Jumat, 18 Maret 2011

Aku Hanya Ingin Shalat laut

KotaSantri.com - Salim, nama anak itu. Rumahnya di dekat masjid. Hampir setiap hari ia selalu bermain di halaman masjid yang memang lumayan luas. Sebenarnya umurnya jauh lebih tua dariku, mungkin saat ini sudah menginjak 25 tahun, namun ia tidak tumbuh layaknya pemuda normal. Kelainan mental yang dideritanya sejak bayi membuatnya masih seperti anak kecil.

Malangnya, nama Salim sering dipakai ibu-ibu untuk menakuti anak-anaknya yang bandel. Padahal sampai saat ini tak pernah ada seorangpun yang disakitinya. Setiap pagi Salim membantu Jidan, pemuda penjaga masjid, untuk memunguti daun-daun yang gugur di halaman, tak jarang pula ia ikut membuang sampah itu ketempat pembuangan di samping masjid. Seperti dua orang sahabat, Jidan selalu bahagia dibantu olehnya, meski tak banyak yang bisa ia kerjakan.

Ketika selesai dengan tugas mereka, Jidan menghidangkan teh panas dan beberapa gorengan untuk sarapan mereka berdua. Tak ada kata malu, jijik atau apalah dalam hati Jidan ketika sarapan bersamanya. Dengan tulus Jidan menyayanginya, tanpa melihat keadaan fisik Salim. "Dia makhluk Allah, Wi. Dan bukan keinginannya untuk berada dalam kondisi itu." katanya suatu hari ketika kutanya tentang sikapnya yang agak "berbeda" dengan orang lain.

Saat hari beranjak siang, Jidan bersiap-siap ke kampus, sementara Salim telah pulang karena dipanggil ibunya untuk mandi. Selesai mandi, ia pun kembali datang ke masjid, mendapati Jidan tidak ada, tampak kecewa dari raut wajahnya. Dan dia pun kembali bermain dengan kesunyiannya di teras masjid.

Adakalanya dia diusir oleh jamaah, mereka tak ingin masjid kotor, karena Salim tidak menggunakan sandal. Jika itu terjadi, Jidan pun memanggilnya agar ia masuk lewat belakang saja.

"Aku heran, mengapa orang harus mengusir Salim dari teras masjid ini, toh dia hanya duduk di situ, tidak menginjakkan kakinya ke masjid." katanya suatu hari padaku usai seseorang mengusir Salim.
"Jidan, mereka takut Salim masuk dengan kaki yang kotor." kataku.
"Wi, ini rumah Allah, setiap manusia berhak untuk memasukinya, tak peduli apakah itu kita atau Salim, masjid ini takkan pernah kotor dihadapan Allah, karena dimasuki oleh orang yang membersihkannya, tapi justru kan terkotori dengan sikap kita yang mencemooh makhluk ciptaanNya, lagi pula kita tak pernah tau, apakah kita lebih baik dihadapan Allah ketimbang Salim 'kan??? Mungkin kita malah jauh lebih hina." katanya padaku.

Ya, aku rasa dia benar, mungkin dalam sebulan aku hanya sekali memunguti sampah-sampah di halaman masjid ini, ketika ada kerja bakti remaja masjid, tapi Salim....... Ya Allah maafkanlah aku yang tak pernah menghargainya, maafkan aku Salim.

***

"Bunda, Wia pergi dulu ya!!!" kataku seraya mencium tangan bunda.
"Mau kemana, Wi?" tanya bunda.
"Wia mau ke masjid, ada beberapa ketikan yang belum Wia selesaikan untuk Buletin Ummat." jawabku.
"Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Wi." sahut bunda.
"Iya bunda, lagipula kan ada mas Raffi, nanti kita pulang bareng deh." kataku mengingatkan bunda kalau disana juga ada kakakku.
"Iya, tapi bilang juga sama mas mu, pulangnya jangan malam-malam, besokkan masih harus kuliah." timpal bunda.
"Iya, bunda sayang, udah ya bunda, assalamu'alaikum." ucapku sambil ke luar rumah menuju mesjid.
"Wa'alaikumussalam." jawab bunda pelan.

***

"Uh, bahannya masih kurang akurat, nih." kataku seraya menyodorkan beberapa kertas ulasan berita pada Fatimah.
"Apanya yang kurang akurat dek?" mas Raffi mulai sebel padaku, yang dari tadi sewot dengan berita-berita yang ia sodorkan.
"Iya dong, masa' jumlah korban, dan kerugian yang diakibatkan penyerangan sepihak AS terhadap Fallujah nggak ada." protesku.
"Ya ampun dek, namanya juga nyari berita di internet, iya gitulah keadaannya......". kakakku balas menjawab.
"Iya Wi, apalagi media penyiaran 'kan didominasi sama AS dan Yahudi, nggak bisa lagi, nyari yang bener-bener akurat, sekarang hanya gimana kita bisa menginformasikan apa yang terjadi di Fallujah kepada jamaah di sini." timpal Jidan. "Iya deh, kalau emang gitu." kataku menyerah, Fatimah dan beberapa teman redaktur lainnya hanya tersenyum melihatku yang masih agak sewot. Akhwat yang satu ini emang terkenal tenang, nggak seperti aku yang suka nyerocos.

"Yup, akhirnya selesai juga, tinggal diterbitkan dan semuanya beres." ujarku. Mas Raffi, Jidan dan Fatimah senyum-senyum melihat tingkahku.
"Dasar!!! paling cepet marahnya, eh paling cepet juga senengnya." ujar mas Raffi seraya memencet hidungku.
"Biarin." jawabku sekenanya.
"Udah yuk, kita pulang sekarang." ajak Fatimah.
"Iya, besok Wia ada ulangan, yuk mas." kutarik tangan mas Raffi keluar dari sekretariat remaja masjid. Kami bersama-sama berjalan di teras masjid yang beberapa lampunya telah dipadamkan oleh Jidan, ia pun ikut mengantar kami pulang sampai ke pintu depan.

