Selasa, 22 Maret 2011

Cinta dan Sejuta Pengampunan


Kita adalah kumpulan waktu yang makin menipis dari hari ke hari. Perjalanan waktu yang kita tempuh pun makin menyusut. Karenanya jatah waktu kita makin sedikit. Inilah yang dinamakan kesempatan hidup dan berbuat. Kelak kita diberi kesempatan untuk menuai hasilnya.

Hidup di dunia–bagi manusia–bagaikan perjalanan. Bagi kita yang sudah menempuh jarak + 20-30 an tahun, tentu banyak menemukan berbagai pengalaman berharga. Namun yang pasti, setiap perjalanan memerlukan sarana. Perjalanan seseorang juga tak mungkin dilakukan tanpa istirahat dan bekal. Kita yang berjalan kaki, dalam menempuh sebuah tujuan pun memerlukan minum dan makan. Mobil yang kita tumpangi juga perlu diisi bahan bakar. Proses ini kita namakan: pembekalan.

Salah satu karunia Allah yang berharga adalah Ramadhan, bulan pembekalan. Bahwa setiap tahun kita diberi kesempatan untuk sejenak bersama diri kita, merenung, berpikir dan melakukan dialog batin. Proses ini juga dinamakan: pembekalan.

Apa yang terjadi dalam menempuh jarak perjalanan yang kita sendiri kurang tahu panjang pendeknya? Kita hanya tahu tujuan akhirnya saja. Bahkan kita pun tak mengetahui, kapan kita sampai di tempat tujuan tersebut. Peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan tersebut menjadi ghaib kecuali yang telah kita lewati. Semua terhijab.

Perjalanan berat ini perlu kesiapan mental yang kuat. Karena bisa jadi kita tersesat di tengah jalan atau melakukan kesalahan yang kadang mengakibatkan kendaraan jadi rusak. Kemana kita mencari perbaikan? Kemana kita mencari bengkel?

Hanya satu: Allah. Karena hanya Dia yang mencipta dan mengetahui secara detail tentang kita. Lalu, bagaimana kita berinteraksi dengan Allah secara efektif. Bukankah Allah membuka pintu rahmah dan maghfirah-Nya setiap saat?

Bulan Ramadhan merupakan peluang emas. Allah mengistimewakan bulan ini. Rahmah-Nya diluaskan, pengampunan-Nya dibentangkan. Barang siapa yang mengejarnya, serius memohon dengan segenap azam. Allah menjanjikan akan memenuhinya. Bukankah Allah yang menyuruh kita untuk berdoa? Bukankah Dia juga yang berjanji mengabulkannya? Bukankah Dia pula yang memberitahu kedekatan itu? Dekat tanpa jarak dan perantara. (QS. 2:186)

Bulan yang pintu perbaikan senantiasa dibuka. Dengan segala kelapangan Allah menerima siapa saja. Bagi pemburu kebaikan Allah mempersilakan. Bagi pelaku dosa Dia bersedia mengulurkan maghfirah-Nya. Lantas, syeitan manakah yang membisikkan keputusasaan itu. Bukankah syeitan pun terbelenggu di bulan ini. Itu hanya bisikan nafsu yang terbiasa dengan buaian hawa dan kelezatan fana. Atau keraguan yang sempat bersemi di hati yang sedang sakit. Bukankah hati seperti ini perlu siraman. Ke mana lagi hendak dicari, jika bukan sekarang; Ramadhan. Hanya satu yang tak diberi kesempatan, mereka yang berputus asa dari rahmat-Nya. Sungguh bodoh orang yang tak mau memanfaatkan ini… Bila Allah telah menyediakan bekal perjalanan sementara kita tak mau mengambilnya. Atau tak mampu karena keterlambatan dan keteledoran yang kita lakukan.

Jangan sampai kita termasuk orang yang disabdakan Nabi Saw. “Merugilah orang yang menjumpai Ramadhan, sedang dosanya belum diampuni”.

Jika kita beristighfar setiap hari seratus kali, selama bulan Ramadhan, akan terkumpul istighfar sebanyak 3000 kali pada bulan ini. Namun bila Allah memberi kesempatan berjumpa dengan lailatul qadar. Koleksi istighfar kita akan mencapai 3.000.000 selain 3000 yang telah kita hitung. Dengan sejumlah istighfar tersebut akankah dapat menebus kesalahan dn kekhilafan yang pernah kita lakukan? Enggan bersyukur. Maksiat mata yang mengkhianati kebesaran-Nya. Dosa lidah yang tajam melukai kelembutan cinta-Nya pada makhluk-Nya. Telinga yang mendengar pergunjingan kemungkaran. Kaki yang melakukan kezhaliman. Tangan yang menghalangi kebaikan. Belum segudang gerutu hati mengomentari keputusan dan takdir-Nya.

Allah tak perlu angka-angka di atas. Itu hanya refleksi keluasan cinta-Nya dalam memotivasi hamba-Nya untuk melawan keputusasaan. Bukankah kelipatan tersebut hanya Dia yang paham? Kita hanya diberitahu perkiraannya saja.

Ya Rahman genggamlah jiwa ini. Karena ia ada pada “jari-jari” kekuasaan-Mu. Tunjukkan kemana hati ini berlabuh, jika tidak ke pangkuan kasih sayang-Mu. Pahamkan jiwa dan hati ini agar tak mendustai kebeningannya. Jangan Kau pekatkan ia karena nafsu dan bisikan. Bisikan apapun, ya Halim. Karena hamba telah berkali-kali jatuh. Jangan bosan Engkau menuntun. Jangan enggan Engkau ulurkan lagi. Entah sampai kapan hamba menyesal, kemudian menyesal dan menyesal lagi. Satu-satunya hal yang tak hamba sesali adalah menjadi makhluk-Mu. Karena Engkau tiada pernah bosan mengasihi dan memberikan cinta. Karena Engkau selalu … ya hamba yakin selalu bersama hamba. Meski hamba telah berkali-kali melukai cinta-Mu dengan maksiat dan dosa.

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan sepenuh iman dan keikhlasan, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra)

sumber : eramuslim

Cinta Bagi Guru

Jakarta cerah ceria pagi ini. Langitnya yang biru bersih dapat saya nikmati dari jendela kantor saya di lantai 8. Saya bersenandung riang sambil menyalakan PC, bersiap-siap mengerjakan tugas-tugas rutin. Dan seperti biasa, saya mengawali ritual kantor saya dengan membuka mailbox. Saat saya membuka imel, airmata saya tiba-tiba saja membanjir tanpa dapat dicegah. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuncah, menyesakkan dada. Antara gembira, bahagia, syukur, haru dan kangen bercampur menjadi satu. Menyodok-nyodok saraf rasa dan memeras kelenjar air mata. Hanya karena satu hal: sebuah nama yang selama ini teramat indah terukir dalam memori masa lalu, muncul di mailbox saya. Bahkan, saya belum lagi sempat membukanya.

Duhai, perasaan apakah ini? Kerinduan? Kekaguman? Keharuan? Atau... cinta? Ya. Cinta yang sesungguhnya kurasa. Cinta yang tulus keluar dari jiwa dan nurani. Cinta seorang 'anak' kepada 'bapak'-nya. Cinta seorang muslim kepada saudaranya.

Dan kenangan pun bergulir ke masa hampir 10 tahun silam, saat saya menjalani hari-hari dalam tempaan sosok yang tiba-tiba namanya muncul di inbox saya hari ini. Sesosok pria bertubuh kecil-kurus namun berwawasan 'gemuk': Guru saya di masa lalu. Terbayang kembali pertemuan-pertemuan kami (saya bersama teman-teman dan beliau) yang penuh arti, penuh semangat, penuh cinta dan penuh pelajaran. Melalui beliau dulu saya mendapat wawasan dasar-dasar ke-Islaman. Padanya saya mengais ilmu tentang keorganisasian dan dakwah. Dari beliau dan istri saya memperoleh perhatian yang tulus sebagai saudara.

Pertemuan-pertemuan saya dan kawan-kawan dengan beliau selama 3-4 jam tiap pekannya kami jalani dengan gembira dan penuh semangat: karena keyakinan bahwa dalam 3-4jam teramat banyak yang akan kami peroleh. Bahwa kami akan mendapatkan pelajaran dan ilmu yang sangat berharga: wawasan keorganisasian, oase iman, dan juga solusi atas permasalahan dakwah mau pun permasalahan pribadi. Saya benar-benar merasa memiliki keluarga ideal bersama beliau, istri beliau dan teman-teman kami. Dua tahun efektif kami bersama, dengan kebersamaan yang sesungguhnya. Sesuatu yang tak pernah saya peroleh lagi setelahnya. Dan kini, setelah hampir tujuh tahun kami berpisah, 'menemukan kembali' beliau adalah anugerah luar biasa.

Peristiwa ini membawa saya kepada pengertian yang mendalam tentang cinta para shahabat dan shahabiyah kepada Rasulullah: guru, ayah, saudara dan sahabat mereka. Lebih dari inikah yang mereka rasakan hingga mereka sanggup menjadi tameng asal Rasulullah selamat? Lebih dari inikah rasanya hingga Bilal rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengunjungi makam sang kekasih?

Pengalaman ini membuat saya memahami, mengapa Hasan Al-Banna juga teramat dirindui oleh teman-teman dan murid-muridnya. Kejadian ini pun mengingatkan saya kepada kisah seorang tokoh yang selalu mengirim surat secara rutin bagi guru masa kecilnya, bercerita tentang seluruh perjalanan dan perjuangan hidupnya meraih keberhasilannya yang sekarang. Duhai, betapa murninya cinta itu, hingga waktu tak pernah mampu mengubahnya. Wahai, betapa tulusnya cinta itu, sampai kita tak pernah kehilangan kenangan tentangnya, meski mereka telah pergi dari kehidupan kita.

Saya bersyukur, bahwa saya pernah memiliki orang-orang yang sangat mempengaruhi sikap hidup, pilihan hidup dan cara pandang dalam hidup saya. Mereka yang menanamkan prinsip dalam hidup saya hingga menjadi acuan hidup sehari-hari Mereka yang pernah sangat berarti dan selamanya akan berarti. Bahkan ketika waktu telah membawa saya kepada realitas hidup yang berbeda, tak lagi seperti idealita masa lalu itu: hal-hal yang beliau sampaikan tetap membekas di jiwa. Tak luntur oleh hempasan gelombang kehidupan. Karena cinta yang menjadi ruhnya.

Dan kini saya bercita-cita, pada sisa hidup ini, saya ingin meneladani beliau dan orang-orang yang mempengaruhi pribadi saya, untuk menjadi teladan dan kecintaan bagi anak-anak saya, saudara dan kerabat, serta semua orang yang pernah dan akan mampir dalam kehidupan saya. Bagaimana dengan anda? (@az, mengenang bapak, mbak ws, mbak nz, genk of 5, dari penggal hidup di masa lalu)

Azimah Rahayu


sumber : eramuslim

Ceriakan Hati dan Wajah Kita Setiap Hari

Episode satu :

Suatu ketika Rasulullah saw memasuki masjid. Tiba-tiba dilihatnya seorang lelaki Anshor bernama Abu Umamah yang duduk termenung.

Rasulullah bertanya, "Hai Abu Umaamah, kenapa engkau duduk di masjid bukan pada waktu shalat?" "Susah karena memikirkan hutang ya Rasulullah?" ujar Abu Umaamah terus terang.

Rasul mengatakan, "Maukah engkau aku ajarkan satu bacaan yang bila engkau baca maka Allah akan menghapuskan kesusahanmu dan melunasi hutang-hutangmu?" Abu Umaamah berseri-seri dan segera menyambut tawaran Rasulullah tersebut.

Rasulullah saw berkata, "Ucapkanlah olehmu pada pagi dan petang: "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari rasa susah dan sedih. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan tekanan orang." (HR. Abu Daud)

Episode kedua :

Abu Yazid Al Busthami, salah satu tokoh sufi, pada suatu hari pernah didatangi seorang lelaki yang wajahnya kusam dan keningnya selalu berkerut.

Dengan murung lelaki itu mengadu, "Tuan, sepanjang hidup saya, rasanya tak pernah lepas saya beribadah kepada Allah. Orang lain sudah lelap, saya masih bermunajat. Istri saya belum bangun, saya sudah mengaji. Saya juga bukan pemalas yang enggan mencari rezeki. Tetapi mengapa saya selalu malang dan kehidupan saya penuh kesulitan?"

Abu Yazid menjawab sederhana, "Perbaiki penampilanmu dan rubahlah roman mukamu. Kau tahu, Rasulullah adalah penduduk dunia yang miskin namun wajahnya tak pernah keruh dan selalu ceria. Sebab menurut Rasulullah, salah satu tanda penghuni neraka ialah muka masam yang membuat orang curiga kepadanya."

