Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di hadapannya. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri kita. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan pengorbanan yang tak rela dipecahkan…
Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyirami diri. Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai karena kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati ujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.
Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba dari Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, karenanya ia bisa pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya bisa terima. Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang bisa dikenai. Sekarang coba dulu lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.
Maka ketika kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari, kita bisa apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan kepahitan yang kita ciptakan sendiri.
Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?
Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu sok, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Mungkin tak cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Hanya cinta yang begitukah yang kita inginkan?
Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa’? Itu karena kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing karena kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi dan tak mungkinlah kita mencapainya. Jangankan mencintai, membayangkan untuk mendekatinya saja tak mungkin.
Tahukah kamu, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat ‘kan? Kita? Manusia yang hina dina yang berasal dari setetes sperma yang hina? Ditawarkan cinta dari pembuat cinta? Cck… ckk… Apa nggak salah, nih? Kemudian kita malah menolak dan menjauh? Wah… wah… betapa bodohnya ...
Kalau cinta seperti itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang membawa pada kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah… cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.
Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu?
al Birru
emine_mm@maktoob.com
sumber : eramuslim
Rabu, 23 Maret 2011
Cinta versus "Cinta"
"Eee... itu kan cucuku? Waduh sudah besar, mana cantik lagi!" seru seorang nenek bangga campur terkejut, melihat sang Cucu tampil modis di layar kaca. Perempuan yang disanjung si nenek berdandan ala wanita karir metropolitan. Stelan rok dengan atasan model jas. Saking sukacitanya, si nenek spontan memanggil semua penghuni rumah untuk menyaksikan buah hatinya yang nampak "matang" penampilannya.
Paparan kisah di atas, merupakan potongan iklan sebuah bank yang mungkin cukup sering kita saksikan di layar televisi. Tayangan iklan itu menyajikan luapan ekspresi cinta seorang nenek demi menyaksikan cucunya telah menjadi "orang". Karena itu untuk bisa mengantarkan buah cinta kita bisa jadi "orang", pesan itu selanjutnya, tanamkanlah uang kita di bank.
Kita, insya Allah, sama faham apa yang dimaksud "menjadi orang". Seperti tayangan potongan iklan di atas, "menjadi orang" selalu berkonotasi pada kesuksesan dunia. Dengan kata lain, jangan buru-buru mengklaim diri telah berhasil alias "jadi orang" kalau belum mampu meraih "3 Ta" paling tidak. Tahta, Wanita, dan Toyota.
Terus terang, bagi kita yang hidup di era kiwari, idiom ini terkesan membawa beban amat berat. Bayangkan, untuk bisa jadi "orang", kita kudu bisa meraih segepok keberhasilan. Entah itu harus berhasil meraih jabatan atau kekuasaan. Entah berhasil dalam suatu profesi.
Pendek kata yang dimaksud "jadi orang" tak lain tak bukan, sukses meraih materi. Tak heran, promosi bank-bank yang amat bombastis juga menjual janji: "Anda ingin sukses, raihlah hadiah bernilai milyaran rupiah dari kami." Sekolah-sekolah, kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga kursus pun mempromosikan diri dengan janji-janji muluk "sukses masa depan".
Mahal memang harga sebuah sukses, harga untuk menjadi "orang". Boleh jadi premis yang cukup kuat mengkooptasi pikiran masyarakat kita ini, menyebabkan banyak anak muda yang ngeper duluan untuk melamar seorang gadis. Apalagi bila si gadis telah lebih dulu meraih sukses. Celakanya, tak sedikit orangtua juga mematok harga tinggi untuk anak-anak gadisnya, lantaran termakan premis itu.
Eksesnya? Tentu ada. Mereka akhirnya lebih senang berfantasi jadi orang "sukses" dan berkhayal telah hidup berdua dengan pasangannya. Dicarilah saluran-saluran untuk fantasinya yang liar itu. Dan celakanya, saluran untuk pelampiasan fantasi liarnya begitu banyak bertebaran. Ada VCD esek-esek. Ada situs-situs cabul yang bisa dinikmati dengan murah di warnet-warnet. Ada film-film tivi maupun tabloid yang menjual syahwat. Atau apa saja yang bisa melampiaskan fantasi seksualnya.
Ekses lainnya, mungkin saja untuk bisa meraih sukses dengan mudah, banyak orang yang menempuh jalan pintas. Sangat boleh jadi, kasus-kasus korupsi yang kian marak, akibat banyak manusia dilanda penyakit "harta maniac".
Kita tentu bukan ingin menafikan bahwa manusia pasti cinta pada harta, wanita, dan kekuasaan. Itu hal yang fitri, sebagaimana Alquran juga mengisyaratkan. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah)" (QS 3:14).
Cinta kepada lawan jenis, keturunan, harta, perhiasan, kendaraan, atau tabungan uang untuk persiapan masa depan anak, tidak pernah dilarang oleh Islam. Selama cinta kepada semua itu, tidak mengalihkan kewajiban manusia untuk beribadah dan taat kepada Allah swt.
Mencintai anak adalah wajib. Karena ia merupakan amanah Allah yang mesti dijaga. Penjagaan di sini tentunya memelihara anak dari hal-hal yang akan menjatuhkannya pada murka Allah. Dengan begitu, cinta kepada anak sesungguhnya menuntut orangtua berupaya keras memelihara dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang taat kepadaNya hingga akhir hayat. Dan itulah sesungguhnya yang dikehendaki Allah terhadap amanah (anak) yang dipercayakan pada setiap orangtua.
Tentang tanggungjawab menjaga anak, Allah mengabadikan kisah keluarga Luqman di dalam Alquran, agar bisa menjadi pedoman bagi tiap keluarga Muslim. "(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu) perbuatan seberat atom, dan berada dalam batu atau di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku tegakkanlah salat dan perintahkanlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlan (mereka) dari perbuatan yang mungkar. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS 31:16-19)
Begitu sarat pesan Luqman pada anaknya, agar kelak anaknya menjadi "orang". Cobalah kita simak kandungan ayat di atas, adakah pesan itu mengarahkan anak agar kelak menjadi orang yang getol mengejar materi?