"Eh, tumben ya! Udah malam begini masih ada yang shalat." ujar Yesi sambil menunjuk ke dalam masjid.
"Mana, Yes?" ucapku.
"Eh iya." sambung mas Raffi. Dalam keremangan cahaya kulihat sosok gempal sedang berdiri tegak dengan tangan yang dilipat kedepan. Tapi Yesi benar, tumben ada orang yang masih shalat malam-malam begini, kulirik jam tangan ku, 09.50 malam. Penasaran kami memperhatikannya, apalagi gerakan shalatnya terlihat aneh dimataku, dan...???

Ow ow... semua terperangah, hanya Jidan yang tersenyum tipis.

Subhanallah... Itu kan Salim. Semua terpesona melihatnya. Ada getaran aneh yang memasuki relung hati kami. Terlintas betapa egoisnya kami yang selama ini menganggap ibadah dan Islam hanya milik orang yang sehat jasmani dan rohani. Malam ini telah Allah tunjukkan bahwa Salim juga salah satu pemegang panji perjuangan Islam, paling tidak dia salah seorang yang telah menegakkan tiang agama.

Tak terasa dia pun selesai dan kaget mendapati kami sedang memperhatikannya. Dia tersenyum, mulai menggerakkan bibir dan tangannya, menunjuk ke arah tempat wudhu, entah apa artinya.

"Katanya, kakiku tidak kotor, aku sudah mecucinya dan berwudhu, aku hanya ingin shalat." ujar Jidan menterjemahkan. Dia mengangguk dan tersenyum.

"Iya, kamu boleh shalat kok, kapan aja." ujar Chika menahan haru.

Ya Allah... Aku menangis, terasa sesak dadaku mengingat keegoisanku dan semua orang padanya. Bukankah dia hanya ingin shalat??? Dan bukankah dia juga bagian dari kita disini???

Oh Salim, teruslah shalat, dan teruslah tegakkan tiang agama ini, karena orang yang normal belum tentu melakukannya. Benar kata Jidan, kita belum tentu lebih baik darinya.

Malam itu kami semua pulang dengan berjuta perasaan, ada haru, ada malu, dan pasti ada rasa syukur, karena Allah memberikan kami Salim yang senantiasa dapat memotivasi kami untuk lebih baik dihadapan sang Khalik. Alhamdulillah...


Untuk saudara yang telah mengajarkanku betapa aku harus bersyukur.

Mencari Istri Sempurna

KotaSantri.com Hamba mencari istri sempurna. Lelah hati dan jiwa. Hamba mencari kemana-mana, alhasil hamba tak sanggup temukan belahan jiwa itu. Setiap hari hamba berdoa, namun belum juga terkabul. Mungkin inilah perjuangan. Lama-lama hamba mulai menikmati kehidupan ini. Walaupun jemu pernah hinggap dalam kamus kehidupan hamba, meraung-raung dalam sunyi.

Sungguh, di dunia yang maya ini, hamba mencoba menghindar dari gundukan dosa, namun laron-laron dosa itu sesekali berduyun mendekati hamba. Sekuat ruh hamba berlari-berlari menuju cahaya, dan konon, salah satu kendaraan untuk mendekatkan diri dengan cahaya itu adalah mendapatkan seorang istri. Ya, hamba mencari istri sempurna, agar hamba bisa menyempurnakan niat hamba, bercengkrama dengan cahaya sejati.

Hamba bergelut dengan hari-hari, mencari secercah cahaya untuk bisa hamba huni dari kegelapan yang semakin gandrung menyelimuti hati hamba lagi. Hamba akui di setiap arah jam yang bergulir ada terpendam berjuta rahasia yang tak bisa hamba singkap keberadaannya, tak mampu hamba kuliti satu persatu apa gerangan yang diinginkan Allah. Tadinya hamba berpikir bahwa hamba telah mampu meredam satu niatan hamba itu, mengubur riak-riak kehidupan yang hamba bangun dengan pondasi rapuh. Rupanya detak suara jarum jam semakin besar menghentak-hentak dan memekakan telinga hamba, lalu hamba kembali terpuruk, pikiran hamba terhuyung-huyung melangkahkan kaki tak tentu arah.

Suatu hari, hamba bertemu dengan mawar. Di taman itu ia hidup sendiri. Warnanya yang merah merekah membuat mata terkagum-kagum. Ingin rasanya hamba mempersuntingnya, memetik segala hasrat yang mulai basah kuyup dengan segala keinginan.

Sang mawar tak sadar bahwa ada yang mengamatinya. Ya Tuhan harum sekali. Ya, ketika pagi merambat, hamba merasakan keharuman yang luar biasa. Merambat ke seluruh ubun-ubun, keharuman yang menakjubkan. Hamba memberanikan diri untuk menyapanya.

"Selamat pagi, Mawar." Mawar tersenyum, senyum yang menyejukkan.

"Selamat pagi. Ada apakah gerangan, sehingga pagi-pagi begini anda bertamu ke taman yang sepi ini?"

"Hamba berniat mencari istri yang sempurna. Setiap hari tanpa sepengetahuan anda, hamba mengamati anda, lalu tumbuhlah sejumput rasa tertentu yang tak bisa terdefinisi. Anda telah menyampaikan keharuman itu lewat wewangian yang disampaikan angin. Hamba pikir andalah yang hamba cari, belahan jiwa yang sekian lama memikat hamba untuk hidup dalam kembara."

"Betulkah aku yang anda cari? Tak malukah anda menikah dengan bunga sederhana sepertiku? Apa yang membuat anda terkagum? Tak banyak yang bisa aku berikan untuk anda."

"Mawar, sudah lama hamba mencari istri yang sempurna. Mungkin inilah harapan terakhir. Melihat warnamu yang memerah, hamba terkesima. Jika anda mengizinkan, hamba ingin melamar anda. Mari kita arungi bahtera hidup ini."

"Kalau betul itu yang anda inginkan, baiklah. Tunggu barang satu minggu, setelah itu jenguklah aku kembali."

"Terimakasih mawar. Ternyata hamba tak salah pilih. Seminggu lagi hamba akan kesini."

Hamba lantas meninggalkannya sendiri di taman itu. Hamba pergi diiringi senyum yang dramatis. Hati hamba seketika terbang ke langit. Sebentar lagi penantian hamba berakhir, hamba akan mendapatkan istri yang sempurna.