Lelaki itu tertunduk. Ia pun berjanji akan memperbaiki penampilannya. Setelah itu, wajahnya senantiasa berseri. Setiap kesedihan diterima dengan sabar, tanpa mengeluh. Alhamdullilah sesudah itu lelaki tersebut tak pernah datang lagi untuk berkeluh kesah.

Apa yang kita simpulkan dari dua episode di atas? Sesungguhnya suasana jiwa, sangat berpengaruh pada bagaimana seseorang menyikapi dan menjalani hidup. Apa yang disampaikan Rasulullah saw kepada Abu Umaamah dalam episode pertama, selain do'a itu insya Allah akan diijabah oleh Allah swt, makna dan kandungan do'a itu akan menciptakan semangat jiwa yang baru dalam diri Abu Umaamah. Dan ternyata, dalam riwayat hadits tersebut, ketika Abu Umaamah membiasakan berdo'a sebagaimana yang diajarkan Rasulullah, ia menjadi pemuda yang giat bekerja sampai ia berhasil melunasi hutang-hutangnya.

Pelajaran itu tak berbeda dengan apa yang terjadi dalam dialog antara Abu Yazid dengan seorang pemuda yang murung itu. Abu Yazid menyampaikan bahwa hendaknya ia memandang dunia ini dengan hati yang gembira, senang dan wajah yang ceria. Dengan memperbaiki penampilan wajah, maka hati pun akan ceria. Dengan kata lain, Abu Yazid ingin merubah cara pandang pemuda itu terhadap hidup. Ia ingin mengajarkan bahwa hidup tak boleh disikapi dengan keresahan. Sekedar memandang hidup dengan keceriaan wajah yang akan membawa keceriaan hati. Keadaan itulah yang akan banyak membantu seseorang untuk giat bekerja dengan hati yang senang. Sederhana bukan? (na)

sumber : eramuslim

Catatan Akhir Tahun : Antara Keprihatinan dan Harapan

Libur akhir pekan yang panjang, jelang akhir tahun 2003. KRL ekonomi jurusan Jakarta-Bogor sangat longgar dibanding hari-hari biasa. Seperti hari-hari lainnya, pedagang, pengamen, peminta sumbangan dan pengemis bergantian mendekati penumpang. Tak ada yang aneh. Semua sudah menjadi sesuatu yang lumrah, wajar dalam keseharian warga Jabotabek.

Saya duduk di bangku dekat pintu, di ujung sebuah gerbong sambil membaca buku, menikmati kesiur angin pagi yang meniup lewat jendela. Sesekali saya mengangkat muka, sekedar memperhatikan para penumpang yang naik turun, atau sesekali menikmati alunan musik dari pengamen, dan kadang membeli beberapa pernik kecil seperti peniti dan lem dari pedagang yang berseliweran.

Suatu kali, pandangan saya tertahan oleh sosok yang menyita perhatian. Di ujung lain gerbong yang saya naiki, sesosok balita laki-laki tengah tertatih menggerakkan sapu lidi. Dia bergerak maju dengan jalan jongkok, sebentar-bentar berhenti dan menatap ke sekeliling dengan mata sayu dan memelas. Dan ternyata, bukan saya saja yang tercopet perhatiannya oleh bocah kecil itu. Nyaris semua penumpang memperhatikannya dan mengulurkan receh ke dalam kantong permen yang dia tenteng. Siapa yang tega menyaksikan anak berusiasekitar 4 tahun ‘menyapu’ lantai gerbong demi menghidupi diri? Saya pun juga menyiapkan beberapa keping recehan.

Namun menjelang sampai di hadapan saya, tiba-tiba seorang anak perempuan yang sedari tadi duduk santai di pintu dekat tempat duduk saya, kira-kira seusia anak kelas enam SD, bangkit dan membentak si bocah laki-laki dan mengajaknya pergi. Si balita tergesa-gesa bangun dan membiarkan sampah yang sudah disapunya terserak kembali dan segera menyusul ‘sang kakak’ ke gerbong sebelah. Saya mengikuti mereka dengan pandangan mata saya. Di gerbong sebelah, si perempuan ABG duduk menyender di dinding sambungan antar gerbong sambil asyik menghitung uang yang dikumpulkan si kecil. Tak peduli sekeliling, juga tak peduli dengan ‘adiknya’. Saya pun mengelus dada.

Nyeri! Banyak orang tua (dewasa) yang ‘memberdayakan’ anak-anaknya untuk mendapat penghidupan, tapi sekaligus ‘menjadikan’ seorang remaja putri usia 10 tahun menjadi demikian tidak berperikemanusiaan terhadap ‘adik sendiri’ sungguh membuat miris hati.

Turun di stasiun bogor, kami melanjutkan perjalanan dengan naik angkot menuju tugu kujang. Lagi-lagi, pada rute yang ditempuh dalam 10menit itu dua kali ‘anak jalanan peminta-minta’ menginterupsi perjalanan. Bahkan saat kami berjalan menuju angkot berikutnya, kami pun tak lepas dari peminta-minta anak-anak.

Duhai, kian memar saja dada ini. Di lokasi yang kami tuju, Jalan Bang Barung, tempat warga Tegal Gundil menyelenggarakan sebuah acara akhir tahun, nyeri itu sedikit terobati. Puluhan warga berbaur, meriah sekali, menyelenggarakan kegiatan akhir tahun-menyambut tahun baru yang mereka beri nama “PESTA WARGA di KAMPUNG HALAMAN”. Tahukah anda apa jenis acaranya? Ada kampanye “SAY NO TO DRUGS”, ada obrolan “NO FREE SEX”, ada dialog warga dengan pamong desa, ada diskusi tentang Buku dan Perpustakaan Komunitas, ada pendidikan politik warga dengan mengundang pengurus Partai-partai untuk beraudiensi dengan warga, ada lomba anak-anak, games dan panggung musik alternatif (anak jalanan, slankers hingga tim nasyid). Semuanya dipandegani oleh para remaja kampung tersebut dari berbagai kalangan: ikatan pemuda kampung, kelompok anak jalanan, tongkrongers hingga remaja masjid. Semua bersatu, bersemangat, kompak, mempersembahkan acara yang seakan bicara “Kami, generasi baru Indonesia, dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kami dan masyarakat!”

Haru menyeruak di dada saya, saat seorang pemuda kecil berbaju lusuh, menyanyikan lagu-lagu yang belum familiar di telinga saya, namun sangat indah dari sisi harmoni maupun liriknya. Suaranya yang tinggi, mendayu, menghentak, tidak fals, senada seirama dengan musik yang mengiringi. “Andai saya seorang produser, akan saya ajak dia rekaman”, bisik teman saya.

Pulang dari Tegal Gundil, nyeri kembali merujit-rujit hati. Sepanjang jalur lingkar kebun raya, entah berapa anak jalanan kembali menginterupsi. Di Kebon raya, bahkan banyak yang meminta dengan sedikit maupun sangat memaksa. Bahkan dalam hujan deras menuju stasiun, peminta-minta dan pengamen anak-anak masih terus ada. Sungguh saya terkejut dan bertanya-tanya giris: Bogor memiliki lebih banyak anak jalanan dibanding Jakarta kah?

Hingga dalam perjalanan pulang, dalam KRL yang basah, dalam kondisi kami juga basah, saya masih terus bertanya: Adakah sedemikian parah nasib sebagian besar calon generasi baru ummat dan bangsa ini?

Tahun baru menjelang, saya menyambutnya dengan keprihatinan dan nyeri yang mendalam. Meski, harapan tetap menyalakan lilin di hati. Masih ada, pasti masih ada, calon-calon pengubah wajah negeri, menjadi lebih baik lagi.

sumber : eramuslim

Carilah Kesamaan, Bukan Perbedaan

Saya amat terkesan dengan apa yang diajarkan guru sekolah dasar ketika pertama kali masuk sekolah. Ibu Guru menggambar dua buah lingkaran di papan tulis. Ia menamai lingkarang yang satu Laki-laki, sedangkan lingkaran yang lain Perempuan.

Kedua lingkaran itu saling menabrak sehingga terbentuk sebuah bidang kecil yang menjadi bagian yang sama dari kedua lingkaran tersebut. Sambil menunjuk bidang tersebut, Ibu Guru berkata, "Bidang ini milik bersama kedua lingkaran. Tujuannya, untuk mewadahi hal-hal yang punya kemiripan baik yang dimiliki anak laki-laki maupun anak perempuan. Nah, mari kita isi bersama-sama, apa saja yang bisa kita masukkan di tempat ini!"

Murid-murid kemudian saling menyebutkan apa saja kesamaan antara anak lelaki dan perempuan semisal, "menangis, tertawa, makan, minum," Mereka melanjutkan, "Kita semua bisa berantem, bisa bermain, dan kita semua suka es krim, dan masih banyak lagi."

Setelah itu Ibu Guru menggambar tiga buah lingkaran di papan tulis. Masing-masing lingarakan diberi nama Hitam, Putih, dan Kuning. Sekali lagi ia menjelaskan, ketiga lingkaran itu saling menabrak satu sama lain sehingga tercipta sebuah bidang yang menjadi milik bersama. Bidang itu dipakai untuk menampung segala sesuatu yang dari kelompok yang memiliki kesamaan. Nah, apa yang harus kita masukkan dalam ruangan itu?

Kembali usulan murid membanjir. Akhirnya ada seorang anak yang maju ke depan. Sambil menujuk bidang dalam ketiga lingkaran itu ia berkata, "Bidang di mana ketiga lingkaran itu saling menempel terlalu kecil Kita perlu memperbesar agar semua kesamaan-kesamaan yang kita punyai bisa tertampung di dalamnya."

Apa yang dikatakan murid cerdas itu memang benar. Insan manusia itu pada kenyataannya memang memiliki lebih banyak kesamaan antara yang satu dengan yang lain daripada perbedaan-perbedaannya.

"Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al Hujuraat:13). (Carmen Mariano/Djs)

sumber : eramuslim

Bunga-Bunga Kehidupan

Salah satu keindahan yang Allah ciptakan untuk dapat dinikmati manusia adalah bertebarannya bunga-bunga cantik nan menyejukkan dengan aroma dan warna-warni yang tak membosankan. Apabila musim semi tiba, perlahan kelopak-kelopak bunga merekah seraya menyemai kecerahan hari. Kuning yang menghangatkan, kesejukkan yang ditawarkan dari warna putih, merah yang menyala-nyala membangkitkan gairah hidup, semua warna, semua aromanya mewarnai hidup menambah semerbak alam tempat berpijak.

Tidak hanya bunga-bunga yang demikian yang memang diperuntukkan untuk manusia (juga kumbang sang penikmat bunga tentunya), namun ada banyak bunga yang juga hadir menyemangati hidup, mengiringi langkah ini dan menjadikan hari-hari yang kita lewati begitu indah dan menyenangkan. Dari sekian melati yang bertebaran di bumi ini, ada satu yang terindah yang telah kita petik untuk ditanam di taman hati. Dipupuk dengan segenap cinta tanpa akhir, disirami oleh kasih sayang yang takkan habis dan dipelihara dengan segala bentuk pengorbanan yang tak kenal lelah, maka ia pun senantiasa menjadi bunga yang menyenangkan hanya dengan memandangnya, membasuh peluh, menghapus lelah ketika disentuh dan menyegarkan seluruh rongga dada ketika mengecupnya sehingga tercipta kedamaian dan ketenangan. Ya, istri atau suami yang sekarang menjadi pasangan jiwa kita adalah bunga kehidupan.

Dari melati yang telah dipetik itu, mungkin kan datang Lily, Tulips, Mawar atau bunga-bunga lain yang semakin meramaikan taman hati ini dengan aroma khas dan warna yang membuat hidup terasa lebih indah. Keceriaan yang dihadirkan anak-anak selaku bunga-bunga kecil mampu menghiasharumi hati. Mereka, bunga-bunga kecil yang dengan keindahannya membuat kita selalu tersenyum, menjadi pelepas dahaga kedamaian dan pengobat rindu akan kehangatan. Dengan curahan kasih sayang yang tiada henti, sentuhan pendidikan yang tidak memenjarakan kebebasan berpikir dan memasung kreativitasnya, semoga tetap menjadikan mereka bunga-bunga yang dapat dibanggakan, bukan malah menjadi bunga-bunga liar yang berserakan di trotoar dan pinggir jalan. Dengan menghiasi hati mereka akan keagungan nama penciptanya, dan kemuliaan nama Rasulnya, akan menjadikan mereka bunga-bunga yang tak pernah kusut, layu atau bahkan hancur oleh terjangan angin, panas, hujan ataupun buasnya unggas.