Kita yakin, Luqman bukan sosok sembarangan hingga Allah perlu mengukir kisah pengajaran Luqman kepada anaknya di dalam Al quran suci. Ia (Luqman) sesungguhnya tipikal ayah yang amat sangat mencintai anaknya. Karena itu Luqman mengarahkan anaknya untuk tetap istiqomah berada pada garis titahNya.Lantaran ia faham betul, sukses dunia tak ada artinya sama sekali bila hal itu akan mendatangkan murka Allah. Sukses di dunia tapi sengsara selamanya di akhirat, bukanlah pola pengajaran yang diterapkan Luqman pada keluarganya. Itulah cinta hakiki yang telah dipersembahkan Luqman pada isteri dan keturunannya.
Adakah kita pernah memahami makna cinta sesungguhnya kepada anak? Adakah kita pernah terobsesi untuk bisa mengikuti jejak pelajaran keluarga Luqman? Kitalah yang bisa menjawabnya dengan jujur.
Terus terang, kini tak sedikit orang terobsesi untuk menjadi "orang" alias sukses. Pikiran-pikiran itupun diparalelkan pada keturunan. Bayangan ketakutan bila anak tak bisa berhasil jadi orang, boleh jadi menyebabkan banyak orangtua yang rela mengeluarkan dana besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jangan heran bila sekolah-sekolah plus yang konon menjanjikan masa depan ceria, full diantri orangtua saban tahun.
Bahkan bukan hanya itu, untuk melengkapi modal masa depan, anak jika perlu diikutkan segala kursus. Entah kursus piano, kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus tari, senam, les privat, dan entah apa lagi. Walaupun biayanya besar, sebisa-bisanya diusahakan.
Sehingga ada kisah ironis. Sebuah keluarga Muslim di komplek perumahan A (sebut saja begitu), untuk mengkursuskan komputer dan les privat matematik anaknya, walau bayar Rp 100.000 per bulan enggak masalah. Tapi si ibu pernah ngomel-ngomel lantaran iuran infaq TPA anaknya dinaikkan oleh pihak TPA menjadi Rp 10.000. "Uuu mahal betul sih!" serunya ketus.
Wajar saja barangkali, banyak TPA yang gulung tikar, atau minimal hidupnya kembang-kempis. Lantaran sarana yang digunakan untuk belajar anak-anak apa adanya. Bayaran buat para pengajarnya pun pas-pasan. Akhirnya saya baru sadar, Kepala Sekolah TPA dekat rumah saya pernah mengeluh, lantaran banyak santri-santrinya yang nunggak bayaran sampai 2-3 bulan. Astaghfirullah!
Cinta kepada anak harus. Tapi cinta kepada Allah tentu lebih dari sekedar harus. Ia merupakan kewajiban. Cinta kepada anak, pada hakikatnya merupakan aktualisasi cinta kita kepada Allah. Artinya? Anak itu harus kita pelihara sungguh-sungguh agar betul-betul menjadi orang sebagaimana yang dikehendaki Penciptanya. Agar Allah cinta kepadanya, dan diapun mencintai Allah.
Betapa sedih bila kita mendengar kisah-kisah orangtua yang gembar-gembor bahwa mereka sangat mencintai anak-anak mereka. Tapi pada kenyataannya mereka tidak pernah mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi insan yang dicintai Allah. Bahkan tak sedikit orang tua yang malah terobsesi kelak dapat menyaksikan anak-anak mereka menjadi orang terkenal. Bisa menjadi artis, menjadi pramugari, atau entah menjadi apa saja dalam dunia selebritis. Astagfirullah! Mudah-mudahan kita tidak terjebak pada dunia glamour yang penuh tipuan mematikan itu.
Karena itu sadarilah, cinta sejati selalu saja akan direcoki oleh cinta palsu. (sultoni)
sumber : eramuslim
Paparan kisah di atas, merupakan potongan iklan sebuah bank yang mungkin cukup sering kita saksikan di layar televisi. Tayangan iklan itu menyajikan luapan ekspresi cinta seorang nenek demi menyaksikan cucunya telah menjadi "orang". Karena itu untuk bisa mengantarkan buah cinta kita bisa jadi "orang", pesan itu selanjutnya, tanamkanlah uang kita di bank.
Kita, insya Allah, sama faham apa yang dimaksud "menjadi orang". Seperti tayangan potongan iklan di atas, "menjadi orang" selalu berkonotasi pada kesuksesan dunia. Dengan kata lain, jangan buru-buru mengklaim diri telah berhasil alias "jadi orang" kalau belum mampu meraih "3 Ta" paling tidak. Tahta, Wanita, dan Toyota.
Terus terang, bagi kita yang hidup di era kiwari, idiom ini terkesan membawa beban amat berat. Bayangkan, untuk bisa jadi "orang", kita kudu bisa meraih segepok keberhasilan. Entah itu harus berhasil meraih jabatan atau kekuasaan. Entah berhasil dalam suatu profesi.
Pendek kata yang dimaksud "jadi orang" tak lain tak bukan, sukses meraih materi. Tak heran, promosi bank-bank yang amat bombastis juga menjual janji: "Anda ingin sukses, raihlah hadiah bernilai milyaran rupiah dari kami." Sekolah-sekolah, kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga kursus pun mempromosikan diri dengan janji-janji muluk "sukses masa depan".
Mahal memang harga sebuah sukses, harga untuk menjadi "orang". Boleh jadi premis yang cukup kuat mengkooptasi pikiran masyarakat kita ini, menyebabkan banyak anak muda yang ngeper duluan untuk melamar seorang gadis. Apalagi bila si gadis telah lebih dulu meraih sukses. Celakanya, tak sedikit orangtua juga mematok harga tinggi untuk anak-anak gadisnya, lantaran termakan premis itu.
Eksesnya? Tentu ada. Mereka akhirnya lebih senang berfantasi jadi orang "sukses" dan berkhayal telah hidup berdua dengan pasangannya. Dicarilah saluran-saluran untuk fantasinya yang liar itu. Dan celakanya, saluran untuk pelampiasan fantasi liarnya begitu banyak bertebaran. Ada VCD esek-esek. Ada situs-situs cabul yang bisa dinikmati dengan murah di warnet-warnet. Ada film-film tivi maupun tabloid yang menjual syahwat. Atau apa saja yang bisa melampiaskan fantasi seksualnya.
Ekses lainnya, mungkin saja untuk bisa meraih sukses dengan mudah, banyak orang yang menempuh jalan pintas. Sangat boleh jadi, kasus-kasus korupsi yang kian marak, akibat banyak manusia dilanda penyakit "harta maniac".