Seminggu berlalu, hamba mendatangi taman itu. Langkah kaki bersijingkat dengan sempurna, cepat dan gemulai. Ketika hamba tiba di tempat itu, tiba-tiba hati hamba melepuh, berterbanganlah harapan yang sempat mewarnai relung hati yang basah dengan tinta penantian. Mawar yang akan hamba persunting, yang akan hamba petik ternyata tak lagi berada di tangkainya. Ia telah luruh ke tanah merah, beserakan tak karuan, tak jelas lagi juntrungannya. Hamba tak habis mengerti, mengapa semua ini harus terjadi? Warna yang tadinya memerah, kini berubah kecoklat-coklatan, menjadi keriput, tak sesegar seperti minggu kemarin. Hamba menghampirinya, duduk termenung seperti seorang bocah yang merengek meminta mainan yang telah rusak. Dengan terbata-bata hamba berusaha menyusun kata-kata, menuai kalimat-kalimat. Namun mulut hamba teramat kelu, tak bisa lagi dengan sporadis menelurkan deretan huruf.

"Selamat pagi. Masihkah ada keinginan untuk menikah dengan ketidaksempurnaanku? Inilah aku, sang mawar yang sempat membuatmu terkagum. Mengapa wajah anda tercengang dan seolah tak memahami hakikat hidup?"

"Mengapa anda menjadi seperti ini? Apakah gerangan yang salah?"

"Tak ada yang patut disalahkan. Ini adalah siklus kehidupan. Hamba hanya bisa bertabah menghadapi takdir yang membelenggu. Ini jalan yang harus hamba jalani."

"Tapi hamba mencari istri yang sempurna, Mawar."

"Jika demikian, aku bukanlah belahan jiwamu."

Hamba beranjak dari tempat itu. Kekecewaan menghantui setiap langkah yang hamba bangun. Air mata menderas. Mawar yang sempat mencengkram jiwa, kini hanya onggokan ketakutan yang tak pernah hamba mimpikan sebelumnya.

***

Kini hamba berjalan lagi menyusuri waktu, mencari istri yang sempurna. Di tengah perjalanan, hamba melihat merpati yang terbang, menari di udara. Sayap-sayapnya ia sombongkan ke seluruh penjuru alam. Sungguh cantik ia, membuat cemburu para petualang. Lagi-lagi terbersit sebuah keinginan. Keinginan klasik: Inilah istri yang sempurna, semoga hamba bisa mendapatkannya. Merpati itu hinggap di ranting pohonan. Hamba memberanikan diri untuk memulai percakapan.

"Wahai merpati, tadi hamba melihatmu bercengkrama dengan angin. Bulu putihmu yang kudus, menjadikan harapan dalam batin kembali tumbuh."

"Apa yang hendak anda inginkan?"

"Hamba mencari istri yang sempurna. Andalah yang hamba cari."

"Betulkah aku yang anda cari?"

"Ya tentu. Hamba ingin anda terbang bersama hamba, membangun sebuah keindahan, mengarungi bahtera kehidupan."

"Jika demikian, silahkan tangkap aku. Apabila anda berhasil menangkap diriku, aku berani menjadi belahan jiwa anda. Aku akan belajar menjadi apa yang anda inginkan."

"Tapi bagaimana mungkin hamba bisa menangkap anda? Anda mempunyai dua sayap yang indah dan memesona, sedangkan hamba hanya manusia yang bisa menerbangkan imajinasi saja, selebihnya hamba adalah pemimpi yang takut dengan kehidupan."

"Segala sesuatu mungkin saja terjadi, asalkan ada maksud yang jelas dan lurus. Lebih baik anda pikirkan kembali niatan anda itu. Betulkah aku pasangan yang anda cari? Maaf, hamba aku bercengkrama dulu dengan angin, sampai jumpa."

Hamba tak bisa berkata banyak, merpati telah terbang bersama angin. Angin, oh...rupanya kekasih sejati merpati adalah angin. Hamba tak mau merusak takdir mereka. Bagaimana kata dunia kalau hamba dengan paksa menikahi sang merpati? Dunia akan mencemooh hamba sebagai manusia paling bodoh yang pernah dilahirkan. Tapi kemanakah lagi hamba harus mencari pasangan jiwa?

***

Itulah kabar hamba dulu. Meniti berbagai penderitaan untuk menyempurnakan segala beban yang melingkar di dasar palung jiwa hamba. Itulah gelagat hamba dulu, seperti seorang pecinta yang berkelana tak jelas arah dan tujuan, menghujani kulit lepuh para bidadari, menjadikan mereka gundah, berenang di atas lautan hampa. Begitu juga hamba. Ya, kabar hamba dulu! Memekik cinta yang bergemuruh, membadai, bercengkrama, meraja, bersengketa, meracau seperti burung kondor yang rindu bangkai-bangkai kematian. Dulu hamba tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Hamba nyaris seperti mayat yang bergentayangan di siang hari, diperbudak angan-angan, bertubi-tubi mulut hamba memukul angin.

Sampai suatu malam, ketika keheningan mengambang di udara, berderinglah sebuah telepon selular yang teronggok di atas sajadah harapan. Kala itu hamba tidur lelap, mencipta mimpi yang samar. Hamba dibangunkan oleh gemuruh suara ring tone. Anehnya, suara selular itu tidak lagi menggelayutkan melodi seperti biasanya. Suaranya aneh tapi nikmat dan menyejukkan. Kalau tidak salah seperti ini: Allahuakbar....Allahuakbar...Allahuakbar... Kontan saja hamba terhenyak dan sempat kaget. Hamba mencoba memicingkan mata yang berat seperti terbebani satu ton serbuk besi. Di dinding kamar hamba melihat detak jam yang mengarah pada nomor tiga. Masih sepertiga malam. Siapa gerangan yang berani mengusik persemayaman indah ini? Lalu hamba mulai merunut kata-kata.