Ketika beranjak keluar melewati pagar, kita akan menemukan bunga-bunga lain yang tak kalah indahnya, mereka tersenyum dan menyapa dengan hangatnya. Seperti kita yang juga menjadi bunga kehidupan bagi mereka, bunga-bunga diluar pagar itupun hadir memberikan makna kebersamaan dan saling mencintai, memberi juga mengasihi sebagai saudara karena Allah. Jagalah kedekatan, binalah kebersamaan dengan bunga-bunga itu, karena mereka jugalah yang mungkin akan membantu, menolong dan meringankan beban berat ataupun terpaan badai kehidupan.

Sebanyak apapun bunga yang kita miliki, jangan juga melupakan bunga-bunga yang telah melahirkan dan membesarkan kita menjadi bunga saat ini. Mungkin bunga-bunga itu sudah mulai layu, atau tangkainya sudah terkulai lemah. Jangan biarkan mereka semakin layu, sirami dengan air cinta meski yang kita miliki tak sebanding dengan air cinta yang pernah mereka curahkan. Jadilah kaki penyangga tangkainya agar kita tetap bisa melihatnya berdiri, segar dan melangkah berdampingan hingga Sang pencipta segala bunga menentukan kehendaknya.

Namun ada satu bunga, yang bersemayam paling dalam di lubuk hati ini, yang tak boleh kita biarkan tak tersirami oleh air yang tercipta dari rangkaian indah nama-nama Sang Pencipta segala bunga, dari berdiri, duduk dan sujud yang kita tegakkan, dari senandung-senandung yang menyuarakan ayat-ayat-Nya dan dari rasa berserahdiri akan segala kehendak dan ketentuan-Nya. Ialah bunga kehidupan utama yang tanpanya takkan berarti, takkan terasa indah, takkan menyejukkan aroma bunga lainnya, seindah dan seharum apapun bunga-bunga yang lain itu. Hingga jika bunga utama itu kuat, ia pun akan menguatkan diri ini sehingga teramat tegar menepis duri-duri kemaksiatan yang menyakitkan, atau unggas-unggas kejahatan agar menjauh dari taman hati ini. Dengan keindahan dan kedamaian yang kita tawarkan selaku bunga, kita dapat memperbanyak bunga-bunga baru untuk hadir dan bersama-sama saling menjadi bunga kehidupan di taman hati masing-masing. Wallahu ‘a’lam bishshowaab. (Abi Iqna, teruntuk bunga-bunga di taman hatiku)

sumber : eramuslim

Buku Merah Itu

Kubaca kembali lembar pertama buku lusuh dihadapanku. Seperti tak percaya kubalik lembar demi lembarnya, untuk memastikan kembali isinya. Ya Allah, memang benar ini tulisanku!!!

Buku merah itu kutemukan di tumpukan paling bawah, di laci meja belajarku. Sejak pagi hari tadi, hingga sekarang pukul 11 siang, aku sibuk membereskan kamarku yang berantakan tak terurus. Penyebab utamanya tak lain karena kesibukanku di kantor yang memuncak beberapa bulan ini.

Kembali kuamati buku yang ujungnya telah termakan kutu buku. Masing-masing halamannya hanya terbagi dalam tiga kolom. Pertama, kolom hari dan tanggal, selanjutnya aktivitas, dan terakhir keterangan. Kucermati baris pertamanya. Jumat, 14 Juli 2000. Sholat subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya’. Sholat sunnah: tahajud, rawatib dan dhuha. Baca Al Qur’an: 3 juz, wirid: istighfar 500 kali, Tasbih, Tahmid dan Tahlil, masing-masing 100 kali, Al Ma’tsurat pagi dan sore, Surat Yaasin, Waqiah dan Ar Rahman. Selanjutnya, kulihat kolom keterangan. Tampak semua tanda centang berada di kolom ”terlaksana”, yang merupakan bagian dari kolom keterangan. Lalu, tanganku yang kotor oleh debu, refleks membalik lembar demi lembarnya yang tak menampakkan perbedaan, selain menampakkan peningkatan aktivitas ibadah, dari hari ke hari. Dan buku itu, berakhir ditulis pada tanggal 24 Agustus 2000. Subhannallah… mataku nanar, dan setetes air beningnya tak bisa kutahan lagi.

***

Otakku berputar untuk mengingat tahun berapa saat ini. Robb, sudah tiga tahun hamba berpaling dari-Mu. Dan aku seperti tak merasakannya. Kesibukan yang kemudian berubah menjadi rutinitas dan membuat hatiku mengeras karena malah menyukainya, telah mengungkungku selama ini. Mungkin banyak orang berkata, bahwa catatan ibadahku tadi bukan apa-apa karena amalan sunnahnya hanya beberapa. Namun bagiku, saat itu adalah puncak kedekatanku dengan-Nya. Tuhan Pencipta Alam Semesta. Karena berikutnya, aku menjauh dan semakin menjauhi-Nya. Astaghfirullahal adziim.

Ingatanku kembali menyusuri tiga tahun yang tak berasa. Aku ingat, kejauhanku dengan Robb-ku diawali dengan beratnya melaksanakan ibadah wajib tepat waktu. Lantas bersambung ke ibadah sunnah yang mulai hilang satu-satu. Ujungnya, sholat lima waktu hanya sekedarnya. Sekedar menggugurkan kewajiban. Sementara berdoa, bukan lagi kurasakan sebagai sarana komunikasi dengan Allah Yang Maha Pemurah, melainkan hanya aliran kata-kata yang tak pernah kuresapi maknanya. Air mata pun tak pernah lagi mengucur deras, saat tangan ini menengadah. Apalagi wirid, karena seusai salam kubaca, mukena pun langsung kulepas. Astaghfirullahal adziim…

***

Ya Allah, tiga tahun yang sia-sia. Kerugian yang tiada terhitung. Tuhanku, hamba ingin bangkit. Terlalu banyak titik dosa yang terukir di lembaran hidup hamba, tak sebanding dengan amalan kebajikan yang hamba lakukan. Robb, beri hamba kekuatan untuk bangkit menuju-Mu… agar hati ini kembali tenang. Agar segala yang hamba lakukan mendapat ridho-Mu… Hidup hamba gersang, Tuhanku. Tak ada air sejuk yang mengaliri jalan yang hamba tempuh… tak ada tempat mengadu seperti dulu Ya Allah… hamba terlalu memanjakan diri hamba untuk tidur semalaman, hanya karena alasan terlalu lelah. Padahal, kelelahan yang sesungguhnya adalah saat ini, saat hamba jauh dari-Mu. Ya Allah… ampunkan dosa hamba, Robb. Terima hamba kembali Ya Allah… jangan biarkan hamba jauh dari nur-Mu Yaa Rohim. Hamba ingin sekali kembali, berkhalwat dengan-Mu setiap malam dan menunaikan segala perintah-Mu seperti dulu lagi. Hamba rindu kepada-Mu Ya Allah… teramat rindu.

***

Sayup-sayup kudengar suara Emha, dari tape Bapak kostku…

Ya Allah Gusti
Nyuwun pangaksami
Sampun dangu kulo
Ninggalke agami
Infaq, shodaqoh lan kitab suci
Nyuwun tuntunan Ilahi Robbi

(Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)". (QS Ali Imran:8).

sumber : eramuslim

Bukan Sekedar Kepala

Entah sekedar pobia, tren atau memang keinginan untuk tampil seutuhnya sebagai muslimah, menunjukkan identitas diri sebenarnya. Kerudung sudah merebak. Berkerudung tidak lagi dilakukan oleh kaum ibu disaat pengajian, tapi juga oleh kalangan remaja kita, meskipun hanya sekedar menutup kepala. Tak ada lagi zamannya ‘sungkan’ berkerudung. Dimana-mana sekeliling kita jumpai muslimah berkerudung, dengan beraneka model lilitan penutup kepala. “Mode!” itu katanya. Ada yang mengikuti gaya artis A, atau artis B dalam menutup kepalanya. Bahkan tak jarang ada kerudung yang bernamakan artis tersebut. “Modis!” alasannya.

Kita sering terjebak dengan istilah jilbab itu sendiri. Apa sih sebenarnya pengertian jilbab itu? Menyusuri kata jilbab yang tentu saja berasal dari bahasa Arab, yang jamaknya disebut “Jalaabiib” berarti pakaian yang lapang/luas. Jadi jilbab itu sendiri dapat diartikan sebagai pakaian yang lapang dan dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan saja yang ditampakkan.

Sedangkan kerudung yang dalam bahasa Arabnya disebut Khimaar, jamaknya khumur, berarti tutup/tudung yang menutup kepala, leher, sampai dada wanita.

Jadi jelaslah sudah perbedaan antara keduanya. Keduanya mempunyai kekuatan hukum yang kuat langsung dari Allah yaitu wajib. Sebagai suatu keharusan yang pasti atau mutlak bagi wanita dewasa yang mukminat atau muslimat. Al Ahzab (59) menegaskan “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan para wantia yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan Jilbab, yang demikian itu supaya mereka lebih patut dikenal (jilbab itu ciri khas wanita mukminat), maka mereka pun tidak diganggu. Dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

An-Nur (31) menjelaskan “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman supaya mereka menahan penglihatannya, dan memelihara kehormatannya, dan tidak memperlihatkan perhiasannya (kecantikannya) kecuali yang nyata kelihatan (muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangannya). Maka julurkanlah Kerudung-kerudung mereka hingga kedadanya. Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya/ kecantikannya; kecuali kepada suami mereka, atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau para wanita mereka (yang muslimat), atau hamba sahaya kepunyaan mereka, atau laki-laki yang menjalankan kewajibannya (umpama pelayan) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan (melangkahkan) kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Kedua ayat di atas merupakan seruan Allah SWT yang mesti kita jalankan. Jelas sudah mana batasan-batasan yang mesti kita jadikan protect ketat untuk muslimah sendiri. Rasulullah mengatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Turmidzi dari Ibnu Mas’ud bahwa “Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar dari rumahnya syetan pun berdiri tegak (dirangsang olehnya).”

Saudariku muslimah, mari kita melangkah bersama menuju Islam yang kaffah, masuk dalam Islam secara keseluruhan. Bukan sekedar kepala! (Qudwah, Akhir Maret 2003)

sumber : kafemuslimah.com

Buat yang Sedang Bersedih

Tidak dapat dibantah lagi bahwa kesedihan adalah salah satu kondisi yang paling tragis dan paling besar -terasa- sakitnya bagi raga maupun jiwa. Apabila ia menyatu bersama kuku-kukunya yang tajam ke dalam jiwa, tidak lama kemudian ia akan merobek-robeknya dan memporak-porandakannya. Maka akan kita dapatkan manusia yang kacau dan mengalami kegoncangan dalam hidup dan kehidupannya.

Dan kesedihan tadi akan mempengaruhi sebagian dan bahkan seluruh komponen kehidupannya jiwa dan raga, hingga ia melihat dunia dalam pandangan matanya lebih gelap dari kegelapan dan lebih sempit dari lubang jarum. Jiwanya tak ubahnya laksana tinta-tinta tebal di atas permukaan air. Ia menghitamkan setiap apa yang ia muntahkan dari dalam perutnya kepada apa pun yang dekat dengannya. Dan kesedihan akan menghitamkan kehidupannya dengan apa saja yang ia muntahkan atas dirinya dengan kesedihan-kesedihan dan kecemasan-kecemasan. Karenaya, kau akan melihat mereka menyamakan antara jiwa dan raga yang sedih dengan apa yang mereka pakai dan tampakkan dengan pakaian-pakaian berkabung. Tatkala penyakit sedih tadi menjadi sebuah penyakit yang menimpa jiwa seluruhnya.

Seorang bijak adalah orang yang mencari alternatif terapi penyembuhan yang lebih baik, dengan beragam obat dan pengobatan lainnya, setelah mengalami kesulitan dengan penyembuhan awal, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap penyakit-penyakit yang membangkang di dalam raga. Maka syarat awal agar berfungsinya obat bagi raga yang sedang ditimpa penyakit adalah membiasakan diri untuk mengkomsumsi obat yang akan menyempurnakan proses sirkulasi di dalam raga.

Wahai yang sedang bersedih...

Segala apa yang ditawarkan berupa alternatif penyembuhan kesedihan tersebut, jika kalian mau menjalaninya dengan kebiasaan yang konsisten, mengontrol cara pandang hidup, berpikir positif dan memaksimalkan kesungguhan dan ketekunan, penelitian yang berulang-berulang, dan melatihnya menjadi sebuah kebiasaan, sehingga menyatu dalam jiwa. Ketika seseorang memiliki kemampuan untuk melakukannya secara terus-menerus, akan lahir darinya perilaku-perilaku jasmaniah dan kejiawaan yang menakjubkan dan mencengangkan keadaan.