Kita tentu bukan ingin menafikan bahwa manusia pasti cinta pada harta, wanita, dan kekuasaan. Itu hal yang fitri, sebagaimana Alquran juga mengisyaratkan. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah)" (QS 3:14).
Cinta kepada lawan jenis, keturunan, harta, perhiasan, kendaraan, atau tabungan uang untuk persiapan masa depan anak, tidak pernah dilarang oleh Islam. Selama cinta kepada semua itu, tidak mengalihkan kewajiban manusia untuk beribadah dan taat kepada Allah swt.
Mencintai anak adalah wajib. Karena ia merupakan amanah Allah yang mesti dijaga. Penjagaan di sini tentunya memelihara anak dari hal-hal yang akan menjatuhkannya pada murka Allah. Dengan begitu, cinta kepada anak sesungguhnya menuntut orangtua berupaya keras memelihara dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang taat kepadaNya hingga akhir hayat. Dan itulah sesungguhnya yang dikehendaki Allah terhadap amanah (anak) yang dipercayakan pada setiap orangtua.
Tentang tanggungjawab menjaga anak, Allah mengabadikan kisah keluarga Luqman di dalam Alquran, agar bisa menjadi pedoman bagi tiap keluarga Muslim. "(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu) perbuatan seberat atom, dan berada dalam batu atau di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku tegakkanlah salat dan perintahkanlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlan (mereka) dari perbuatan yang mungkar. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS 31:16-19)
Begitu sarat pesan Luqman pada anaknya, agar kelak anaknya menjadi "orang". Cobalah kita simak kandungan ayat di atas, adakah pesan itu mengarahkan anak agar kelak menjadi orang yang getol mengejar materi?
Kita yakin, Luqman bukan sosok sembarangan hingga Allah perlu mengukir kisah pengajaran Luqman kepada anaknya di dalam Al quran suci. Ia (Luqman) sesungguhnya tipikal ayah yang amat sangat mencintai anaknya. Karena itu Luqman mengarahkan anaknya untuk tetap istiqomah berada pada garis titahNya.Lantaran ia faham betul, sukses dunia tak ada artinya sama sekali bila hal itu akan mendatangkan murka Allah. Sukses di dunia tapi sengsara selamanya di akhirat, bukanlah pola pengajaran yang diterapkan Luqman pada keluarganya. Itulah cinta hakiki yang telah dipersembahkan Luqman pada isteri dan keturunannya.
Adakah kita pernah memahami makna cinta sesungguhnya kepada anak? Adakah kita pernah terobsesi untuk bisa mengikuti jejak pelajaran keluarga Luqman? Kitalah yang bisa menjawabnya dengan jujur.
Terus terang, kini tak sedikit orang terobsesi untuk menjadi "orang" alias sukses. Pikiran-pikiran itupun diparalelkan pada keturunan. Bayangan ketakutan bila anak tak bisa berhasil jadi orang, boleh jadi menyebabkan banyak orangtua yang rela mengeluarkan dana besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jangan heran bila sekolah-sekolah plus yang konon menjanjikan masa depan ceria, full diantri orangtua saban tahun.
Bahkan bukan hanya itu, untuk melengkapi modal masa depan, anak jika perlu diikutkan segala kursus. Entah kursus piano, kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus tari, senam, les privat, dan entah apa lagi. Walaupun biayanya besar, sebisa-bisanya diusahakan.
Sehingga ada kisah ironis. Sebuah keluarga Muslim di komplek perumahan A (sebut saja begitu), untuk mengkursuskan komputer dan les privat matematik anaknya, walau bayar Rp 100.000 per bulan enggak masalah. Tapi si ibu pernah ngomel-ngomel lantaran iuran infaq TPA anaknya dinaikkan oleh pihak TPA menjadi Rp 10.000. "Uuu mahal betul sih!" serunya ketus.
Wajar saja barangkali, banyak TPA yang gulung tikar, atau minimal hidupnya kembang-kempis. Lantaran sarana yang digunakan untuk belajar anak-anak apa adanya. Bayaran buat para pengajarnya pun pas-pasan. Akhirnya saya baru sadar, Kepala Sekolah TPA dekat rumah saya pernah mengeluh, lantaran banyak santri-santrinya yang nunggak bayaran sampai 2-3 bulan. Astaghfirullah!
Cinta kepada anak harus. Tapi cinta kepada Allah tentu lebih dari sekedar harus. Ia merupakan kewajiban. Cinta kepada anak, pada hakikatnya merupakan aktualisasi cinta kita kepada Allah. Artinya? Anak itu harus kita pelihara sungguh-sungguh agar betul-betul menjadi orang sebagaimana yang dikehendaki Penciptanya. Agar Allah cinta kepadanya, dan diapun mencintai Allah.
Betapa sedih bila kita mendengar kisah-kisah orangtua yang gembar-gembor bahwa mereka sangat mencintai anak-anak mereka. Tapi pada kenyataannya mereka tidak pernah mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi insan yang dicintai Allah. Bahkan tak sedikit orang tua yang malah terobsesi kelak dapat menyaksikan anak-anak mereka menjadi orang terkenal. Bisa menjadi artis, menjadi pramugari, atau entah menjadi apa saja dalam dunia selebritis. Astagfirullah! Mudah-mudahan kita tidak terjebak pada dunia glamour yang penuh tipuan mematikan itu.
Karena itu sadarilah, cinta sejati selalu saja akan direcoki oleh cinta palsu. (sultoni)
sumber : eramuslim
Cinta Sebatas Harta
Perempuan setengah tua itu segera membuka pintu rumahnya dengan seonggok senyuman, menyambutku. “Anak-anak sedang keluar. Bapaknya lagi kerja! Ayo masuk....” ungkapnya ketika saya tanyakan kemana suami dan anak-anaknya. Sambil mempersilahkan saya duduk di sofa tuanya, sekilas terlihat kedua bola matanya berkaca-kaca setelah menerima sebuah jilbab putih, kado kecil saya kepadanya. Seolah sedang mencoba mengingat kejadian masa lalu.