"Halo, siapa anda? Mengapa membangunkan hamba? Biarkan hamba beristirah barang sejenak." Hening, tak ada jawaban. Hamba pikir, ini pasti gelagat orang jahil yang mencoba berimprovisasi. Tapi ketika hamba mau menutup telepon selular, hamba mendengar suara yang menggelegar. Bukan, suara ini bukan dari telepon selular, tapi dari segala penjuru mata angin. Keringat mulai menghujan, ketakutan bersalaman di batin, air mata tak bisa hamba bendung, dan rasa rindu mencengkram hamba dari belakang, rindu yang tak terdefinisi. Mungkinkah doa-doa hamba yang terdahulu akan terkabul? Siapakah gerangan yang bicara? Setelah bermilyar doa berjejalan di udara, hamba harap seuumpt cahaya itu yang bicara Ya, semoga bukan kepalsuan yang bicara. Suara itu makin keras terdengar. Suara itu berkata seperti ini.

"Betulkah kau mencari istri yang sempurna?"

Dengan terbata-bata hamba bilang, "Ya...ya..hamba mencari istri yang sempurna. Mampukah anda mengabulkan keinginan hamba yang belum terwujud ini?"

Suara itu kembali berujar. "Berbaringlah, lalu tutuplah matamu. Bukalah ketika suaraku tak terdengar lagi." Hamba ikuti keinginannya. Hamba tutup mata hamba, dan berbaringlah. Riangnya hati hamba, sebentar lagi hamba akan berjumpa dengan istri sempurna. Jodoh hamba akan hadir. Ah, suara itu hening. Hamba mulai memicingkan mata. Hamba lihat di sekeliling. Mengapa yang terlihat hanya gumpalan-gumpalan tanah yang kecoklatan? Mengapa begitu sejuk? Kemudian hamba melihat pakaian hamba. Putih! Semua serba putih. Bukankah ini kain kafan? Alam barzah, pikir hamba. Lalu hamba melihat sesosok tubuh datang menghampiri, begitu bercahaya, cantik rupawan.

"Siapa anda?"

"Hamba adalah amalan anda. Hamba tercipta dari anda, istri sempurna yang anda ciptakan sendiri. Menikahlah dengan hamba, sambil menunggu semua manusia kembali ke alam sunyi ini."

Begitulah kabar hamba kali ini. Ada lagi yang mau mencari istri sempurna?

Sepotong Cinta


"Pakabar, Cinta?”

Ini adalah pertanyaan yang selalu saya dengar ba’da salam, setiap kali saya berjumpa dengan Maimon Herawati, muslimah kelahiran Padang yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai Redaktur Majalah Wanita Islam “Ummi”. Kata ini adalah kata yang sangat sederhana, namun membuncah perasaan saya setiap mendengarnya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Dan ini adalah sapa kedua ba’da salam yang selalu saya dengar dari rekan kerja saya, Ifa Avianty. Memandang wajahnya saya selalu merasa ringan, seakan puluhan orang mengulurkan tangannya dan siap mendekap saya.

“Apa pun yang kamu perlukan,” kalimat ini merupakan terjemahan dari senyum dan anggukan tulus teman saya, Meutia Geumala, setiap kali saya datang padanya.

Tetapi tak ada kata yang terucap ba’da salam, dan hanya keheningan sesaat, setiap kali saya bertemu dengan Nurul Hidayati, seorang muslimah biasa, yang banyak membagi makna kehidupan dalam cahaya Islam kepada saya. Mata dan hati kami yang bicara, dan kedua matanya yang jeli akan berkaca-kaca. Sedang saya selalu menangis, tanpa sepatah kata pun. Lalu orang-orang sekeliling kami akan menatap tak mengerti.

Setiap kali bertemu seseorang saudara di sabilillah, kau akan menyadari, betapa mereka berarti dan meninggalkan jejaknya dalam di hatimu, walau jarak dan waktu membentang. Maka, tinggalkanlah juga jejakmu di hati saudara fillah yang kau cintai. Dan kau tak akan merugi sedikitpun.

El Camino a mi casa..., ~El Paradiso

KotaSantri.com - “Namaku Miranda Garza, aku seorang Spanyol yang sekarang tinggal di Indonesia. Umurku 17 tahun, aku bisa berbahasa Indonesia, senang berkenalan denganmu.”, dengan senyum ketar-ketir aku memperkenalkan diriku pada tetangga baruku di perumahan Bumi Indah.

“Namaku Anggia Putri, senang berkenalan dengan kamu juga.”

Itulah perkenalan singkat antara aku dengan Anggia, aku adalah seorang katolik dari keluarga yang taat beragama, sedangkan Anggia adalah seorang Muslimah yang religius. Rumah kami berdua berdekatan, saking sangat dekatnya, aku yang tomboy suka panjat genting rumahnya agar dapet langsung masuk ke kamar Anggia. Maklumlah soalnya rumah kami berdua ini saling berdempetan satu sama lain dan berlantai dua. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tapi tahun belum berganti tahun (soalnya belum nyampe hehe…). Kami telah saling mengisi satu sama lain, Aku dan Anggia menjadi teman yang baik. Aku bersekolah di Jakarta International School, sedangkan Anggia masuk di SMUN 78. kami berdua duduk di kelas 2 SMU.

“Anggiaaa… help me!!!” Suara dari gagang telepon menyentak Anggia.
“Kamu kenapa Mira?”
“Aku sakit, Anggia. Estoy Enferma, Anggia.”

Anggia segera menutup gagang teleponnya, segera ia menuju rumah tepat disampingnya. Bibi Iyem, sang pembantu rumah, mempersilahkan Anggia ke kamarku. Anggia pasti terkejut mendapati aku menangis di kamar.

“Kamu kenapa Mira? Kenapa nangis gitu? Kamu sakit? Kamu punya masalah?” Anggia menggoyang-goyangkan tubuhku, dengan panik.
“Kejutaaaaaaaan, hahahahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak.
“Eh, kamu ngerjain aku kenapa?” Anggia juga tertawa melihat dirinya dipermainkan olehku.
“Nada (tidak apa-apa), cuman pengen tahu sebesar apa kepedulian kamu terhadapku.” Ekspresi wajahku saat itu berubah menjadi serius.
“Eh, kamu ini kenapa? Nggak biasanya, kamu bikin aku takut, tau nggak? Aku terburu-buru, liat Jilbabku. Berantakan, dasar Mira si Badut Spanyol.” Anggia menimpali dengan tertawa kecil.