Perlu adanya kerelaan pada seseorang untuk berpikir dan membiasakan diri dengan ketentuan-ketentuan utama dan -membiasakan- untuk mempraktekkannya, sehingga sampai pada tujuan yang diinginkan, yaitu kebahagiaan. Segalanya akan menjadi berubah, tatkala kalian hanya membaca tanpa mau menghayatinya, melihat tanpa mau merenunginya, menghafalnya tanpa mengekspresikannya. Banyaknya menelaah, membaca dan proses yang memakan waktu lama, tidaklah memberikan faedah pada akhirnya.

Wahai yang sedang bersedih...

Ketahuilah bahwasanya raga itu terikat dengan jiwa dan begitupun sebaliknya. Penyakit yang menimpa jiwa akan memberikan pengaruh terhadap raga dan akan menjadikannya sakit, sebagaimana jiwa yang terpengaruh oleh raga yang sedang ditimpa penyakit.

Penyembuhan jiwa dari penyakit-penyakitnya haruslah dimulai dari keharusan untuk memiliki kesehatan raga, sebab kesehatan jiwa sangat tergantung padanya. Tujuan kerja keras dan upaya yang bijaksana yang akan membimbing seseorang mencapai kebahagiaan, yaitu dengan adanya jiwa yang sehat dan berimbas pada raga yang sehat pula.

Wahai yang sedang bersedih...

Seseorang yang menginginkan kesehatan raga, haruslah dapat menjauhkan setiap keinginan dan nafsu yang berlebihan dan setiap apa saja yang akan mengakibatkan keguncangan pada pikirannya, membiasakan dirinya untuk berolah raga -paling sedikit dua jam- setiap harinya dalam keadaan udara yang bersih dan sering menggunakan air dingin ketika mandi, menjaga dan memperhatikan pengeluaran darah yang berlebihan dari ketentuan yang diinginkan dan memperbanyak gerak tubuh.

Maka hidup adalah gerakan. Kalian dapat mengamati apa yang terjadi di dalam raga. Kalian akan kalian dapati padanya isi perut dan anggota-anggota lainnya bergerak dengan teratur. Kalian akan melihat hati menyalurkan seluruh apa yang terdapat dalam jiwa berupa darah ke wadah yang berukuran kecil dan besar bersama dua puluh delapan denyutan, paru-paru yang naik dan turun dengan gerakan yang cepat dan selainnya terdapat gerakan alat-alat uap dan juga usus yang memuai dan mengerut. Di dalam tubuh akan kalian dapatkan anggota-anggota tubuh yang berfungsi menghisap dan mengeluarkan darah dalam satu waktu. Dan pada otak terjadi dua gerakan pada setiap denyutan dari denyutan-denyutan jantung dan setiap kali menghirup untuk bernafas. Apabila gerakan badan lemah pada fisiknya sebagaimana halnya pada mereka yang hidup dengan nyaman, tidaklah sempurna keseimbangan antara kenyamanan dan gerakan-gerakan yang terdapat pada batinnya. Yang terjadi adalah kekacauan pada raga karena gerakan pada batin sangat memerlukan pertolongan dengan adanya gerakan lahir, dan gerakan pada batin membutuhkan gerakan lahir untuk meluruskan aturan, sehingga tidak terjadi kekacauan pada jiwa dan raga secara bersamaan. Kita tidak akan merasakan hidangan kehidupan dan mencapai kebahagiaan yang dipersembahkan buat kita dalam kehidupan ini, melainkan dengan aturan tersebut.

Kalian akan mendapatkan seseorang yang tenang jasadnya dan hatinya yang penuh kekerasan dan dominan dengan dendam dan kebencian. Apabila ketenangan itu berlanjut tidaklah menjamin adanya dampak yang buruk padanya dari kekacauan tersebut. Karena itu mereka menasehati siapapun menggerakkan badannya. Dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w.: "Idza ghadhiba ahadukum falyatawadhaa" (Abu Daud: 4784). Dalam sebuah perkataan Aristoteles: "Maka basahkanlah dirimu dengan air dingin".

Kalian akan melihat, tidaklah pohon-pohon dalam pertumbuhan dan perkembangannya bergerak dengan gerakannya yang alami, melainkan udara dan cuaca yang menimpanya sehingga ia menggoyangkan dahan-dahannya. Maka gerakan tersebut membantu lahirnya pada gerakan pertumbuhan dan perkembangan pada batinnya.

Menjaga dan memperhatikan badan dengan apa saja yang dapat memperbaikinya, dengan makanan-makanan bergizi, gerakan dan sebagainya adalah sebuah keharusan. Dan menjalaninya dengan mengikuti aturan kesehatan tertentu demi keselamatan raga dan jiwa secara bersamaan. Maka hal-hal tersebut menjadi pokok dari substansi pengobatan jiwa.

Dinukil dari Mukhtarat Al-Manfaluti.

Buat seluruh saudara-saudara di Masakin Eijiko: “Buat aku semakin betah dalam kebersamaan kalian yang indah”.

Asha_gazzaz
deruja_chandra@yahoo.co.uk

sumber : eramuslim

Bu Ros

Wajahnya telah dipenuhi kerut merut. Tapi wajah itu tetap menggambarkan kedamaian dan keramahan, meskipun sedang dalam keadaan sakit. Pas seperti yang digambarkan oleh teman sekerja saya yang mengenalkan saya padanya. Ia tak mau diam, meski serangan stroke kini membatasi geraknya. Berjalan-jalan, mengerjakan pekerjaan rumah dan melakukan apapun yang bisa beliau lakukan. Memang, kata teman saya, sebelum mendapat serangan tersebut, beliau adalah seorang yang energik dan aktif mengikuti berbagai kegiatan khususnya pengajian, termasuk yang di luar kota.

Wanita itu biasa dipanggil Ibu Ros. Usia sekitar 65 tahun. Asli Minang. Beliau hidup sendiri di Jakarta, karena suaminya sudah meninggal, sedang Allah tidak mengaruniai mereka seorang pun putra. Untuk kehidupannya, beliau menjadikan rumahnya sebagai kost-an bagi para mahasiswa sebuah kampus di wilayah itu.

Hari itu, semua penghuni kost sedang pergi, maklum sedang libur semester. Seperti biasa, Bu Ros sendirian di rumah. Tetapi, karena ada urusan, beliau pergi ke rumah saudaranya dan baru pulang saat malam menjelang. Namun beliau sangat terkejut menemukan jendela dalam keadaan terbuka. Ketika diperiksa, rumah dalam kondisi berantakan dan beberapa barang hilang. Rupanya maling telah mengobok-obok rumahnya.

Melihat kondisi yang mengejutkan itu penyakit darah tinggi Ibu Ros pun kambuh dan beliau mendapat serangan stroke. Beliaupun terpaksa dirawat beberapa hari di rumah sakit. Alhamdulillah, kondisi beliau tidak terlalu parah hingga beberapa hari kemudian sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Beliau kemudian, untuk sementara, tinggal di rumah keponakannya.

Namun, sebagaimana penderita stroke lainnya, kondisi beliau tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Lidah sulit digerakkan hingga sulit mengucapkan sebuah kalimat secara sempurna. Demikian juga dengan jari-jemarinya. Hal itu membuat beliau sangat berduka, namun juga berusaha keras untuk bisa sembuh kembali.

Saat beliau tengah berduka itulah, teman saya mengenalkan saya padanya. “Beliau butuh teman yang bisa mengerti,” begitu ungkap teman saya. Sejak itulah saya berkenalan dengan beliau. Beberapa kali kami bertemu, tapi lebih sering kami berkomunikasi via telepon. Ketika ngobrol, beliau berusaha agar kata-kata yang beliau ucapkan dapat saya dengar dengan jelas. Sekalian berlatih, katanya. Beliau juga banyak bercerita tentang berbagai upaya yang ditempuh untuk bisa segera sembuh. Terapi akupuntur, berobat ke beberapa dokter ahli hingga minum jamu dari sinshe.

Apapun beliau lakukan agar bisa sembuh. Terapi fisik lainnya seperti jalan-jalan setiap pagi pun beliau lakukan, meskipun fisik beliau lemah. Beliau juga makin banyak berdzikir dan tilawah AlQur’an, untuk mengisi waktu selama masa penyembuhan sekaligus sarana terapi.

Suatu hari, saya menemani beliau mengunjungi rumah yang telah sebulan ditinggalkannya. Saat itu kami berbincang lebih banyak lagi dan salah satunya adalah tentang keinginan dan usahanya yang sedemikian keras untuk bisa pulih kembali.

“Di usia saya yang sekian, mulut, lidah dan jari-jari ini adalah modal utama saya untuk beribadah. Dengannya saya bisa berdzikir dan mengeja huruf-huruf Qur'an saat tilawah. Mulut ini adalah modal saya utuk tersenyum dan bertaushiyah, karena hanya senyum dan kata-kata yang bisa banyak saya sedekahkan. Sejak sakit, saya tak bisa lagi membaca Qur'an dengan tartil. Sejak mendapat serangan ini, saya kesulitan mengurai senyum kepada tetangga. Kini saya tak lagi dapat menyampaikan kata-kata hikmah. Karena itulah saya bertekat untuk sembuh. Agar saya bisa membaca Quran dan berdzikir dengan tartil, juga tetap dapat menebar senyum dan hikmah bagi sesama”.

Uraiannya menohok perasaan saya. Di saat kita yang masih muda dan sempurna tak tergerak untuk memperbaiki bacaan Qur'an, bahkan sekedar ‘membaca’ saja malas, ada seorang wanita tua dengan segala keterbatasannya bersungguh-sungguh untuk membaca Qur'an dengan baik dan benar. Di saat kita yang sehat pelit tersenyum kepada sesama dan enggan bertutur kata hikmah, seorang lanjut usia yang tak lagi sempurna begitu keras ingin menjalankannya.

Tiga tahun lebih berlalu, sejak terakhir kali saya berkomunikasi dengan beliau. Kata teman saya, beliau masih sehat dan seaktif yang dulu. Pun uraian panjang itu masih saya kenang dan saya hayati hingga kini. Sebagai pengingat kala saya lelah untuk tilawah dan capek memperbaiki bacaan. Sebagai pendorong kala saya kehilangan senyum. Sebagai penyokong saat saya lupa untuk bertutur hikmah dan malas bertaushiyah. (sepenuh takzim untuk Ibu Ros)

Azimah Rahayu
Untuk seorang sahabat yang ibundanya barummendapat serangan stroke.
azi_75@yahoo.com



sumber : eramuslim

Bintang-Bintang di Langit

Pernahkah engkau di suatu malam yang cerah memandangi bintang-bintang di langit? Subhanallah, sungguh indah bukan? Bagaikan permata yang menghiasi langit malam. Tetapi, pernahkah terpikir olehmu, untuk apa diciptakan bintang-bintang di langit itu? Apa hikmahnya?

Ketahuilah, bahwa segala penciptaan di langit dan di bumi ini pasti ada hikmahnya. Hikmah penciptaan bintang-bintang itu telah diberitahukan Allah dalam Al-Qur'an dalam Ssurat Al-Mulk ayat 5 : "Dan sungguh Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan."

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, bahwa Qotadah rahimahullah mengatakan: Allah menciptakan bintang-bintang ini, untuk tiga hikmah yaitu sebagai hiasan di langit, sebagai alat pelempar syaithon, dan sebagai tanda-tanda untuk penunjuk (arah dan sebagainya). Karena itu, barang siapa dalam masalah ini berpendapat selain tersebut, maka dia telah salah dan menyia-nyiakan nasibnya serta membebani diri dengan hal yang di luar batas kemampuannya.

Juga sebagaimana dalam Surat Ash-Shaaffaat ayat 6-8: "Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithon yang sangat durhaka, syaithon-syaithon itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru."

Demikianlah,hikmah keindahan bintang-bintang di langit... Semoga indahnya bintang-bintang di langit menjadi lebih bermakna. Wallahu 'a'lam bishshowab. (elok dwi rra /elokdwi@yahoo.com)



sumber : eramuslim

Bila Anda Berakal, Ingatlah Allah

Beberapa tahun lalu, seorang penyanyi pernah menembangkan lagu yang di antara syairnya berbunyi demikian:

aku mau tidur ingat kamu
aku mau makan ingat kamu
aku mau mandi ingat kamu,

dst.

Lagu itu memang berbicara tentang cinta dua anak manusia. Tapi, apa tidak terlalu berlebihan bila di setiap waktu ia selalu mengingat kekasihnya. Padahal kekasihnya itu belum tentu jadi suaminya. Meski itu hanya sekadar lagu, tapi setidaknya itulah cerminan gaya anak muda saat ini.