“Siapa yang tidak menyukai harta banyak? Rasulullah SAW sendiri mengajarkan falsafah untuk berdoa seolah-olah kita mati esok hari dan bekerja mencari harta seolah-olah kita hidup selamanya. Saya sebagai manusia biasa, dibesarkan oleh keluarga yang kurang mampu, sudah tentu berharap keluarga saya kelak, suami dan anak-anak saya, tidak mengalami nasib yang sama menimpa saya. Sebuah cita-cita seorang perempuan yang tidak terlalu muluk kan? Siapa pula yang tidak menyukai persaudaraan? Merasa dicintai oleh anggota keluarga akan menciptakan suasana batin tersendiri. Betapa lengkapnya jika kita memiliki kedua-duanya, harta dan cinta saudara. Rasulullah SAW pula mengajarkan bahwa tidak akan dimasukkan kedalam golongan orang-orang beriman selama tidak mencintai saudara-saudaranya sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Namun siapa menyangka bahwa kaitan cinta persaudaraan dan harta yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini ternyata erat sekali? Bahwa hilangnya harta akan sanggup melenyapkan pula cintanya”.
“Dua puluh tahun lebih suami saya bekerja sebagai pegawai negeri di suatu institusi pemerintah. Selama itu pula kami belum mampu untuk membeli rumah. Jangankan mendirikan sendiri, rumah kaplingan pun kami belum mampu mengangsur. Dua anak kami yang terpaut hanya dua tahun usianya semakin besar saja dan membutuhkan pendidikan yang tidak lagi sedikit beayanya, sebagaimana tuntutan generasi mereka. Yang pertama, laki-laki, memasuki perguruan tinggi. Yang kedua, perempuan, di sekolah menengah atas waktu itu. Padahal penghasilan suami saya pas-pasan saja. Adakah saya sebagai seorang istri yang kurang pandai bersyukur? Wallahu’alam!”
“Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Allah SWT disamping agar digolongkannya kami sebagai orang-orang yang beriman, pandai bersyukur, juga diantaranya memohon kesejahteraan keluarga kami. Sepuluh tahun lalu, selama hampir dua puluh tahun sudah kami tinggal di rumah dinas. Karena kesenioritasnnya suami saya kemudian dia menduduki jabatan sebagai salah satu kepala bagian. Tapi itu bukan berarti menjadikan posisi kami secara finansial semakin terdongkrak. Kami tetap biasa-biasa saja. Alhamdulillah suami saya bukan tergolong orang yang gampang ‘tertular’ penyakit masa kini: korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Dalam hati ini ada rasa bangga. Bahwa ditengah-tengah kesederhanaan keluarga kami, masih ada suatu yang amat berharga: menjaga nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam, untuk tidak hidup diatas penderitaan orang lain.”
“Subhanallah! Disaat demikian, ternyata Allah SWT menjawab doa-doa saya. Pertama, diberikannya kesempatan kepada suami saya untuk pergi haji atas beaya dinas. Dan yang kedua suami saya diberikan ijin cuti di luar tanggungan negara, untuk bisa bekerja di luar negeri. Adalah rahmat dan karunia yang amat besar. Air mata ini tidak terasa mengalir ditengah-tengah ungkapan rasa syukur saya kehadiratNya.”
“Mendiang ayah saya, keturunan Yaman, seorang Imam di mushollah kecil di desa kami. Beliau tergolong keras dalam mendidik kami. Tidak seperti keluarga ayah saya lainnya, paman dan tante, yang rata-rata pengusaha, keturunan Arab Yaman, yang bahkan beberapa orang menetap di Saudi Arabia, sehari-hari kerja beliau hanyalah menjahit. Sementara ibu tinggal di rumah, mengasuh kami anak-anaknya yang delapan orang. Sekolah saya cuma sampai SD. Ketika saya menikah, suami saya boleh dikata tidak memiliki apa-apa, kecuali masa depan pensiun. Sebagai seorang anak perempuan yang harus patuh kepada orangtua, saya berprasangka baik terhadap niat mulia pernikahan, walaupun mas kawin hanya Al Quran. Rejeki akan datang sesudah pernikahan. Saya pikir permasalahannya hanyalah waktu.”
“Itulah kenangan 20 tahun silam sebelum kami menikah, sebelum kedua ibu-bapak kami meninggalkan kami untuk selamanya.”
“Sebelum suami saya bekerja di Saudi Arabia, hubungan kami dengan seluruh keluarga, baik dari pihak saya ataupun suami nampak biasa-biasa saja. Artinya kami tidak pernah mengalami konflik. Tidak terlalu erat, namun juga tidak bisa dikatakan jauh dari hubungan persaudaraan. Demikian pula dengan tetangga di dalam rumah dinas kami, termasuk hubungan kami dengan rekan-rekan kantor suami saya.”
“Tidak lebih dari satu tahun setelah kepergian suami ke luar negeri, ketika keluarga kami mulai menampakkan perubahan secara materi, hubungan kami mulai berubah, sekali lagi, sikap baik dari keluarga saya ataupun suami, juga rekan-rekan kantor suami. Saya rasa bisa dimengerti mengapa ini terjadi tanpa harus banyak saya ceriterakan disini. Saya sering terima tamu, pujian, dan kadang-kadang ‘sindiran’.”
“Terus terang secara materi kami pada akhirnya berlimpah. Kedua anak kami segala kebutuhannya jadi tercukupi. Kuliah tidak terganggu karena masalah beaya, sarana transportasi ada, barang-barang kebutuhan rumah tangga, elektronik, hingga kebutuhan sekunder lain pendeknya lengkap tanpa harus repot-repot, seperti kebanyakan orang lain, mengkredit atau hutang di bank. Dalam waktu dekat bahkan kami bisa membeli sepetak tanah kaplingan untuk mendirikan rumah yang ukurannya cukup lumayan buat ukuran kami. Apalagi letaknya di pojokan jalan yang strategis. Siapapun yang lewat akan bertanya “Rumah siapa ini?” Subhanallah, betapa besar karunia yang Engkau limpahkan terhadap hambaMu ini! Engkau Mahakaya ya Allah!”