“Anggia, rambut kamu bagus kenapa musti ditutupi?” Aku selalu saja menanyakan hal yang sama.
“Ini aurat, jadi harus ditutupi. Ini suatu kewajiban yang Tuhan berikan kepada kita dan kita harus menjalankannya. Lagi pula aku Pede dan Happy dengan ini.”

“Kenapa Tuhan nggak berikan kebebasan untuk kita? Tuhan itu sangat cinta dengan kita, dan kita pasti akan ke surga jika kita percaya bahwa Yesus itu lahir di dunia sebagai sang penebus dosa. Jika Yesus nggak dilahirkan maka kita semua akan ke neraka. Percaya pada Yesus itu satu-satunya jalan yang membawa ke Surga.” Diriku memberikan argument sambil memainkan rambut kemerah-merahanku.

“Kalau benar Yesus itu satu-satunya jalan agar kita bisa membuka pintu surga, dengan kematiannya? Lantas bagaimana nasib jutaan manusia yang lahir sebelum Yesus? Apa mereka akan masuk neraka semua? Kalau Tuhan menetapkan hukum itu, namanya tidak adil.” Anggia memberi jawaban yang cukup membuatku terdiam. Setelah episode itu tak ada jawaban dariku, aku hanya manggut-manggut saja tidak tahu apa yang harus aku katakan.

Seperti kebiasaan diriku yang tomboy, aku memulai menjadi spiderwoman, merayap diantara genteng-genteng biru agar langsung dapat masuk ke kamar Anggia. Sore itu tepat jam 3 lebih 30 menit 42 detik, dengan tas “smile” berwarna kuning di punggungku, aku telah mendarat dengan selamat di jendela kamar Anggia. Waktu itu Anggia sedang shalat Ashar, aku hanya terdiam memperhatikan apa yang sahabatku lakukan. “Sangat sederhana dan natural” begitu yang dapat aku simpulkan. Aku mengingat-ingat apa nama gerakan ini, shalat. Ya, aku telah mengingatnya. Anggia dulu pernah mengatakan kepada diriku bahwa ini adalah shalat, suatu gerakan cara menyembah ummat Islam kepada Tuhan mereka. Aku melihat Anggia telah selesai melakukan shalat, segera saja aku meraih gagang jendela kamar Anggia, dan huup, aku meloncat masuk ke kamar Anggia lewat jendela.

“Buenos Dias Anggia, Selamat sore Anggia.” Dengan wajah yang cerah dan senyum cengir khas gaya Spanyol.
“Selamat Sore juga.” (Anggia masih sibuk melipat rapi mukenanya.).
“Hehehe, Anggia selesai shalat?”, tanyaku.
“Iya”, timpalnya.
“Kenapa nggak pakai ketua, someone like a Pastor?” tanyaku ingin tahu.
“Mira, dalam Islam tuh nggak ada yang namanya Pastor, Pendeta, Rabbi, de el el. Nggak ada mediator diantara kita dengan Tuhan. Kita bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan.”
“Apa kamu yakin doa kamu diterima?” Tanyaku penasaran.
“Insya Allah, karena hal inilah yang saya yakini dan saya tidak punya keraguan tentang ini.” jawab Anggia santai.

Oh Tuhan, dia begitu yakin dengan apa yang dia katakan, sedangkan aku selalu saja ada tanda Tanya besar dihatiku, aku selalu risau dengan hakikat Tuhan yang Trinitas, terus terang sampai saat ini aku belum paham tentang itu. Sungguh malu, Anggia selalu mengatakan padaku kalau Allah itu sempurna, satu, Dia tidak beranak dan juga tidak diperanakan, Anggia benar-benar mengerti hakekat Tuhan. Hal inilah sebenarnya yang menjawab semua keraguan-keraguanku selama ini. Tapi aku ingin sekali segera menghempasnya, aku tak mungkin mempercayai agama yang mengajarkan Teroris ini. Ya… ayahku sering bilang kalau agama inilah yang menjadikan dunia penuh dengan kebencian. Tapi segera saja prasangka burukku ini jauh-jauh pergi setelah aku melihat kemurahan hati Anggia. Dia begitu sopan dan baik. Dan yang membuatku kagum dia adalah seorang muslimah, selama bertahun-tahun aku menggambarkan orang-orang muslim itu jahat, kejam, tidak mengerti perasaan orang. Tapi setelah aku tinggal di Indonesia meninggalkan Spanyol, hal itu pupus sudah.

Sore itu Anggia menceritakan kepadaku, selama berabad-abad Islam telah menguasai Spanyol. Islam membuat peradaban yang maju saat itu, padahal sebelum kedatangan Islam, Spanyol masih suatu bangsa yang tak mengenal jati dirinya. Ilmu pengetahuan belum banyak ditemukan. Kemudian hal itu dihancurkan oleh pasangan Raja dan Ratu beragama Kristen waktu itu, mereka membunuhi setiap warga Muslim disana. Lenyaplah peradaban itu, pembunuhan besar-besaran terjadi disana, Spanyol kota yang indah kala itu penuh dengan kejahatan & kekejaman yang dilakukan umat Kristen. Siapakah dari umat Kristen Spanyol tak akan merah mukanya, melihat pendeta-pendeta Kristen menghasut kekuatan untuk bertindak dengan kekejaman dan kebengisan setan terhadap suatu ummat yang dari mereka kita selalu menerima perlindungan dan kemanusiaan? Di bawah bangsa Arab Spanyol-lah jiwa kesatria timbul, yang kemudian diakui oleh prajurit-prajurit Kristen seakan-akan menjadi milik Kristen. Hal ini pasti akan membuat rasa sakit yang dalam bagi umat Islam, banyak masjid-masjid yang megah yang didirikan oleh Umat Islam sekarang diubah menjadi gereja-gereja suci bagi umat Kristen; Santo Cristo de Laluz, Santa Maria, Santa Tome, Santa Maria de Torenzito, sebuah nama-nama yang tak asing ditelingaku, rupanya di abad ke 14 merupakan masjid-masjid bagi Umat Muslim.

