam menunjukkan pukul 21.20 malam… Kecurian. Aku tertidur sekitar 3,5 jam setelah berbuka puasa petang tadi. Seingatku aku sedang kejar-kejaran dengan waktu di etape sulit ini. Al Qur’anku belum selesai. Tapi entah mengapa, mushaf itu tetap diam disamping bantal; dekat kepalaku? Aku menyerah lagi. Kelelahan fisik dan kepenatan pikiran. Aku hendak berapologi pada diriku sendiri.

Kegundahan apakah ini? Kekhawatiran apakah ini? Kecemasan apa lagi?

Mengapa pelupuk mataku panas. Namun, aku malu untuk menumpahkan air mata. Ya, air mata bening itu hanya boleh kutunjukkan pada-Nya. Bukan untuk memperturutkan rasa dan emosi serta mengalahkan rasio yang wajar. Meski… jebol juga tanggul itu.

Aku membuka hadits ini lagi, ”Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan berbuat untuk masa setelah mati. Orang yang lemah adalah yang memperturutkan hawa nafsunya dan berharap (banyak) pada Allah”. (HR.Turmuzi, dari riwayat Syaddad bin Aus ra.)

Jika kebodohan (tidak cerdas) tidaklah berakibat kepada kemurkaan Allah? Dan ternyata pengharapan pada-Nya saja tak cukup. Sering menyerah pada diri sendiri di tengah komitmen hendak berbuat. Harapan tanpa kekuatan itu disabdakan Rasulullah Saw. sebagai kelemahan. Mengapa aku lemah?

Jika saja ini bukan di etape final. Aku boleh berharap banyak untuk menjadi sang pemenang. Jika saja aku boleh berandai, jarum jam diputar. Namun, agamaku melarang pengandaian. Benar. Konsentrasi di babak ini seringkali buyar.

Aku membuka genggaman tangan kiriku. Ya, tinggal itulah hitungan hari-hari pembekalan tahun ini. Aku tak pernah tahu, mampukah aku sampai di penghujungnya. Mampukah aku menjadi yang terbaik diantara sekian juta para pemburu satu cinta, sejuta pengampunan dan seribu keberkahan? Aku malu menanyakannya pada diriku sendiri.

Masih tersisa kedengkian. Masih ada pertanyaan sikap dan prasangka buruk. Masih juga bersemanyam ketersinggungan dan gerutu ketidakpuasan. Masih ada pandangan mata khianat. Masih ada ketajaman lidah yang melukai hati. Masih juga mengoleksi berita-berita tak bernilai. Masih saja melafazkan kata-kata tak bermakna. Lantas, apa makna tengadahan tangan di tengah malam yang diiringi isak pengharapan. Sekali lagi, pengharapan yang lemah yang kalah oleh nafsu.

Aku terduduk lemas. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan untuk mengungkapkannya. Aku pandangi lama-lama refleksi kegundahan itu.

Aku hanya boleh bertanya, kemudian kujawab sendiri. Selain itu hanya kesunyian. Meski dunia sekelilingku ramai dengan hiruk pikuk malam. Kedai sebelah rumah masih ramai. Coffee shop masih dipenuhi orang yang asyik menonton el Ahli–mungkin–, klub kebanggaan mereka sedang berlaga. Aku dibangunkan teriakan itu. Mengapa tidak suara Syeikh Masyari Rasyid yang melantunkan surat al Qiyamah, misalnya. Atau suara siapa saja yang menembus gendang telinga ini. Namun, melantunkan suara pengharapan yang kuat yang bisa menembus langit-Nya.

Atau suara-suara dari rumah-Nya yang dipenuhi isakan harapan hamba-hamba-Nya yang berlomba memburu seribu keberkahan dan sejuta pengampunan. Atau senyuman malaikat yang menyaksikan bocah-bocah kecil yang menahan kantuk berdiri sambil memegangi mushaf kecil dipojok-pojok masjid.

Sebagaimana aku boleh berharap di penghujung hari pembekalan ini, aku menjadi sang jawara. Namun, aku malu untuk berharap demikian. Sebagaimana aku juga boleh berharap menutup hariku di dunia dengan syahadah di jalan-Nya. Toh, semua menjadi misteri yang tak terjawab.