“Seiring dengan rutinnya pengiriman uang dari suami saya, satu-demi-satu ujian kepada saya mulai berdatangan. Pertama soal rumah dinas kami. Saya, seorang istri, perempuan yang secara kodrati lemah, terkadang tidak kuat mendengar sindiran teman-teman suami saya yang mengatakan bahwa posisi kami dienakkan. Sudah tidak kerja di kantor, tetapi menempati rumah dinas besar yang gratis. Saya sempat kalut karena tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa mengambil keputusan untuk pindah rumah, kontrak di tempat lain tanpa kehadiran suami. Belum lagi ‘suara-suara’ tetangga yang pada hemat saya ‘iri’. Padahal, subhanallah, saya tidak pernah memamerkan kekayaan suami. kalau barang-barang kebutuah rumah tangga itu kami beli, karena memang tuntutan dan banyak orang yang mampu memilikinya. Vespa, sepeda motor, TV, kamera, bawaan suami juga bukan barang mewah kan? Dari jauh suami yang sering telepon hanya bisa menghibur untuk ‘tenang’, karena status kami di rumah dinas adalah legal. Tetapi suami saya tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari. Padahal saya disaat yang sama juga harus memikirkan rumah kami yang sudah mulai dibangun. “Saya harus kuat menghadapi semua ini!” Saya coba menghibur diri. Tetapi sampai kapan?”
“Sesudah tetangga, rekan-rekan suami serta masalah kantor yang bertubi menghantam pikiran saya, kini giliran saudara-saudara. Saudara-saudara kami, dari kedua belah pihak, mulai sering berdatangan, dan saya pada akhirnya tidak bisa menghindar dari apa yang sesungguhnya saya benci, utang-piutang. Ada yang hutang dengan janji akan mengembalikan dalam beberapa bulan yang ternyata tidak bisa ditepati. Ada pula yang mengajak ikut serta saya dalam bisnisnya. Sekali lagi, suami saya yang memang memberikan kepercayaan kepada untuk melakukan segala sesuatu, saya tidak bisa menolak, apalagi datangnya dari saudara sendiri. “Toh mereka tidak akan menipu!” demikian pemikiran polos ini muncul begitu saja. Konflikpun kemudian menjadi bertumpuk, dan saya tidak kuasa mengatasinya sendirian. Suami juga ikut ‘kacau’ pikirannya. Lewat berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskannya balik ke Indonesia.”
“Padahal kontrak kerja di Saudi Arabia belum selesai. Padahal rumah baru yang sedang dibangun masih tujuh puluh persen. Padahal kuliah anak belum rampung. Padahal aku juga ingin naik haji. Padahal kami masih punya hak untuk menempati rumah dinas. Padahal usia suami masih jauh dari pensiun. Padahal cuti diluar tanggungan negara masih dua tahun lagi....”
“Masih banyak ‘padahal-padahal’ lainnya yang mendasari alasan suami saya untuk tidak segera pulang sesudah tiga tahun di luar negeri. “Barangkali sudah suratan!” itulah jawaban sederhana saya menyikapi kenyataan yang ada.”
“Suami pulang! Kami bahagia dan juga haru. Bahagia karena saya tidak lagi sendirian menghadapi segala dilema hidup ini. Kalau selama 3 tahun terakhir suami hanya pulang disaat cuti tahunan, kini kami berkumpul kembali. Haru karena sudah berbulan-bulan ternyata suami juga ikut stress memikirkan apa yang sedang menimpa kami tanpa ada penyelesaiaan yang jelas. Dia tidak kuasa melihat saya sendirian mengatasinya. Dua perasaan yang berlawanan arus ini mengguncang batin saya.”
“Harapan sesudah balik ke Indonesia dapat segera kerja lagi dan memperoleh gaji seperti semula ternyata meleset. Semula kami mengira, dengan sedikit tabungan yang ada, dan gaji bulanan suami sebagai pegawai negeri akan cukup bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolahnya anak-anak. Nyatanya....suami saya harus pulang balik Jakarta-Malang berkali-kali untuk mengurusi ketidakberesan administrasi yang ada, yang membuat status kepegawaiaannya terkatung-katung. Suami saya tidak bisa bekerja lagi secara otomatis seperti sediakala. Lebih dari setahun sudah berlalu, dan status kepegawaiannya belum juga beres. Sementara dua orang anak kami sedang kuliah. Kebutuhan sehari-hari harus pula kami penuhi. Dengan kondisi suami yang demikian, tanpa kerja dan penghasilan, bagaimana kami bisa memenuhinya?”
“Akhirnya, jangankan untuk meneruskan pembangunan rumah dan melunasi beaya kuliah dua anak kami, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari kami terpaksa, harus menjual satu demi satu barang-barang hasil pembelian suami di luar negeri. Barang-barang elektronik, kamera, sepeda motor, vespa, hingga investasi kami yang paling berharga, rumah, sudah tidak lagi menjadi hak milik kami.”
“Subhanallah! Dalam kondisi yang demikian, siapa lagi yang mau mendekati kami? Hanya orang-orang yang berhati tulus saja yang mau menengok keadaan kami. Saudara-saudara yang tadinya setiap saat nongol di depan pintu rumah tanpa diundang, kini menjauh. Sesudah mengetahui keadaan kami, mereka tidak ada lagi beritanya. Ya...Allah.. inikah buah kepemilikan harta ini? Harta yang tidak lebih hanya membuat sikap sebagian umatMu lupa, bahwa semuanya ini hanya sementara, hanya titipan, hanya sekejap.....”
“Sesudah berjuang selama satu setengah tahun, Alhamdulillah suami saya mendapatkan kembali hak-haknya, walaupun tanpa ‘rapelan’. Ia mulai bekerja lagi, tanpa jabatan seperti yang diharapkan. Tidak masalah. Begitu batin saya.”
“Satu tahun lagi suami saya akan pensiun. Rasanya kami memang lebih baik begini keadaannya. Tidak harus bergelimang harta. Pengalaman kami mencatat, meski tidak semua orang kaya mengalaminya, harta ternyata membuat banyak kepalsuan hidup. Cinta dan persaudaraan rusak karenanya. Itulah yang kami rasakan. Kami harus meninggalkan rumah dinas yang kami tempati hampir tiga puluh tahun beberapa saat lagi. Saya tidak tahu kami akan tinggal dimana nantinya, sementara dua anak kami masih harus mencari kerja. Tapi satu yang saya pasti, Allah SWT lah Yang akan membantu kami, karena cintaNya yang tanpa batas. Kemurnian cintaNya tidak dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki oleh hambaNya.”