“Islam masih akan mempersembahkan pembaktian kepada ummat manusia, karena Islam ditujukan kepada Dunia ini.” Anggia mengatakan itu dengan buku sejarah Islam ditangannya.

Di akhir pertemuanku, Anggia memberiku sebuah buku, aku menanyakan siapa yang menulisnya. Anggia menjawab dengan senyuman di wajahnya, “Tuhan yang menulisnya.”
“Gracias…(terima kasih).”

Malam ini aku duduk di atas tempat tidurku, mendengarkan lagu-lagu berbahasa Spanyol kesukaanku. Baru saja lagu Concierto De Aranjuez dinyanyikan apik oleh CHANO. Kalau mendengarkan lagu-lagi ini serasa masih tinggal di Spanyol. Aku merindukan teman-temanku disana, Aku merindukan Walter Gomez, mantan pacarku yang tak lama aku telah putus dengannya setelah kepergianku menuju Indonesia. Ayahku seorang Diplomat yang diberi tugas di Indonesia. Aku tak keberatan dengan ini, karena aku suka mengunjungi tempat-tempat yang baru, dan menemukan hal-hal yang baru. Aku mematikan Tapeku, dan mengambil sebuah buku yang sore tadi Anggia telah memberinya padaku, aku membukanya… Disana terselip sebuah kertas yang sengaja Anggia berikan untukku dengan bahasa Spanyol. “El-Qur’an no es solo para Islam, El mundo no es solo para Islam, pero El Qur’an y Islam es para todos en el mundo.”

“Al-Qur’an bukan hanya untuk Islam, Dunia ini bukan hanya untuk Islam, tetapi Al-Qur’an dan Islam untuk semua yang ada di dunia ini.”

Aku membuka halaman-halaman Al-Qur’an itu, sedikit bingung memang, mana halaman yang pertama gumanku dalam hati. Aku membacanya, sungguh hatiku tak kuasa menahan kebenaran isi Al-Qur’an itu. Aku membaca surat Al-Ikhlas, surat berisi 4 ayat ini telah menjawab keraguanku selama ini. Sungguh mempesona dan benar gumanku dalam hati. Malam itu aku terus membaca buku itu, ada kisah tentang Isa (Yesus) ada kisah tentang Maria si perawan yang suci. Dan aku lebih mempercayai apa yang ada dalam buku ini dari pada yang aku dapatkan dari Bibelku. Sungguh jelas dan meyakinkan hatiku.

Suara Adzan subuh membangunkan aku, tanganku masih memegang Al-Qur’an yang kemarin malam aku baca. Aku jarang sekali mendengar adzan di Spanyol, dan kini di Indonesia aku dapat mendengar suara panggilan ini 5 kali dalam sehari.

2 tahun dari peristiwa itu, aku semakin tertarik pada Islam, aku banyak membeli buku-buku tentang Islam dalam bahasa Inggris, Spanyol dan Indonesia. Pengetahuanku bertambah, dan Anggia masih menjadi tempat yang terbaik untukku dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku seputar Islam. Ingin sekali rasanya aku meleburkan diriku dalam Islam, tetapi rasa takutku pada ayahku mengendorkan niat ini.

Aku kembali merayap seperti spiderwoman, untuk meraih jendela kamar Anggia. Aku hanya ingin mendengarkan Anggia mengaji Al-Qur’an, aku tahu sehabis Maghrib adalah waktu dimana dia biasanya mengaji Al-Qur’an, dia mempunyai suara yang bagus. Ingin sekali bisa seperti dia. Anggia menyelesaikan bacaan Al-Qur’annya, dan menyuruhku untuk duduk disampingnya. Dia mengatakan padaku, bahwa kematian itu sesuatu yang paling dekat dengan kita, walaupun kita membuat sebuah benteng besar untuk menghadangnya kita tidak akan mampu untuk menghadangnya. Kemudian dia melanjutkan cerita tentang Muhammad. Seorang nabi berbangsa Arab. Anggia menyuruhku untuk mengecek Bibel yang aku bawa. Yohanes 14:26, 15:26 dan 16:7. “Namun benar apa yang kukatakan padamu. Itu adalah lebih berguna bagimu, jika aku pergi. Sebab, jika aku tidak pergi, PENGHIBUR itu tidak akan datang padamu. Tetapi jika aku pergi, aku akan mengutusnya kepadamu.” (Yohanes 16:7). Aku membacakan salah satu ayat apa yang Anggia minta.

“Ahmad atau Muhammad adalah seorang yang terpuji, sebuah kata yang dalam bahasa Yunani hampir sama dengan “Periclytos”. Sementara pada Injil Yohanes sekarang, misalnya pada ayat 16:7, kata Penghibur untuk bahasa Indonesia, kata “Comforter” untuk versi bahasa Inggris dan kata “Paracletos” untuk versi Yunani. Yang berarti “Advocate=pembela”, sehingga berarti seseorang yang memberikan pertolongan kepada yang lain.” Anggia kemudian mengambil 2 gelas Jus Melon dari kulkasnya dan melanjutkan lagi statementnya.

“Para teolog udah sependapat kalau “Paracletos” berasal dari kata “Periclytos” yang dalam ucapan aslinya digunakan Al-Masih untuk mengisyaratkan kedatangan “Ahmad”, pembawa misi kerasulan sesudahnya. Bahkan kalau kita baca “paraclete”, hal itu menunjukkan bahwa dia adalah Rasul yang mulia pemurah dan pengasih terhadap sesama makhluk.” Anggia mengakhirinya dan memberiku kesempatan untuk berbicara.

“Aku suka Muhammad, dia adalah seorang pemimpin yang adil dan seorang yang hebat, aku membaca sejarah kehidupannya dari buku karangan seorang Muslim Mesir. Aku yakin apabila seseorang mempelajari hidup dan sifat Nabi dari Tanah Arab ini, yang tahu bagaimana mengajar dan bagaimana ia hidup, maka ia akan merasa lain dan akan penuh hormat kepada Nabi agung, pembawa berita dari Yang Maha Kuasa, setiap kali aku mengulangi membaca riwayatnya, aku memperoleh semangat yang baru untuk mengaguminya dengan sepenuh hatiku.”, ucapku.