Ya, Khalid bin Walid pun yang sangat pemberani akhirnya menutup harinya di atas pembaringan. Lantas, tidakkah malu aku membandingkan pengaharapanku dengan kelemahan diriku menghadapi diri sendiri.

Sebagaimana aku mengandaikan bidadari surga. Apakah ia takkan cemburu dan marah dengan pandangan khianatku pada hal-hal yang tak seharusnya kulihat.

Sebagaimana aku berharap istana megah setelah matiku. Sudah berapakah aku menabung untuk itu. Sementara hidupku dipenuhi ambisi dan obsesi yang penuh dengan tabungan materi dan memegahkan istana duniaku. Dan aku telah mencintai dunia itu.

Sebagaimana aku berharap menikmati seteguk susu dari aliran sungai di surga-Nya. Aku lalai mengumpulkan “dana” untuk membelinya. Juga madu dan jus mangga.

Sebagaimana aku tetap berharap ingin terus mencicipi delima merah dan jeruk sankis serta buah khukh di masa setelah kefanaan ini. Tapi aku terlalu terpana oleh keindahannya yang sementara. Entah berapa tahun, bulan, hari atau bahkan hitungan detik aku masih bisa melihatnya di toko buah-buahan di sebelah rumahku.

Aku memaknai keterlaluan yang fatal ini dengan sikap yang tidak seimbang. Khayalanku dipenuhi pengaharapan. Namun, hatiku disesaki kelemahan. Akibatnya seluruh organ tubuhku lemah. Mata, telinga, mulut, kaki, tangan… semua menolak untuk diajak menggapai cinta-Nya.

Etape final ini banyak tikungan tajam. Dan aku terjatuh. Putaran roda keinginan tersebut trrgelincir oleh kerikil kecil bernama kelalaian. Alhamdulillah, aku masih bisa bangkit meneruskan perjalanan. Meski aku tahu, kini aku jauh tertinggal. Aku belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi aku masih bisa berharap untuk menjadi baik. Karena aku masih bersama orang-orang baik bahkan mereka ada di depanku; orang-orang terbaik itu.

Aku masih harus melewati tikungan tajam lainnya. Tergesa-gesa, kecerobohan, cinta dunia, rasionalisasi kesalahan, buruk sangka. Namun, aku masih punya bekal. Cinta, hati nurani dan bahan bakar ketelitian serta nasihat orang-orang shalih. Dan tikungan tajam yang paling membahayakan di akhir etape ini adalah: menduakan cinta-Nya. Ada cinta lain yang menyesak hendak menggeser kemuliaan itu.

Ada beberapa materi terakhir di ujian final ini: menanggalkan kesombongan dan ingin dipuji serta disanjung berlebihan. Menanggalkan kecintaan dunia yang berlebihan dengan qanaah dan tawadhu’.

Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun, aku tak mampu. Ya Allah aku ingin mengeluarkan air mata ini untuk-Mu. Aku khawatir kesulitan ini tersendat karena kemurkaan-Mu.

Air bening itu tersendat. Jangan-jangan karena kesalahanku. Karena tumpukan-tumpukan egoisme. Karena tumpukan-tumpukan kotoran buruk sangka. Karena tumpukan-tumpukan gerutu. Karena tumpukan-tumpukan doa-doa yang kosong. Terkunci oleh hawa nafsu.

Jika demikian, jangan Kau murkai hamba ini ya Allah. Hamba masih terus berharap pembebasan dari murka-Mu di hari-hari pembebasan ini.

“… dan sepertiga terakhirnya adalah pembebasan dari api neraka,” demikian Rasulullah Saw. menjelaskan karakteristik bulan pembekalan ini. Ya Allah, jadikanlah nama hamba ada dalam daftar pembebasan itu. Juga nama kedua orang tua hamba, keluarga hamba, para guru hamba, saudara-saudara hamba serta siapa saja yang mempunyai hak atas hamba. Amin.

sumber : eramuslim