Kedua bola mata perempuan setengah tua itu kembali berkaca-kaca saat saya berpamitan. “Nanti akan saya sampaikan salam mu kepada Bapaknya!” katanya sambil menggenggam jilbab putih, mengiringi langkah-langkah kaki saya menjauhi rumah dinas yang mulai nampak keropos dinding-dindingnya. Seolah ikut mencoba mengingat kejadian masa lalu penghuninya.
sumber : eramuslim
“Siapa yang tidak menyukai harta banyak? Rasulullah SAW sendiri mengajarkan falsafah untuk berdoa seolah-olah kita mati esok hari dan bekerja mencari harta seolah-olah kita hidup selamanya. Saya sebagai manusia biasa, dibesarkan oleh keluarga yang kurang mampu, sudah tentu berharap keluarga saya kelak, suami dan anak-anak saya, tidak mengalami nasib yang sama menimpa saya. Sebuah cita-cita seorang perempuan yang tidak terlalu muluk kan? Siapa pula yang tidak menyukai persaudaraan? Merasa dicintai oleh anggota keluarga akan menciptakan suasana batin tersendiri. Betapa lengkapnya jika kita memiliki kedua-duanya, harta dan cinta saudara. Rasulullah SAW pula mengajarkan bahwa tidak akan dimasukkan kedalam golongan orang-orang beriman selama tidak mencintai saudara-saudaranya sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Namun siapa menyangka bahwa kaitan cinta persaudaraan dan harta yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini ternyata erat sekali? Bahwa hilangnya harta akan sanggup melenyapkan pula cintanya”.
“Dua puluh tahun lebih suami saya bekerja sebagai pegawai negeri di suatu institusi pemerintah. Selama itu pula kami belum mampu untuk membeli rumah. Jangankan mendirikan sendiri, rumah kaplingan pun kami belum mampu mengangsur. Dua anak kami yang terpaut hanya dua tahun usianya semakin besar saja dan membutuhkan pendidikan yang tidak lagi sedikit beayanya, sebagaimana tuntutan generasi mereka. Yang pertama, laki-laki, memasuki perguruan tinggi. Yang kedua, perempuan, di sekolah menengah atas waktu itu. Padahal penghasilan suami saya pas-pasan saja. Adakah saya sebagai seorang istri yang kurang pandai bersyukur? Wallahu’alam!”
“Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Allah SWT disamping agar digolongkannya kami sebagai orang-orang yang beriman, pandai bersyukur, juga diantaranya memohon kesejahteraan keluarga kami. Sepuluh tahun lalu, selama hampir dua puluh tahun sudah kami tinggal di rumah dinas. Karena kesenioritasnnya suami saya kemudian dia menduduki jabatan sebagai salah satu kepala bagian. Tapi itu bukan berarti menjadikan posisi kami secara finansial semakin terdongkrak. Kami tetap biasa-biasa saja. Alhamdulillah suami saya bukan tergolong orang yang gampang ‘tertular’ penyakit masa kini: korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Dalam hati ini ada rasa bangga. Bahwa ditengah-tengah kesederhanaan keluarga kami, masih ada suatu yang amat berharga: menjaga nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam, untuk tidak hidup diatas penderitaan orang lain.”
“Subhanallah! Disaat demikian, ternyata Allah SWT menjawab doa-doa saya. Pertama, diberikannya kesempatan kepada suami saya untuk pergi haji atas beaya dinas. Dan yang kedua suami saya diberikan ijin cuti di luar tanggungan negara, untuk bisa bekerja di luar negeri. Adalah rahmat dan karunia yang amat besar. Air mata ini tidak terasa mengalir ditengah-tengah ungkapan rasa syukur saya kehadiratNya.”
“Mendiang ayah saya, keturunan Yaman, seorang Imam di mushollah kecil di desa kami. Beliau tergolong keras dalam mendidik kami. Tidak seperti keluarga ayah saya lainnya, paman dan tante, yang rata-rata pengusaha, keturunan Arab Yaman, yang bahkan beberapa orang menetap di Saudi Arabia, sehari-hari kerja beliau hanyalah menjahit. Sementara ibu tinggal di rumah, mengasuh kami anak-anaknya yang delapan orang. Sekolah saya cuma sampai SD. Ketika saya menikah, suami saya boleh dikata tidak memiliki apa-apa, kecuali masa depan pensiun. Sebagai seorang anak perempuan yang harus patuh kepada orangtua, saya berprasangka baik terhadap niat mulia pernikahan, walaupun mas kawin hanya Al Quran. Rejeki akan datang sesudah pernikahan. Saya pikir permasalahannya hanyalah waktu.”
“Itulah kenangan 20 tahun silam sebelum kami menikah, sebelum kedua ibu-bapak kami meninggalkan kami untuk selamanya.”
“Sebelum suami saya bekerja di Saudi Arabia, hubungan kami dengan seluruh keluarga, baik dari pihak saya ataupun suami nampak biasa-biasa saja. Artinya kami tidak pernah mengalami konflik. Tidak terlalu erat, namun juga tidak bisa dikatakan jauh dari hubungan persaudaraan. Demikian pula dengan tetangga di dalam rumah dinas kami, termasuk hubungan kami dengan rekan-rekan kantor suami saya.”
“Tidak lebih dari satu tahun setelah kepergian suami ke luar negeri, ketika keluarga kami mulai menampakkan perubahan secara materi, hubungan kami mulai berubah, sekali lagi, sikap baik dari keluarga saya ataupun suami, juga rekan-rekan kantor suami. Saya rasa bisa dimengerti mengapa ini terjadi tanpa harus banyak saya ceriterakan disini. Saya sering terima tamu, pujian, dan kadang-kadang ‘sindiran’.”
“Terus terang secara materi kami pada akhirnya berlimpah. Kedua anak kami segala kebutuhannya jadi tercukupi. Kuliah tidak terganggu karena masalah beaya, sarana transportasi ada, barang-barang kebutuhan rumah tangga, elektronik, hingga kebutuhan sekunder lain pendeknya lengkap tanpa harus repot-repot, seperti kebanyakan orang lain, mengkredit atau hutang di bank. Dalam waktu dekat bahkan kami bisa membeli sepetak tanah kaplingan untuk mendirikan rumah yang ukurannya cukup lumayan buat ukuran kami. Apalagi letaknya di pojokan jalan yang strategis. Siapapun yang lewat akan bertanya “Rumah siapa ini?” Subhanallah, betapa besar karunia yang Engkau limpahkan terhadap hambaMu ini! Engkau Mahakaya ya Allah!”