“Kamu pintar Mira, semoga Allah juga memilihmu sebagai seorang Muslimah.” Anggia mengatakan kalimat itu lagi.

Kemudian Anggia menyuruhku untuk membuka Al-Qur’an surat ash-Shaf ayat 6 : “Dan ingatlah, ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel! Aku adalah utusan Allah kepadamu, untuk membenarkan taurat yang turun sebelumku dan menyampaikan berita gembira tentang kedatangan seorang rasul sesudahku, bernama Ahmad.” (QS. Ash-Shaf : 6). Aku selesai membacanya dan mulai mengerti.

“Ahmad dalam Al-Qur’an ini adalah yang dimaksudkan Nabi Isa dalam Injilmu, dia adalah seorang penghibur, Rosul yang mulia.” Anggia menyelesaikannya dengan sangat jelas.

Malam itu aku tak dapat tidur, aku memikirkan bagaimana nasibku jika malam ini mati dan aku masih dalam keadaan seperti ini, aku yakin Islam itu agama yang benar, bukan Katolik atau Kristen, bukan pula agama-agama yang lainnya, hanya Islamlah yang benar. Aku harus membuat suatu keputusan, dan aku harus berani untuk menjalaninya.

Aku membuka catatan-catatan yang aku dapat dari Bibelku, banyak sekalai keraguanku tentang ayat-ayat di Bibel ini. Sering sekali pastor-pastor mengkhutbahkan kepada Jemaat Gereja dan orang-orang dimuka bumi ini bahwa Yesus dalam Bible itu sangat pemurah dan lembut menyampaikan kedamaian. Tapi kenyataannya?

Aku membuka Lukas 12:49-53, “Aku (Yesus) datang untuk melemparkan api di bumi dan betapakah aku harapkan, api itu telah menyala. Aku harus menerima baptisan, dan betapa susahnya hatiku, sebelum hal itu berlangsung. Kamu menyangka, bahwa aku datang untuk membawa damai diatas bumi? Bukan, kataku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.”

Apa benar perkataannya ini? Dia mengajarkan pertentangan? Tak heran jika orang-orang Kristen Amerika menyerang negeri-negeri Muslim. Mereka mengamalkan ajaran dari Lukas : 49-53 ini. Mereka sungguh orang yang sesat.

Kemudian pada Lukas 14:26, ada perkataan Yesus yang menyuruh membenci keluarga, “Jika seseorang datang kepadaku dan tidak membenci bapak, ibu, istri, anak-anak dan saudara-saudara lelaki serta saudara-saudara perempuannya, ya, dan bahkan jiwanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridku…” Bukankah ini perkataan yang tidak pantas untuk dikatakan untuk seorang Yesus?

Al-Qur’an lah sebuah Kitab suci yang memuat pernyataan yang benar tentang Yesus putra Maryam. Dia adalah seorang Rasul yang terkemuka di dunia ini dan diakherat nanti. Dia menghormati Ibunya dengan sebaik-baik penghormatan. Tidak seperti apa yang dikatakan Bibel pada Yohanes, 2:3-4

“Ketika anggur makin berkurang, ibu Yesus mengatakan kepadanya, “Mereka tidak mempunyai anggur.” Namun yesus mengatakan kepadanya, “Apa urusanku dengan engkau, (hai) wanita?...” Yesus digambarkan pada Bible sebagai seorang yang tidak menaruh rasa hormatnya kepada sang Ibu yang telah menjaga kehormatannya itu. Sungguh benar apa yang dikatakan Anggia beberapa waktu lalu, bahwa Bibel bukanlah kitab yang asli yang diajarkan Yesus untuk orang-orang Israel. Dan Al-Qur’an lah kitab persaudaraan yang Universal dengan bahasa yang tinggi dan mengaggumkan. Al-Qur’an lah sebuah kitab suci dari Tuhan Yang Kuasa.

Orang mengatakan bahwa orang-orang Eropa di Afrika Selatan takut akan kedatangan Islam, obor terang “Spanyol Islam” yang telah menghotbahkan kepada dunia suatu Kitab Persaudaraan. Orang-orang Eropa di Afsel sangat takut akan kedatangan Islam, karena mereka takut akan kenyataan bahwa apabila bangsa asli itu memeluk agama Islam, mereka akan menuntut hak persamaan dengan orang-orang kulit putih. Patutlah mereka takut akan hal itu. Apabila persaudaraan itu suatu dosa, kalau persamaan antara bangsa-bangsa berwarna mereka takuti, maka ketakutan itu memang berlandaskan. Karena aku telah melihat bahwa setiap orang Zulu Afrikan yang memeluk agama Kristen tidak serta merta menjadi sederajat dengan orang-orang Kristen kulit putih Eropa, sedang segera setelah ia memeluk agama Islam, ia minum satu cangkir dan makan sepiring dengan seorang Muslim lainnya; itulah yang mereka takuti. Ya, orang-orang keji Eropa sangat menakuti persaudaraan kaum muslimin. (Gumanku dalam hati).

Aku membuka jendela kamarku dan duduk di atas genteng biru rumahku, dingin sekali rasanya, bintang-bintang sangat indah tertata rapi di langit. Berapa jumlah bintang-bintang itu ya? Gumanku dalam hati. Kemudian aku mulai menghitung-hitungnya, aku tahu aku tak akan mampu, aku tahu aku tak akan mampu untuk menghitung seberapa besar cinta dan rahmat Tuhan yang telah Ia berikan didunia ini untuk para manusia. Tetapi kebanyakan para manusia itu tidak tahu terima kasih, kebanyakan dari mereka malah mendurhakai Tuhan. Semoga saja aku bukanlah salah satu dari mereka.