Lantas, bagaimana ungkapan cinta kita kepada Allah? Bukankah kecintaan kita kepada Allah Swt. mesti ditempatkan di atas segala-galanya? Sementara, kecintaan kita kepada manusia harus dalam rangka kecintaan kita kepada Allah.

Mengingat Allah (dzikrullah) adalah salah satu aspek kecintaan seorang hamba kepada Kholiq-nya. Bahkan salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul albab) adalah selalu mengingat Allah (QS Ali Imran: 190-191).

Dan kalau kita mau diingat Allah, maka kita pun selalu harus mengingat-Nya. "Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian" (QS Al-Baqarah: 152).

Menurut Rasulullah Saw., salah satu ciri orang hidup itu dzikrullah mengingat Allah). Beliau bersabda, "Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dibandingkan dengan yang tidak berdzikir adalah bagaikan orang yang hidup dengan orang yang mati" (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan dzikir adalah merasakan keagungan Allah dalam semua kondisi. Dzikir tersebut bisa berupa dzikir pikiran, hati, lisan, dan perbuatan. Yang dimaksud dengan dzikir perbuatan mencakup tilawah Al-Qur`an, ibadah, dan keilmuan. Makna dzikir inilah yang paling banyak dijelaskan oleh Al-Qur`an dan hadits Rasulullah Saw.

Tentang dzikir dengan pikiran, Allah Swt. berfirman: "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak juga oleh jual-beli dari mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat, dan dari membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari dimana hati dan penglihatan menjadi guncang" (QS An-Nur: 37). Jadi merasakan keagungan Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya harus terus berlangsung, sekalipun dalam kegiatan berdagang atau bisnis.

Dzikir dengan hati, Allah Swt. berfirman: "Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah ahti menjadi tenteram" (QS Ar-Ra'd: 28). Jika seorang mukmin ingin selalu menemukan kenikmatandan ketenteraman dzikrullah di relung hatinya, hendaklah ia merasakan adanya keagungan Allah tertancap di dalam hatinya dan merasuk dalam jiwanya.

Sementara itu, makna dzikrullisan (dzikir dengan hati) didasari sebuah hadits qudsi. "Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, "Aku menyertai hamba-Ku, bila ia berdzikir kepada-Ku, dan kedua bibirnya bergerak menyebut nama-Ku" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Bisyir, seseorang berkata, "Ya Rasulullah, ajaran-ajaran Islam sudah sangat banyak bagiku, beritahukan saya akan sesuatu yang bisa saya pegang teguh." Rasulullah Saw. menjawab, "Hendaklah lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah."

Yang termasuk dzikir lisan adalah semua doa dan ma'tsurat yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Saw. dan dikenal di zaman generasi shahabat dan generasi salaf yang shalih. Termasuk dzikir juga semua permohonan kepada Allah dan semua istighfar yang tercantum dalam Al-Qur`an atau diriwayatkan dari Nabi SAW. (sh)

sumber : eramuslim

Bila Tiba Hari Itu

Bila tiupan sangkakala yang pertama menggoncangkan alam dan kemudian bumi pun diratakan. Dilemparkan semua isi yang membebaninya. Tiupan keduapun menyusul kemudian, begitu memekakkan telinga, hingga semua manusia pada hari itu menudukkan pandangannya dan teramat sangat ketakutan. Pada hari itu, dimanakah kita berada?

Bila bulan telah hilang cahayanya. Matahari dan bulan pun dikumpulkan. Dengan mata terbelalak penuh ketakutan, manusia bertanya-tanya dan sibuk mencari tempat berlindung. Sungguh, tidak ada tempat berlindung karena hanya kepada Tuhan-lah tempat berlindung. Sungguh, Tuhanpun bersumpah bahwa semua jiwa teramat menyesali dirinya sendiri akan semua perbuatannya. Pada hari itu, apa yang sedang kita perbuat?

Bila langit terbelah dan kemudian dilenyapkan, matahari digulung, bintang-bintang jatuh berserakan, gunung-gunung dihancurkan, lautan pun menjadi meluap. Pada hari itu, manusia-manusia seperti anai-anai yang berterbangan, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Bila tiba hari itu, sudah cukupkah segala perbekalan yang kita persiapkan?

Pada hari manusia lari dari saudara-saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya karena setiap manusia mempunyai urusan masing-masing yang menyibukkannya. Kuburan-kuburan pun dibongkar, ruh-ruh kembali dipertemukan dengan tubuhnya, dan bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apa dia dibunuh. Bila tiba hari itu, Seberapa banyak amalan yang akan menjamin keselamatan kita?

Saudaraku, sungguh hari keputusan itu adalah suatu waktu yang ditetapkan. Pada hari itu banyak muka berseri-seri, tertawa dan gembira. Namun banyak pula yang bersedih dan muka mereka pun tertutup debu kemudian ditutup lagi oleh kegelapan. Saat itu, mereka diitimpa kehinaan dan kesusahan. Bagaimana dengan wajah kita pada hari itu?

Saudaraku, bila tiba hari itu, semua manusia merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia melainkan sesaat saja seperti diwaktu sore atau pagi hari. Manusia akan merasa bahwa ia hanya singgah sebentar di dunia. Namun tidak sedikit manusia yang bermain-main meski ia tahu waktunya begitu singkat. Kebanyakan manusia tidak mempersiapkan perbekalan secukupnya untuk kehidupan yang lebih lama dan abadi. Sungguh saudaraku, pada hari itu setiap-tiap jiwa akan teringat akan apa yang telah dikerjakannya dan dilalaikannya hingga mereka akan diperlihatkan neraka dengan jelas. Mungkinkah kita menerima catatan amalan dari sebelah kanan? Wallahu a'lam bishshowab. (Bayu Gautama).

sumber : eramuslim

Biarkan Alam Mengajarkan Kita

Ada masanya dalam hidup ini, kita menyadari keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Keburukan dan kesalahan yang bisa jadi disebabkan karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan atau mungkin juga secara sadar kita lakukan itu dengan harapan timbul kesenangan walaupun orang lain menderita akibat keburukan kita itu.

Adalah sebuah prestasi besar dalam hidup ini bila kita menyadari keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan, kemudian kita berniat memperbaikinya. Untuk memperbaikinya tidak ada jalan lain kecuali kita berani melakukan suatu perubahan dengan tingkat resistensi tertentu yang kita miliki. Karena perubahan tidak mesti memperbaiki sesuatu, tetapi untuk menjadi lebih baik kita mesti berubah.

Setiap manusia, hari ini, esok dan lusa tetap berada dalam sebuah proses perubahan menuju tangga-tangga kebaikan. Jika input yang kita miliki bagus, kemudian ditunjang dengan proses yang baik, maka kita boleh berharap akan memperoleh output yang baik pula. Pada dasarnya input yang kita miliki baik, karena Allah mengatakan setiap manusia dilahirkan secara fitrah. Kemudian orang tua dan lingkungannyalah yang memiliki otoritas memproses dia menjadi baik atau buruk.

Keinginan menjadi lebih baik, menjadi orang yang bermanfaat, menyenangkan, berprestasi, kokoh dengan iman adalah keinginan luhur dan murni yang dimiliki orang besar. Sedangkan orang kecil tidak pernah memikirkan manfaat untuk orang lain bahkan dirinya sendiri. Untuk mejadi lebih baik diperlukan sebuah usaha dan kerja keras. Tidak sedikit rintangan yang akan kita temui. Mereka yang memiliki visi yang jelas, semangat yang kuat, keinginan yang besar, dan cita-cita yang tinggilah yang akan memenangkan perubahan itu.

Alam adalah guru yang paling jujur mengajarkan banyak hal kepada kita. Seperti proses metamorfosis ulat menjadi seekor kupu-kupu. Bila ulat berhasil melalui proses itu dengan baik, maka ia akan menjadi seekor kupu-kupu yang cantik dan indah. Perjuangan melepaskan diri dari kepompong adalah proses yang sangat menyiksa bagi kupu-kupu. Melihat keadaan kupu-kupu yang kesusahan memisahkan diri dari kepompong menarik hati seseorang untuk membantu dengan memotong kepompong agar sang kupu-kupu dapat keluar dengan mudah. Tetapi akibatnya bantuan itu justru mematikan sang kupu-kupu karena membuat otot-otot sayap kupu-kupu tidak kuat untuk menahan beban tubuhnya. Akibatnya, ketika kupu-kupu itu keluar, ia kehilangan resistensi, kemudian diam dan akhirnya mati.

Apa makna yang bisa kita petik dari kisah alam itu? Untuk menjadi cantik dan indah, untuk menjadi lebih baik, kita memerlukan perubahan dalam hidup kita. Perubahan itu menghadapkan kita pada suatu tantangan yang besar. Semakin besar hambatan dan rintangan yang kita hadapi, maka akan semakin besar nilai yang akan kita raih. Daya tahan terhadap perubahan itu mempengaruhi tingkat keberhasilan kita.

Hadapilah tantangan itu dengan senyum dan keyakinan yang tinggi, optimalkan kemampuan yang kita miliki untuk memenangkannya. Jangan mengeluh bila kita terjatuh, jangan menjerit bila kita sakit. Jangan minta bantuan orang lain yang hanya akan memperparah keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan kita, tapi carilah orang yang benar-benar ikhlas membantu kita menuju tangga-tangga kebaikan. Jangan merasa kita tidak mampu memperbaiki setiap keburukan dan kesalahan yang pernah kita lakukaan, kita pasti mamapu. Jangan lihat ke belakang, tapi tataplah ke depan, karena masa lalu tidak menjanjikan perubahan, tetapi masa depan menyediakan kita banyak pilihan keberhasilan.

Terakhir, bingkailah usaha kita dengan figura doa dan kepasrahan yang tinggi pada Allah, karena sebagai manusia yang diselimuti kekurangan, kita hanya bisa berusaha. Allah jualah yang menentukan segala nasib kita.

(Yesi Elsandra, spesial untuk saudara yang berencana duet membuat buku, mudah-mudahan Allah merealisasikannya)

sumber : eramuslim

Bersyukur dalam Musibah

Sebulan sudah tak kubaca mail-mailnya. Juga tak kudengar beritanya. Aku bertanya dalam hati, apa gerangan yang terjadi pada diri sahabatku yang satu ini? Baru saja aku akan menulis mail ke seorang sahabat yang lain untuk menanyakan keadaannya, tiba-tiba aku mendapat kabar tentangnya. Ternyata dia sedang sakit dan harus bed rest sehabis keguguran.

Rasa haru dan kawatir bercampur demi mengetahui keadaanya. Bagaimana tidak, sepuluh tahun sudah dia mengarungi hidup berumah tangga namun belum seorangpun keturunan dia peroleh. Periksa ke dokterpun telah dihentikan karena berbagai alasan. Tak diduga sebelumnya, Alloh menghendakinya hamil dan kemudian gugur setelah sembilan pekan.

Tasbih, tahmid dan dzikir senantiasa membasahi lisannya demi mengetahui dirinya hamil. Sujud syukur sebagai tanda rasa syukur yang demikian dalampun dilakukannya.

Kini......janin itu telah diambil kembali oleh pemilik-Nya. Sebagai sahabatnya, tentu saja aku merasa sedih dan khawatir. Kata-kata menghibur aku kirimkan kepadanya, agar dia bisa tegar menghadapi ujian tsb. Namun, balasan mail yang datang kepadaku sungguh menimbulkan rasa syukur yang demikian dalam, sekaligus rasa haru.

Sahabatku bilang bahwa dirinya tak apa-apa. Dia rela sepenuhnya, janin yang tumbuh dalam rahimnya diambil kembali oleh pemilik-Nya. Walau ada rasa sedih karena kebahagiaan yang telah membuncah sirna ditengah perjalanan, namun ada rasa syukur yang amat dalam bahwa Alloh Yang Maha Berkehendak telah mengaruniakan kehamilan padanya. Dia bersyukur telah dapat merasakan tumbuhnya janin dalam rahimnya, walau hanya sembilan pekan. Subhaanalloh.

Dengan keimanan penuh pada-Nya, dengan ketinggian keyakinan akan segala kehendak-Nya, lahir rasa tawakkal dalam diri seorang hamba. Dia masih mampu bersyukur, walau mendapat musibah. Dia yakin bahwa Alloh SWT pasti mempunyai rencana lain yang lebih baik baginya, karena Alloh lebih Tahu mana yang lebih baik bagi hamba-Nya :“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S.Al Baqoroh : 216).