“Seiring dengan rutinnya pengiriman uang dari suami saya, satu-demi-satu ujian kepada saya mulai berdatangan. Pertama soal rumah dinas kami. Saya, seorang istri, perempuan yang secara kodrati lemah, terkadang tidak kuat mendengar sindiran teman-teman suami saya yang mengatakan bahwa posisi kami dienakkan. Sudah tidak kerja di kantor, tetapi menempati rumah dinas besar yang gratis. Saya sempat kalut karena tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa mengambil keputusan untuk pindah rumah, kontrak di tempat lain tanpa kehadiran suami. Belum lagi ‘suara-suara’ tetangga yang pada hemat saya ‘iri’. Padahal, subhanallah, saya tidak pernah memamerkan kekayaan suami. kalau barang-barang kebutuah rumah tangga itu kami beli, karena memang tuntutan dan banyak orang yang mampu memilikinya. Vespa, sepeda motor, TV, kamera, bawaan suami juga bukan barang mewah kan? Dari jauh suami yang sering telepon hanya bisa menghibur untuk ‘tenang’, karena status kami di rumah dinas adalah legal. Tetapi suami saya tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari. Padahal saya disaat yang sama juga harus memikirkan rumah kami yang sudah mulai dibangun. “Saya harus kuat menghadapi semua ini!” Saya coba menghibur diri. Tetapi sampai kapan?”
“Sesudah tetangga, rekan-rekan suami serta masalah kantor yang bertubi menghantam pikiran saya, kini giliran saudara-saudara. Saudara-saudara kami, dari kedua belah pihak, mulai sering berdatangan, dan saya pada akhirnya tidak bisa menghindar dari apa yang sesungguhnya saya benci, utang-piutang. Ada yang hutang dengan janji akan mengembalikan dalam beberapa bulan yang ternyata tidak bisa ditepati. Ada pula yang mengajak ikut serta saya dalam bisnisnya. Sekali lagi, suami saya yang memang memberikan kepercayaan kepada untuk melakukan segala sesuatu, saya tidak bisa menolak, apalagi datangnya dari saudara sendiri. “Toh mereka tidak akan menipu!” demikian pemikiran polos ini muncul begitu saja. Konflikpun kemudian menjadi bertumpuk, dan saya tidak kuasa mengatasinya sendirian. Suami juga ikut ‘kacau’ pikirannya. Lewat berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskannya balik ke Indonesia.”
“Padahal kontrak kerja di Saudi Arabia belum selesai. Padahal rumah baru yang sedang dibangun masih tujuh puluh persen. Padahal kuliah anak belum rampung. Padahal aku juga ingin naik haji. Padahal kami masih punya hak untuk menempati rumah dinas. Padahal usia suami masih jauh dari pensiun. Padahal cuti diluar tanggungan negara masih dua tahun lagi....”
“Masih banyak ‘padahal-padahal’ lainnya yang mendasari alasan suami saya untuk tidak segera pulang sesudah tiga tahun di luar negeri. “Barangkali sudah suratan!” itulah jawaban sederhana saya menyikapi kenyataan yang ada.”
“Suami pulang! Kami bahagia dan juga haru. Bahagia karena saya tidak lagi sendirian menghadapi segala dilema hidup ini. Kalau selama 3 tahun terakhir suami hanya pulang disaat cuti tahunan, kini kami berkumpul kembali. Haru karena sudah berbulan-bulan ternyata suami juga ikut stress memikirkan apa yang sedang menimpa kami tanpa ada penyelesaiaan yang jelas. Dia tidak kuasa melihat saya sendirian mengatasinya. Dua perasaan yang berlawanan arus ini mengguncang batin saya.”
“Harapan sesudah balik ke Indonesia dapat segera kerja lagi dan memperoleh gaji seperti semula ternyata meleset. Semula kami mengira, dengan sedikit tabungan yang ada, dan gaji bulanan suami sebagai pegawai negeri akan cukup bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolahnya anak-anak. Nyatanya....suami saya harus pulang balik Jakarta-Malang berkali-kali untuk mengurusi ketidakberesan administrasi yang ada, yang membuat status kepegawaiaannya terkatung-katung. Suami saya tidak bisa bekerja lagi secara otomatis seperti sediakala. Lebih dari setahun sudah berlalu, dan status kepegawaiannya belum juga beres. Sementara dua orang anak kami sedang kuliah. Kebutuhan sehari-hari harus pula kami penuhi. Dengan kondisi suami yang demikian, tanpa kerja dan penghasilan, bagaimana kami bisa memenuhinya?”
“Akhirnya, jangankan untuk meneruskan pembangunan rumah dan melunasi beaya kuliah dua anak kami, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari kami terpaksa, harus menjual satu demi satu barang-barang hasil pembelian suami di luar negeri. Barang-barang elektronik, kamera, sepeda motor, vespa, hingga investasi kami yang paling berharga, rumah, sudah tidak lagi menjadi hak milik kami.”
“Subhanallah! Dalam kondisi yang demikian, siapa lagi yang mau mendekati kami? Hanya orang-orang yang berhati tulus saja yang mau menengok keadaan kami. Saudara-saudara yang tadinya setiap saat nongol di depan pintu rumah tanpa diundang, kini menjauh. Sesudah mengetahui keadaan kami, mereka tidak ada lagi beritanya. Ya...Allah.. inikah buah kepemilikan harta ini? Harta yang tidak lebih hanya membuat sikap sebagian umatMu lupa, bahwa semuanya ini hanya sementara, hanya titipan, hanya sekejap.....”
“Sesudah berjuang selama satu setengah tahun, Alhamdulillah suami saya mendapatkan kembali hak-haknya, walaupun tanpa ‘rapelan’. Ia mulai bekerja lagi, tanpa jabatan seperti yang diharapkan. Tidak masalah. Begitu batin saya.”
“Satu tahun lagi suami saya akan pensiun. Rasanya kami memang lebih baik begini keadaannya. Tidak harus bergelimang harta. Pengalaman kami mencatat, meski tidak semua orang kaya mengalaminya, harta ternyata membuat banyak kepalsuan hidup. Cinta dan persaudaraan rusak karenanya. Itulah yang kami rasakan. Kami harus meninggalkan rumah dinas yang kami tempati hampir tiga puluh tahun beberapa saat lagi. Saya tidak tahu kami akan tinggal dimana nantinya, sementara dua anak kami masih harus mencari kerja. Tapi satu yang saya pasti, Allah SWT lah Yang akan membantu kami, karena cintaNya yang tanpa batas. Kemurnian cintaNya tidak dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki oleh hambaNya.”