Rasanya ingin menangis, menangisi kebodohanku selama ini, diriku yang hina ini telah memfitnah Tuhan, sungguh beraninya aku mengatakan bahwa Tuhan itu mempunyai anak? Bahwa Tuhan itu Tiga? Betapa besar dosa-dosaku selama ini. Sesudah 2 tahun aku mempelajari Islam dan agama-agama lainnya, aku memperoleh perbandingan yang memuaskan antara trinitas Kristen dengan Trimurti Hindu. Dalam hindu Tuhan itu dibagi menjadi Brahma, Wisnu, Syiwa. Dan dalam agama Kristen itu menjadi “Allah Bapak, Allah anak dan Roh Kudus.” Selain itu, aku juga sampai kepada kesimpulan bahwa sakramen “Perjamuan Malam” bukan berasal dari ajaran Yesus tapi dari kebudayaan Hindu. Aku juga melihat bahwa “Kristus” berasal dari kata Karistana yang berarti Tuhan Anak dalam teologi Trinitas dan trimurti Hindu. Sungguh memuakan, kenapa bisa Kristen bersumber pada agama yang menyembah binatang ini? Aku harus memilih Islam sebagai agamaku.

Pagi-pagi sekali aku menemui Anggia, kali ini lewat pintu depan karena aku lihat jendela kamar Anggia masih tertutup. Yusuf adik Anggia membukakan pintu untukku. Segera aku menuju ke kamar Anggia, dengan perasaan tidak sabar. Dia kaget melihatku pagi-pagi sekali datang kerumahnya.

“Anggia, aku ingin menjadi seorang Muslimah!!! Yo quiero ser una Buena molsumana.”

Anggia hanya terdiam melihatku baik-baik kemudian ia menangis, menangis karena bahagia dan aku dapat merasakan kebahagiaan itu.

“Ashaduala ila hailAllah wa ashadu ana Muhammadan Rasululah, Yo atestiguo que no hay nada digno de adoraci que Alla yo atestiguo que Mujammad es el profeta de Alla.” Aku mengucapkan 2 kalimah syahadat dengan cepat.

Saat ini aku merasakan aku dapat mencium bau surga, dan belas kasih Allah melingkupi seluruh tubuhku, kehadiran Tuhan sangat aku rasakan. Hidupku telah siap untuk perjalanan selanjutnya di dunia ini dan aku akan berjalan menuju rumahku di surga di bawah pangkuan Islam, terima kasihku kuhaturkan untuk Allah, yang telah memilihku dari sekian milyar manusia di dunia ini sebagai seorang Muslimah.

Kuhadapkan wajahku pada Yang Kuasa, tengadahkan tanganku bersyukur kepada Allah SWT atas segala rahmat Nya dan anugerah yang indah. Karena telah menjadikan aku, seorang Spanyol berusia 19 tahun kembali kepada pangkuan Islam.

Anggia sahabatku memelukku, kami berdua menangis dikamarnya. “Hermana Anggia, te a mo por el poder de Allah.” Aku mengucapkan lirih kata itu. (Saudara ku Anggia, aku mencintaimu karena Allah).

“Tiada paksaan dalam memasuki Islam. Telah jelas perbedaan jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (Al-Baqarah : 256).

April 2001

Berbuat Baik kepada Orang Tua

Seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW mengadukan bahwa ayahnya telah mencuri hartanya. Rasulullah kemudian bertanya kepadanya, ''Pergilah dan datanglah kemari bersama ayahmu.''

Ketika lelaki tadi pergi, Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah dan bersabda, ''Wahai Muhammad, Tuhanmu mengucapkan salam kepadamu dan berfirman, 'Jika orang tua anak tersebut tiba, maka tanyakanlah apa yang telah dia ucapkan dalam hatinya yang tidak terdengar oleh kedua telinganya'.'' Setelah berkata demikian, Malaikat Jibril pergi. Tidak lama kemudian, lelaki tadi datang bersama ayahnya. Nabi SAW kemudian bertanya kepada ayah lelaki tadi, katanya, ''Mengapa anakmu mengadu bahwa engkau mencuri hartanya?''

''Ya Rasulullah, tanyakanlah kepadanya, harta itu aku dermakan kepada siapa; kepada salah seorang bibinya atau untuk diriku sendiri?'' jawab ayah lelaki tadi. ''Perkenankanlah aku untuk tidak membahas hal ini, tetapi ceritakanlah kepadaku apa yang kau ucapkan dalam hatimu yang tidak didengar oleh kedua telingamu?'' tanya Rasulullah sebagaimana yang diajarkan Malaikat Jibril sebelumnya.

''Demi Allah wahai Rasulullah, Allah selalu membuat kami semakin yakin kepadamu. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hatiku yang tidak didengar oleh kedua telingaku,'' jawabnya.

''Sampaikanlah, aku akan mendengarkannya,'' jawab Nabi SAW.

Tidak diduga, ternyata ayah lelaki tadi kemudian membacakan sebuah syair yang bagus yang ditujukan kepada sang anak buah hatinya:

Ketika engkau lahir, aku memberimu makan
Dan ketika engkau tumbuh dewasa, aku selalu menjagamu
Engkau diberi minum dari jerih payahku
Jika malam hari engkau sakit
Maka, sepanjang malam aku tidak tidur
Bergadang memikirkan penyakitmu
hingga tubuhku sempoyongan karena kantuk
Seakan-akan aku yang sakit, bukan kau
Air mataku pun mengalir deras
Dan jiwaku khawatir kau akan mati
Padahal Dia tahu bahwa ajal akan tiba sesuai waktunya
Saat engkau mencapai usia yang tepat
Saat di mana kuharapkan dirimu
Kau balas diriku dengan kekejaman dan kekasaran
Seakan-akan engkau pemberi nikmat
Dan yang dermawan
Andai saja ketika tak dapat kaupenuhi hakku sebagai ayah
Kau perlakukan aku sebagai tetangga
Yang hidup berdampingan


Mendengar syair yang dibacakan ayah lelaki tadi, tidak terasa Rasulullah pun meneteskan air mata dan berkata kepada anak tersebut, ''Dirimu dan hartamu adalah milik ayahmu.''

Laki-laki itu pun tertunduk lesu dan merasa malu. Ia kini menyadari betapa besar curahan kasih sayang orang tuanya kepada dirinya. Karena kesadarannya telah terbuka, maka hartanya itu diikhlaskan kepada ayahnya. Dan, lelaki beserta orang tuanya pun akhirnya minta izin pergi meninggalkan Nabi SAW dengan perasaan damai.