……dan tidak ada seorang perempuan mengandung dan tidak(pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya”……(Q.S.Faathir:11).

Robb, karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk memahami segala ketentuan-Mu, hingga kami mampu tawakkal terhadap segala keputusan-Mu. Berikanlah kepada kami kekuatan, hingga kami tak menggantungkan diri kepada selain-Mu, amiin.

sumber : eramuslim

Bersahabat Selamanya

Sewaktu masih kanak-kanak, setiap selesai shalat shubuh berjamaah di masjid, aku dan saudara-saudaraku sering melakukan jalan-jalan pagi. Hanya di waktu pagilah udara di kota Jakarta masih bisa dikatakan bersih, karena belum banyak kendaraan yang lalu lalang, dan matahari bahkan belum memperlihatkan cahayanya serta debu-debupun belum banyak beterbangan.

Di sebuah kantor polisi kecamatan kecil yang berada di tikungan perempatan patung Pancoran, aku selalu memperlambat langkahku karena daerah itu adalah daerah yang aku sukai. Kenapa? Karena di situ, di sepanjang pagar kantor polisi itu ditanam berjajar pohon kemuning. Setiap pagi, wangi bunga kemuning dari jajaran rumpun pepohonan itu menyapa ramah hidung dan menambah perasaan damai. Lupa dengan jajaran gedung bertingkat yang ada di sekitarnya, atau jajaran warung kaki lima yang masih tampak tertutup dengan sangat tidak rapih, aku selalu membayangkan sedang berjalan di taman bunga. Hmm… Subhanallah, wangi sekali. Menerbitkan sebuah cita-cita kanak-kanak, bahwa kelak jika sudah menikah dan punya rumah sendiri, aku akan menanam rumpun pohon kemuning di sepanjang pagar rumahku.

Sekarang, ketika aku sudah memiliki keluarga sendiri, juga rumah sendiri. Setiap pagi sebelum berangkat ke masjid untuk shalat shubuh, aku selalu memuaskan hidungku untuk menghirup wangi kemuning yang rumpun pohonnya aku tanam di halaman rumahku yang mungil. Yup, alhamdulillah mimpi kanak-kanakku telah terwujud. Ada serumpun pohon kemuning di halaman depan rumahku. Setelah puas menghirup wangi bunganya yang seperti wangi sedap malam hanya lebih halus sedikit, berdua dengan suamiku kami bergegas menuju masjid saban shubuh.

***

Masjid di dekat rumahku itu jaraknya lumayan jauh sebenarnya. Tapi jarak jauh itu tidak terasa jauh karena aku dan suamiku sangat menikmatinya berdua sebagai waktu khusus untuk berkomunikasi lebih akrab di banding waktu yang lain, lepas dari masalah kerutinan pekerjaan kantor atau rumah tangga, lepas dari masalah hubungan dengan rekan kerja atau tetangga atau keluarga bahkan anak-anak sekalipun. Tidak harus dengan untaian kata-kata, karena komunikasi tidak selamanya berbentuk untaian kalimat. Itu sebabnya perjalanan jauh menuju masjid favorit itu sangat kami nikmati. Masjidnya sendiri, adalah masjid sederhana yang tidak terlalu besar. Biasanya, anggota jamaah yang melakukan shalat shubuh di masjid tersebut selalu bisa dihitung dengan jari, karena yang datang memang orangnya itu-itu saja setiap pagi, termasuk di dalamnya empat orang kakek yang bersahabat akrab.

Sejak dua tahun yang lalu, ketika aku pertama kali datang untuk shalat di masjid itu setelah aku tiba di Indonesia dan kembali menetap di negeri ini, aku selalu kagum pada persahabatan keempat kakek-kakek tersebut. Mereka bertemu dalam suasana mesra dan bersenda gurau dengan akrab. Kadang, secara bergantian mereka saling memperhatikan bacaan tilawah temannya, atau diskusi dengan suara pelan sambil membuka buku agama yang terlihat sudah usang dan mulai berwarna tanah. Tapi kadang mereka hanya duduk berkumpul dalam diam mendengarkan suara qori yang mengalun dari radio dan dipancarkan lewat pengeras suara masjid sambil menunggu adzan shubuh bergema. Kebersamaan dan pertemuan itu rasanya sudah memiliki arti yang sangat spesial bagi mereka, bahkan jika pertemuan yang terjadi itu tidak menghasilkan percakapan yang bermutu sekalipun karena semuanya larut dalam diam, tetap saja pertemuan keempat sahabat itu berarti bagi mereka. Karena dengan adanya kesempatan bertemu masing-masing tahu bahwa semuanya masih dikaruniai nikmat sehat dan hidup sampai hari pertemuan itu.

Dua tahun berlalu sudah hari ini. Kini, keempat sahabat itu hanya tersisa dua orang. Dua orang rekan mereka telah mendahului rekan lainnya pergi menghadap sang Khalik. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kakek itu tinggal berdua kini. Berdua mereka saling membantu karena usia tua telah mencabut beberapa kenikmatan yang dimiliki oleh mereka yang berusia muda. Jalan yang tidak lagi gagah, punggung yang membungkuk, lutut yang gemetar menahan berat tubuh, telinga yang tidak lagi bisa mendengar dengan jelas serta mata yang mulai tidak awas. Meski semua kenikmatan usia muda sudah semakin berkurang mereka miliki, keduanya tampak tetap saling membantu satu sama lain (atau bahkan kian akrab dan mesra?). Aku sering terharu melihat keakraban dan kemesraan kedua orang kakek yang kini tinggal bersahabat berdua.

***

Pagi ini, setelah hampir sebulan lamanya aku tidak pernah datang ke masjid itu karena masalah kesehatan yang terganggu, aku datang lagi dan mendapati kakek tua itu tampak seorang diri. Sendiri termenung mendengarkan kaset murattal yang diperdengarkan melalui pengeras masjid. Dari seorang nenek yang ada di sampingku, aku mendapat kabar bahwa sahabat terakhirnya telah meninggal dua minggu yang lalu. Aku sedih membayangkan perasaan kehilangan kakek itu. Tentu sangat menyedihkan kehilangan sahabat yang kita sayangi. Setelah merasakan kedekatan bertahun lamanya bersama, berbagi suka dan duka bersama, melihat kepergian orang yang kita cintai adalah sesuatu yang sangat berat terasa di dada dan sangat menyedihkan perasaan. Tanpa sadar aku menatap kakek yang duduk menyendiri di sudut masjid seorang diri itu hingga sebuah sentuhan halus dan hangat terasa menyentuh pergelangan tanganku.

“Senang sekali bertemu denganmu lagi.” Seorang nenek tampak dengan cepat mengucapkan kalimat pendek padaku sebelum dia konsentrasi melakukan wiridnya. Barulah setelah dengan wiridnya, ketika hikmah kehidupan singkat dibicarakan oleh ustad masjid, si nenek menghampiri aku sekali lagi. Aku sedang bersiap-siap untuk segera pulang. Kali inipun, dia memegang pergelangan tanganku erat sekali setelah aku menyalaminya untuk pamit pulang. “Nak? Kemana saja selama sebulan ini tidak terlihat?” Suara tuanya tampak terdengar bergetar di telingaku, tapi sangat sarat dengan perasaan hangat dan akrab.

“Sakit bu, jadi saya shalat di rumah.” Aku menjawabnya sambil tersenyum dan mulai bersiap untuk berdiri tapi si nenek tampak enggan melepas pergelangan tanganku.

“Sehat selalu yah Nak, demi Allah, ibu menyayangi kamu karena Allah dan selalu senang jika kita bisa bertemu lagi.“ Dug. Hatiku langsung tercekat mendengar untaian kalimatnya. Perasaan haru terasa mulai menyirami rongga dadaku. Tidak sekalipun aku ingat pada nenek tua ini, bahkan mungkin selama ini aku tidak pernah memperhatikan kehadirannya di dekatku, tapi ternyata dia menyayangiku dengan sangat tulus. Padahal kami tidak pernah kenal sebelumnya bahkan kami memang tidak pernah bercakap-cakap sebelumnya selain ucapan saling memberi salam dan melempar senyum saja. Hmm, diam-diam aku mulai merasakan hangatnya suasana persahabatan diantara kami. Cepat kuhapus air mata haru yang ingin meloncat keluar (malu ah, ketahuan cengengnya). Kujabat erat tangan nenek tua itu sebelum aku benar-benar beranjak berdiri untuk pulang. Kali ini, rasanya aku yang enggan kehilangan genggaman hangat tangannya di pergelangan tanganku.

“Terima kasih yah bu atas perhatiannya. Semoga Allah membalas ketulusan ibu. Semoga Allah melimpahi ibu dengan rahmatNya selalu. Saya pamit yah.” Si nenek mengangguk dengan pandangan sayang padaku. Aku tersenyum padanya dan dia masih tetap memandangku.

“Assalamu’alaikum...” Akhirnya sebelum benar-benar berlalu, kudaratkan sebuah kecupan sayang di pipi tuanya dan segera berlalu karena melihat bola matanya yang mulai berkaca-kaca. Suamiku sudah menunggu di halaman masjid dan aku tidak ingin membiarkannya berteman seorang diri dengan angin shubuh yang dingin Sebelum benar-benar meninggalkan masjid, kulirik kakek tua yang sebelum shalat shubuh tadi tampak menyendiri di sudut masjid. Dia kini ditemani oleh teman baru yang sama tuanya dan seorang pemuda yang tampak sangat menghormati mereka dengan semangat untuk belajar ilmu agama yang kental yang memancar dari wajahnya yang bening. Aku tersenyum.

Sungguh. Nikmat persahabatan mereka kini bisa ikut kurasakan. Subhanallah begitu nikmat kehangatan dan kemesraannya. Kueratkan rengkuhan tanganku di lengan suamiku. Dia sahabat sekaligus kekasih hatiku. Semoga kami selalu dinaungi nikmat persahabatan islamiyah selamanya. Aamiin.
br>br>br>br> sumber : eramuslim

Berkaca Pada Alam

Jika kita perhatikan batu-batu yang bertengger dipinggiran sungai, terkadang kuyup oleh sentuhan genit air-air sungai yang menghampiri walaupun mereka terus berjalan. Namun untuk beberapa lama batu-batu itu mengering oleh sinaran matahari yang menembus dari celah-celah dedaunan. Silih berganti air dan matahari menyapa bebatuan yang tak pernah bergeser dari tempatnya, sebelum perubahan alam atau tangan manusia yang menghendakinya berpindah. Kemudian jika terlihat satu sisi dari batu itu yang terus menerus lembab, yang kemudian lumut hijau nan cantik menghiasi seluruh sisi permukaan itu, artinya sinar matahari tak pernah singgah diatasnya. Batu, air sungai dan sinar matahari itu mengajarkan kepada kita tentang banyak hal. Kepasrahan batu-batu menerima air dan sinar matahari, adalah cermin keikhlasan. Dan keteguhannya untuk tetap ditempatnya, adalah kesabaran. Lumut hijau di sisi batu yang tak tersinari matahari adalah petunjuk arah jalan.

Mendakilah lebih tinggi, kita akan menemukan jenis tumbuhan, warna daun dan buah yang berbeda. Jalan semakin terjal dan sempit, hanya akar-akar besar dari pohon tua yang terkadang menjadi perantara menuju undakan berikutnya. Sesaat beristirahatlah dan perhatikan semuanya. Tumbuhan, daun dan buah dengan warna yang lebih mencolok dan lebih khas, mengajarkan kepada kita, bahwa Allah Maha Adil dengan menempatkan setiap makhluknya pada keadaan dan tempat dimana ia bisa beradaptasi dan hidup. Satu hal bagi manusia, teruslah bergerak mencari kehidupan, karena Allah akan senantiasa menuntun kita kepada tempat kehidupan terbaik. Namun jika pada akhirnya kita berhenti disatu tempat yang Allah kehendaki setelah semua usaha yang dilakukan, disitulah kita meletakkan prinsip qonaah dan sabar, serta bersyukur atas ketetapan Allah.

Saatnya senja menyambut hari. Sinar merah kekuningan yang menyejukkan masih bisa kita nikmati dari celah-celah ranting dan daun, sesekali ia seperti berkedip dan terus memandangi semua makhluk yang terus bergerak. Seperti mengikuti, matanya terus menatap dan mengawasi sementara sinarnya semakin lama semakin redup digantikan malam. Tinggallah menunggu rembulan. kemudian kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Senja hanya sesaat, namun kahadirannya begitu memukau dan terasa manfaatnya. Tidak hanya indah, senja senantiasa menebarkan pesona keanggunan kepada siapapun yang menatapnya. Kepada hidup, kepada makhluk dan kepada Allah, semestinya manusiapun seelok, sebermanfaat dan semenyenangkan senja. Karena mungkin, besok tak lagi tersedia waktu untuk melakukan semua itu.