Kedua bola mata perempuan setengah tua itu kembali berkaca-kaca saat saya berpamitan. “Nanti akan saya sampaikan salam mu kepada Bapaknya!” katanya sambil menggenggam jilbab putih, mengiringi langkah-langkah kaki saya menjauhi rumah dinas yang mulai nampak keropos dinding-dindingnya. Seolah ikut mencoba mengingat kejadian masa lalu penghuninya.
sumber : eramuslim
Cinta Tak Berbalas
Kadang saya iri melihat orang-orang di sekeliling saya, disayangi oleh “seseorang”. Apalagi di bulan Februari. Di mana-mana nuansanya Valentine. Saya memang penganut “tiada pacaran sebelum akad”, tapi sebagai manusia kadang timbul juga perasaan ingin diperhatikan secara istimewa.
Saya tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima bunga mawar merah. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat saya menggigil kedinginan. Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor. (Deuh, Meteor Garden banget! He..he...)
Yah, mungkin saya bisa merasakan sekilas hal-hal itu kalau saya sudah menikah. Mungkin. Mudah-mudahan. Tapi sampai saatnya tiba, bagaimana caranya supaya tidak kotor hati?
Lalu saya pun tersadar, tiga kata cinta yang saya rindukan itu sudah sering saya dengar. Orang tua saya selalu mengucapkannya. Memanggil saya dengan “sayang” betapapun saya telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka bahkan memanggil saya seperti itu sejak saya belum dilahirkan. Padahal belum tentu saya jadi anak yang bisa melapangkan mereka ke surga... Belum tentu bisa jadi kebanggaan... Jangan-jangan hanya jadi beban...
Tatapan cinta itu juga sering saya terima. Dari ibu yang bergadang menjaga saya yang tengah demam... Dari ayah yang dulu berhenti merokok agar bisa membeli makanan untuk saya... Dari teman yang beriring-iring menjenguk saya ketika dirawat di rumah sakit... Dari adik yang memeluk saya ketika bersedih. Dari sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Dari orang tua teman yang bersedia mengantarkan saya pulang larut malam. Betapa seringnya kita tidak menyadari...
Tidak hanya dari makhluk hidup. Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah. Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai cinta dari hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan. Saya pernah membaca tentang planet Jupiter. Sebagai planet terbesar di tata surya kita, Jupiter yang gravitasinya amat tinggi, seakan menarik bumi agar tidak tersedot ke arah matahari. Benda-benda langit yang akan menghantam bumi, juga ditarik oleh Jupiter. Kita dijaga! (Maaf buat anak astronomi kalau salah, tapi setahu saya sih kira-kira begitulah)
Di atas segalanya, tentu saja ada cinta Allah yang amat melimpah. Duh... Begitu banyaknya berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkan saya hidup... Masih membiarkan saya bersujud walau banyak tidak khusyunya. Padahal kalau Ia mau, mungkin saya pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam... Coba, mana ada sih kebutuhan saya yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Saya disekolahkan sampai tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja, berbuat maksiat, dosa... Malu...
Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah tahu rasanya kepedihan? Buat saudaraku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah bahwa itu cara Allah mencintai kita. Pasti ada hikmahnya. Pasti!
Jadi, selama ini ternyata saya bukan kekurangan cinta. Saya saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan saya tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni.
Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...
Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau “pacaran pra nikah” hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana, tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah itu juga cinta?
Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional. Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan sampai ada cinta halal yang tak terbalas... (ariyanti)
sumber : kafemuslimah.com
Saya tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima bunga mawar merah. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat saya menggigil kedinginan. Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor. (Deuh, Meteor Garden banget! He..he...)
Yah, mungkin saya bisa merasakan sekilas hal-hal itu kalau saya sudah menikah. Mungkin. Mudah-mudahan. Tapi sampai saatnya tiba, bagaimana caranya supaya tidak kotor hati?
Lalu saya pun tersadar, tiga kata cinta yang saya rindukan itu sudah sering saya dengar. Orang tua saya selalu mengucapkannya. Memanggil saya dengan “sayang” betapapun saya telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka bahkan memanggil saya seperti itu sejak saya belum dilahirkan. Padahal belum tentu saya jadi anak yang bisa melapangkan mereka ke surga... Belum tentu bisa jadi kebanggaan... Jangan-jangan hanya jadi beban...
Tatapan cinta itu juga sering saya terima. Dari ibu yang bergadang menjaga saya yang tengah demam... Dari ayah yang dulu berhenti merokok agar bisa membeli makanan untuk saya... Dari teman yang beriring-iring menjenguk saya ketika dirawat di rumah sakit... Dari adik yang memeluk saya ketika bersedih. Dari sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Dari orang tua teman yang bersedia mengantarkan saya pulang larut malam. Betapa seringnya kita tidak menyadari...
Tidak hanya dari makhluk hidup. Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah. Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai cinta dari hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan. Saya pernah membaca tentang planet Jupiter. Sebagai planet terbesar di tata surya kita, Jupiter yang gravitasinya amat tinggi, seakan menarik bumi agar tidak tersedot ke arah matahari. Benda-benda langit yang akan menghantam bumi, juga ditarik oleh Jupiter. Kita dijaga! (Maaf buat anak astronomi kalau salah, tapi setahu saya sih kira-kira begitulah)
Di atas segalanya, tentu saja ada cinta Allah yang amat melimpah. Duh... Begitu banyaknya berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkan saya hidup... Masih membiarkan saya bersujud walau banyak tidak khusyunya. Padahal kalau Ia mau, mungkin saya pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam... Coba, mana ada sih kebutuhan saya yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Saya disekolahkan sampai tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja, berbuat maksiat, dosa... Malu...
Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah tahu rasanya kepedihan? Buat saudaraku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah bahwa itu cara Allah mencintai kita. Pasti ada hikmahnya. Pasti!
Jadi, selama ini ternyata saya bukan kekurangan cinta. Saya saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan saya tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni.
Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...
Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau “pacaran pra nikah” hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana, tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah itu juga cinta?
Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional. Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan sampai ada cinta halal yang tak terbalas... (ariyanti)
sumber : kafemuslimah.com
Langganan:
Postingan (Atom)