Dan bila malam tiba, kabut pekat menutup jarak pandang kita, sementara angin kebekuan menyelimuti kulit tipis kita yang tak henti bergerak. Sejenak berhenti sesungguhnya hanya menambah tebal selimut kebekuan itu walaupun waktu yang sejenak itu untuk sekedar menyeruput air hangat dari tungku batu. Tak banyak yang bisa dilakukan, tak banyak pilihan selain terus bergerak keatas agar lebih cepat mendapati fajar. Ingin mata terpejam sekedar menghela nafas dan mengaturnya satu persatu agar tak saling menyusul, tapi kehendak kuat yang menggebu untuk segera tiba di puncak seolah tak bisa kompromi.

Rembulan hanya mengintip di kejauhan. Sedangkan kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Terkadang sering kita mendapat satu kondisi dimana tak lagi mempunyai pilihan untuk berbuat banyak, namun masih ada satu dalam dada ini yang masih kita percayai karena ianya tak pernah berdusta. Ialah mata hati dan nurani. Berhenti bukan jalan yang tepat apalagi kembali ke belakang, padahal jalan tinggal selangkah. Tanyalah pada hati, niscaya kebenaran yang kita dapat.

Dan pada akhirnya, setelah semua perjuangan, lelah, juga peluh yang hampir tak bedanya dengan embun dipucuk dahan, sebuah tanah mengering pada pijakan terakhir membuat nafas menjadi lega. Hilang semua lelah, lepas semua keputusasaan yang menghantui selama perjalanan, karena mentari pagi menyambut kehadiran kita di puncak perjalanan. Tersenyum adalah kepastian, kepuasan adalah kewajaran dikala seperti tak ada lagi jarak antara kita dengan Sang Pencipta dari puncak ini. Ingin rasanya berteriak meminta kepada-Nya, namun ditempat ini, berbisik pun Dia pasti mendengarnya, karena kita begitu dekat. Perjalanan takkan pernah berujung, namun sudah pasti ada masanya kita kan berhenti. Teruslah mendaki agar kita semakin dekat pada-Nya. Teruslah bergerak, namun jika telah sampai di puncak semua keinginan, jangan pernah lupa bahwa kita pernah dibawah, dan pasti akan kembali ke bawah. Esok atau nanti. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)



sumber : eramuslim

Beri Aku Nasihat …

Pagi ini aku menerima sebuah pesan dalam telepon genggamku dari seorang sahabat, “Saudaraku, beri nasihat untukku hari ini …” Aku sempat tertegun membacanya, sambil menghela nafas kata-kata itu seperti menembus relung terdalam bathinku yang sedang berteriak keras, bahwa sejujurnya disaat ini akulah yang seharusnya lebih banyak mengirimkan pesan semacam itu kepada semua sahabat, saudaraku dimana saja.

Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan menerima nasihat, dan lebih aneh lagi jika ternyata ada orang yang gemar berkata-kata tanpa banyak menggunakan telinganya untuk mendengarkan orang lain. Dilihat dari struktur indera yang kita miliki, seharusnya setiap manusia sadar bahwa keberadaan dua telinga yang ditempatkan Allah di kanan dan kiri manusia agar dapat menangkap setiap pesan dan masukan lebih banyak. Bukan sebaliknya, menutup telinga rapat-rapat sementara membuka mulut dengan lebar sambil mengeluarkan banyak kata. Fitrah dan kodratnya demikian.

Allah ciptakan mulut dengan dua katup bibir yang bisa bergerak menutup dan membuka agar manusia bisa mengerti kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir itu pula yang seharusnya mengontrol gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut. Sudah jelas, jika bibir tidak terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga tak ada kata-kata yang keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan cuping yang lebar tanpa kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu saja, karena Allah menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk mendengar, filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah setiap pesan yang masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau tidak.

Paul Madaule, Direktur The Listening Centre di Toronto dalam bukunya Earobics, mengatakan bahwa otak bekerja lebih cepat daripada lidah, dimana otak menerima masukan lebih banyak dari mendengar dan melihat (dua telinga dan dua mata). Ini menyadarkan kita, bahwa kecil kemungkinan orang belajar dari kata-katanya sendiri. Lagi pula biasanya lidah akan bekerja jika otak sudah menerima input dari indera yang lain. Tentu saja, jika ada orang yang berbicara tanpa bekal masukan dari otak (sebelumnya dari telinga dan mata), kita fahami bahwa apa yang keluar darinya tidak lebih dari sekedar bualan belaka, nyaris tanpa makna.

Di halaman lain buku tersebut, Paul malah menegaskan bahwa dengan mengefektifkan pendengaran, seseorang bisa mendapatkan energi baru, arah dan fokus untuk membantunya menemukan motivasi kuat dalam langkah-langkah selanjutnya. Sekali lagi kita mendapatkan pelajaran, bahwa jika mau disadari pada saat kita berbicara yang kita harapkan adalah orang lain memusatkan perhatiannya sehingga menemukan energi baru dari kata-kata yang kita keluarkan. Lalu kenapa tidak kita yang melakukan proses mendengar itu?

Oleh karenanya, kepada sahabat yang pagi ini mengirimkan SMS untuk meminta nasihat kepadaku, terus terang aku meminta, berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa sebenarnya saat ini aku yang jauh lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan suntikan energi, arah dan motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah yang berbunyi dalam Surah Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling menasihati. Artinya, jika anda sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara anda selama ini, adillah kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu saja, ini bukan sekedar latihan bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci. Wallahu a’lam bishshowaab. (Bayu Gautama)

sumber : eramuslim

Berdamai dengan Takdir

“Apakah manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?”

Jika kita memiliki sebuah keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh usaha untuk mencapainya, namun ternyata Allah tak juga memperkenankan kita meraih impian tersebut, apakah lantas kita berhak untuk ‘mencaci’ Allah? Apakah itu kemudian membuat kita sah menyalahkan takdir?

Seorang teman beberapa saat lalu menerima pengumuman dari sebuah yayasan beasiswa internasional bahwa dirinya tidak lulus. Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan yang pertama. Rekan saya tersebut telah lima kali mengikuti program ini, sejak menyelesaikan S1 Hukum di sebuah universitas kesohor di Bandung. Dan yang kedua, untuk kelima kalinya, dia mengikuti rangkaian tes itu hingga ke tahap-tahap akhir.

Yang terakhir diikutinya –tahun ini—ia telah melewati seleksi awal, dari seribu orang, tinggal tersisa seratus. Dari seratus orang yang tersisa, ia lolos ke lima puluh orang yang mengikuti seleksi di Jakarta. Di sana, ia pun terpilih dalam lima kandidat penerima beasiswa kuliah di Austria. Tapi, apa lacur… pengumuman terakhir tidak mencantumkan namanya.

Kekecewaan, jelas saya bisa menemukan pada wajah teman saya itu. Dari rangkaian tes yang ia jalani menunjukkan bahwa ia mampu dan layak. Usaha yang ia lakukan pun bukan lagi sepele. Kesungguhannya nyata sekali. Sudah tidak terhitung lagi berapa besar biaya ia habiskan untuk mengikuti rangkaian tes itu, dari penyediaan berkas, akomodasi dan transportasi, juga kelelahan fisik yang harus ia tanggung. Tapi, sekali lagi, ia mengalami kegagalan pada saat-saaat terakhir.

Dari teman saya itu saya belajar banyak hal, namun satu yang begitu menera pada saya, bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yang terjadi pada diri kita.

Ketidaklulusan teman saya dalam program beasiswa itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu. Keberhasilannya melaju ke seleksi terakhir hingga beberapa kali menunjukkan bukti bahwa ia layak menerima. Tapi sekali lagi, pemasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak.

Inilah yang saya katakan pada teman saya tersebut.
Bermimpi bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.

Sampai hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Ekonomi. Sungguh, saya masih menyimpan impian untuk menjadi akuntan sebagaimana dari awal saya sekolah di SMEA, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya ‘tersesat’ ke bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya maklumi. Dalam hal ini, saya berusaha untuk ‘berdamai’ dengan-Nya atas apa yang ia tentukan pada saya.

Kalaupun hingga saat ini saya tak juga ‘mampu’ untuk kuliah, bukan lantas saya berhak dengan semena-mena mematikan impian saya yang saya anggap ‘mulia’ ini. Konon, saya telah memaksimalkan usaha saya. Namun, biaya adalah hal pokok bagi saya, dan rasanya memang tak cukup hanya dengan tekad.

Pernah ada seorang teman yang mengatakan, “yang penting adalah niat.” Tapi, untuk saya, hal itu tidak berlaku. Masih kurang besarkah niat saya? Seberapa besar kemampuan niat untuk seorang dengan ekonomi di bawah pas-pasan seperti keluarga saya? Bahkan, saat SMEA pun saya harus pontang-panting mengejar bayaran-bayasan SPP dan sebagainya.

Saat ‘uang tabungan’ saya raib begitu saja, saya masih bisa menghibur diri, “Nantilah, saya akan melanjutkan kuliah tiga atau empat tahun lagi. Saat ini, yang harus saya lakukan adalah menabung.” Tapi, lagi-lagi, kehendak Allah bicara lain. Ijazah SMP dan SMEA saya ikut raib ulah sebuah perusahaan gelap di Jakarta. Saat itu saya sangat ‘bodoh’ dengan bersedia menyerahkan ijazah tersebut pada sebuah PT yang mengaku akan memberi saya pekerjaan di bilangan Gambir, Jakarta. Sepekan sesudah itu, saya mendatangi alamat, ternyata PT itu adalah PT gelap.

Dengan semua itu, impian saya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi serasa ikut terbang, hilang. Tapi, tidak. Saya tidak boleh demikian, menganggap takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.
Saat saya terantuk kegagalan, yang saya lakuikan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian.

Hidup bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha. Dari ‘menulis,’ saya menemukan satu pelajaran berharga. Pertama kali menulis, tulisan saya ditolak-tolak di media. Saya terus mencoba dan mencoba. Saya menulis dan menulis kembali. Hingga… akhirnya tulisan saya diterima sebuah media, berlanjut kemudian dengan tulisan-tulisan saya berikutnya. Di tahun 2001 untuk pertama kalinya ada sebuah penerbit yang mau membukukan tulisan-tulisan tersebut.

Tulisan-tulisan saya yang tertolak, atau terbuang di tempat limbah, dimuat di truk sampah, bukanlah sebuah kegagalan, tetapi proses. Jika tidak melewati fase itu, saya yakin saya tak akan pernah sampai pada kondisi yang sekarang.
Kegagalan bagi saya adalah sebuah perjalanan. Terserah apakah kita akan berhenti sebelum sampai ke tujuan atau kita melanjutkannya dengan berbagai beban konsekuensi dari perjalanan itu sendiri.

Saya mengambil sebuah perumpamaan. Kita pernah sekolah di SD, lantas melanjutkan ke SMP, SMA, hingga kemudian kuliah. Jika telah lulus kuliah dan melamar pekerjaan, apakah kita memakai ijazah SD dan SMP untuk melamar pekerjaan? Tentu tidak. Kita hanya memakai ijazah SMA atau sarjana.
Jika demikian adanya, mengapa kita harus susah-susah sekolah di SD dan SMP? Mengapa kita tidak langsung saja kuliah atau sekolah di SMA?

Ini pertanyaan konyol, memang. Tapi bukankah benar demikian? Tanpa melalui SD dan SMP, kita tak akan pernah sampai ke SMEA atau kuliah. Kendati tidak dipakai dalam melamar pekerjaan, bukan lantas berarti ijazah SD dan SMP kita tidak berguna, bukan?

Begitulah dengan kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang ‘tidak berguna,’ sebab kegagalan itulah yang menempa kita, memberi pembelajaran kepada kita tentang kematangan, konsep persaingan… atau barangkali Allah tengah menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah penentu segala urusan. Kegagalan membuat kita semakin mengimani takdir.

Belajar berdamai dengan takdir, menerima kegagalan yang ‘dikaruniakan’ Allah kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Kita tidak memerlukan ijazahnya, tetapi kita menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah ‘ijazah’ kesuksesan, tetapi ‘proses’ dan ‘menjadi.’

Konon, seorang penulis terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima alenea pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih satu yang paling baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program di komputernya. Sekali lagi, apakah keempat alenea yang terhapus itu tidak berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat alenea itu?
Silakan Anda menjawab sendiri.

Hidup bukanlah kekalahan sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu adalah semacam penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita menemui kegagalan dalam hidup.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu”.

sumber : eramuslim

Berbuatlah...

Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, dan Al-`Ash bin Wail telah membelanjakan hartanya untuk memerangi risalah dan melawan kebenaran, "Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan." (QS Al-Anfal: 36)

Namun kebanyakan kaum muslimin justru kikir dengan harta mereka, sehingga tidak terbangun menara keutamaan dan tugu keimanan, "Dan, barangsiapa yang kikir maka sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri." (QS Muhammad: 38)

Demikianlah gambaran tekad kuat para durjana dan kelemahan orang-orang yang bisa dipercaya.

Dalam memoar Golda Mier, mantan Perdana Menteri Israel, yang berjudul Malice, disebutkan bahwa dalam satu fase hidupnya dia harus bekerja selama enam belas jam tanpa istirahat demi mempertahankan prinsip-prinsipnya yang sesat dan pikiran-pikiran yang menyimpang itu, hingga akhirnya berhasil melahirkan negara Israel bersama-sama dengan Ben Gurion. Kalau mau silahkan membaca buku dimaksud.

Saya sendiri sering menyaksikan generasi kaum muslimin yang sama sekali tidak pernah berbuat, meski hanya satu jam saja. Mereka larut dalam main, makan, minum, tidur, dan menghabiskan waktu percuma, Apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, "Berangkatlah (untuk berjuang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu (QS At-Taubah: 38)

Umar adalah sosok yang sangat giat bekerja siang malam. Dia hanya menyempatkan tidur sebentar. Sampai-sampai keluarganya menegurnya, "Engkau tidak tidur?" Tapi teguran itu dijawab oleh Umar, "Jika aku tidur di malam hari maka sia-sialah diriku, dan jika aku tidur di siang hari maka sia-sialah rakyatku."

Dalam memoar seorang tiran, Mose Dayan, yang berjudul The Sword and Rule dituliskan bahwa dia harus terbang dari satu negara ke negara yang lain, dari kota satu ke kota yang lain, siang dan malam, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, harus menghadiri berbagai pertemuan, mengadakan konferensi, mengatur kesepakatan dan perjanjian, dan tak lupa menulis dalam catatannya. Sayang sekali memang, bahwa orang yang lebih pantas menjadi saudara kandung kera dan babi seperti dia, justru bisa menunjukkan keuletan seperti ini. Sebaliknya, kebanyakan kaum muslimin justru menunjukkan kemalasannya. Inilah tekad orang durjana dan kelemahan orang yang bisa dipercaya.

***

Umar bin Khattab telah menyatakan perang terhadap semua bentuk pengangguran, kemalasan, dan ketidakgiatan. Bahkan Umar bin Khattab pernah menarik keluar para pemuda yang diam di dalam mesjid dan tidak melakukan apa-apa. Umar memukul mereka dan berkata, "Keluar kalian, cari rezeki. Langit tidak akan menurunkan emas dan perak."

Kemalasan dan ketidakgiatan hanya akan melahirkan pikiran-pikiran yang negatif, kesengsaraan, penyakit kejiwaan, kerapuhan jaringan syaraf, keresahan, dan kegundahan. Sedangkan kerja dan semangat akan mendatangkan kegembiraan, suka cita dan kebahagiaan.

Segala kecemasan, keresahan, kegundahan, dan penyakit-penyakit intelektual, syaraf dan jiwa, akan berakhir bila masing-masing kita menjalankan peranannya dalam hidup ini. Sehingga semua lapangan kerja menjadi ramai. Pabrik-pabrik menjadi produktif, tempat-tempat kerja akan sibuk, lembaga-lembaga sosial dan dakwah dibuka kembali, dan pusat-pusat kegiatan budaya dan ilmiah marak di mana-mana. Firman Allah,

"Katakanlah: 'Bekerjalah kamu sekalian'."
"Menyebarlah di permukaan bumi."
"Bersegaralah!"
"Cepat-cepatlah."

Juga sabda Rasulullah, "Sesungguhnya Nabi Allah Daud akan makan dari hasil kerja tangannya."

Al-Rasyid memiliki sebuah buku yang berjudul Shin'atul Hayat (Merancang Kehidupan). Dalam buku ini ia berbicara banyak tentang masalah ini dan menyebutkan bahwa banyak orang yang tidak memainkan peran yang seharusnya mereka perankan dalam kehidupan ini, "Mereka hidup, tapi seperti orang yang sudah mati. Mereka tidak menangkap apa rahasia dibalik kehidupan mereka, mereka tidak melakukan yang terbaik untuk masa depan, umat maupun diri mereka sendiri."

Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang. Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah. (QS An-Nisa': 94)

Seorang seorang perempuan kulit hitam yan menyapu mesjid Rasulullah telah memainkan perannya dalam kehidupan. Dan, dengan peran yang dia mainkan dia masuk surga.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. (QS Al-Baqarah: 221)

Demikian pula budak yang mengerjakan mimbar Rasulullah, telah melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Dan, dia memperoleh pahala atas apa yang dia lakukan, karena memang bakatnya di dunia pertukangan.

Orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya. (QS At-Taubah: 79)

Dinukil dari:
Dari buku Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), penerbit Qisthi Press.


sumber : eramuslim

Berbicara, Mendulang Pahala atau Dosa?

Bicara adalah kebutuhan.. Dengan bicara gagasan-gagasan yang tersimpan di kepala, dan emosi yang tersimpan di hati jadi bisa ditangkap oleh orang lain. Hal ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi kita. Bahkan menyehatkan! Apalagi bila kemudian gagasan dan emosi kita ini direspon oleh lawan bicara, tentu ini makin membuat kita merasa diperhatikan.

Begitu banyak orang yang merasa diterima di sebuah lingkungan hanya gara-gara dia bisa mendominasi pembicaraan atau karena orang-orang mau mendengarkan kata-katanya, juga mengagumi isi ceritanya. Respon yang positif ini akan mendorong seseorang untuk melakukaan hal yang sama di lain tempat dan waktu.

Sebaliknya banyak orang yang merasa ditolak hanya gara-gara dia tidak bisa mengimbangi lawan bicaranya, atau tak ada yang mengagumi cerita-ceritanya, bahkan tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya.

Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya. Semua kata yang keluar dari lisan seorang muslim seharusnya punya konsekuensi yang lebih besar dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Ini disebabkan seorang muslim berbicara diawali dengan pemahaman atas apa yang dia bicarakan dan pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia bicarakan, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Pemahaman atas apa yang dia bicarakan membuat seorang muslim tidak bicara “ngaco”. Ilmu menjadi dasarnya, baik ilmu yang diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal, bahkan ilmu dari pengalaman hidup sekalipun. Pemahaman terhadap ilmu ini akan membuat seorang muslim bisa bijaksana memilah kata-kata yang tepat, sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan orang yang diajak bicara.

Pengetahuan tentang konsekuensi atas apa yang dia bicarakan pun akan mendorong seorang muslim untuk menjaga lisannya agar hanya mengeluarkan kata-kata terbaik yang mengandung kemanfaataan dan keselamatan bagi orang lain. Bukan sekedar kata-kata basa-basi dengan harapan mendapat decak kagum dari orang lain. Bukan juga kalimat-kalimat manis yang diluncurkan hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, tanpa ada nilai manfaatnya bagi orang lain.

Dalam beberapa hal, ini masih bisa ditolerir pada batas-batas tertentu. Namun bila kemudian menjadi kebiasaan yang berkepanjangan dikhawatirkan bisa menjerumuskan kita pada kata-kata dusta tanpa kita sadari, hanya untuk tujuan ini; tujuan pengakuan dari orang lain. Sungguh, sebuah kebohongan yang kita ucapkan sekali, dan kemudian kita ulangi kedua kali bahkan sampai ketiga kalinya tanpa adanya penyesalan akan menjadikan kita terbiasa olehnya.

Satu kata kebaikan yang keluar dari lisan seorang muslim pun punya konsekuensi bahwa dialah orang pertama yang melaksanakan kata-katanya tersebut. Apa pun kata-kata itu; diucapkan langsung ataupun dalam bentuk tulisan. Bukan suatu yang mudah memang. Kadang tuntutan ini membuat kita jadi takut mengajak orang lain pada kebenaran. Akhirnya kita lebih memilih diam. Padahal satu kebaikan yang kita sebarkan melalui kata-kata kita, kemudian orang lain ikut melaksanakan, maka pahalanya akan mengalir kepada kita tanpa mengurangi pahala orang yang melaksanakannya sedikit pun. Apalagi jika kebaikan itu terus menyebar dan dilaksanakan oleh banyak orang, terus dan terus.

Begitu murahnya Allah memberikan balasan berlipat-lipat atas kebaikan yang telah kita ucapkan kepada orang lain, walau itu hanya sepatah kata. Jika kemudian Allah juga menuntut kita untuk melaksanakan kata-kata kita, itu bukan bermaksud untuk memberatkan, tapi untuk menunjukkan kepada kita bahwa apa pun yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawabannya.

Berbicara untuk kebaikan dan kemanfaatan akan mudah kita lakukan jika ini sudah menjadi kebiasaan.Tanpa diformat terlebih dahulu, semuanya akan mengalir dengan sendirinya. Mudah dan ringan. Tentu saja bagi yang belum terbiasa harus memformat awal semua kebaikan di dalam kepala dan hati kita, kemudian kita ingatkan diri kita untuk mengulanginya kembali, melaksanakan sedikit demi sedikit apa yang kita mampu, berulang-ulang, sampai kemudian menjadi kebiasaan yang keluar secara otomatis. Yang jelas memang butuh waktu dan proses. Dengan demikian gagasan-gagasan dan emosi yang tersimpan di kepala dan hati bisa kita keluarkan dengan lebih baik, tanpa menimbulkan kesia-siaan bagi diri kita juga bagi orang lain.

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kemurkaan Allah atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu perbuat.” (ash shaff : 2-3). Wallahu a’lam. (Kinan Nasanti)

sumber : eramuslim

Berapa Nilai Dirimu, Saudaraku?

Kita makhluk yang paling mulia yang telah diciptakan oleh Allah SWT, makhluk yang paling kuat karena ternyata dari sekian ratus ribu sel sperma yang berjuang untuk hidup, kita lah pemenangnya. Pernahkah kita berpikir untuk memberikan berapa nilai dari diri kita? Apakah harga diri kita hanya sebatas dunia yang ingin kita kuasai, emas dan perak yang ingin kita miliki?

Padahal jelas - jelas Rasulullah bersabda, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi : “Dunia ini terkutuk, semua yang ada di dalamnya terkutuk, kecuali dzikir kepada Allah, hal-hal yang bersangkutan dzikir, seorang ‘alim dan seorang pelajar.” Dunia dengan emas dan peraknya, kekuasan dan jabatan yang selalu ingin kita kejar, kemewahan dengan rumah megahnya, sama sekali tidak berhak mengalirkan setetes pun air mata kita. Terkadang kita melupakan bahwa dunia ini hanyalah titipan buat kita. Demikian yang dikatakan oleh Labid.

Harta dan keluarga tak lain adalah barang titipan, dan suatu saat barang titipan itu akan dikembalikan.

Tapi sekali lagi, terkadang kita benar-benar melupakannya, selalu setiap bergantinya hari yang kita pikirkan hanyalah bagaimana agar bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita perlukan, dan pernahkah kita berpikir, apakah saudara-saudara kita di luar sana membutuhkan bantuan kita hanya untuk sekedar makan hari ini?, pernahkah terbersit sedikit saja dipikiran kita bahwa mereka sebenarnya meminta bantuan kita,hanya saja kita selalu membutakan mata dan menulikan telinga kita untuk mereka?

Lalu, apakah kita juga mengetahui kalau setiap jiwa mukmin itu lebih berharga dari dunia dan seisinya?, Dan pernahkah kita sedikit saja merenung, bahwa semua kekayaan dan kedudukan yang kita miliki bisa menangguhkan bahkan menghambat maut dari kita, dapat menolong kita dari siksa dan azabnya Allah?, Jika kita tahu jawabannya tidak, lalu kenapa kita masih selalu saja menghargai diri kita hanya sebatas harta, emas dan perak?

Demi hidupmu, kekayaan takkan memberi manfaat kepada seorang pun ketika dada sudah tersengal dan sesak (Hatim Ath-Thai)

Pertanyaannya adalah seberapa besarkah nilai kita sebagai seorang manusia yang mulia dan manusia yang terpilih?

Hasan Al-Bashri mengatakan, ”Jangan tentukan harga dirimu kecuali dengan surga. Jiwa orang yang beriman itu mahal, tapi sebagian dari mereka justru menjualnya dengan harga yang murah.”

Sayangnya, hanya sebagian kecil dari kita yang menyadari kalau jiwa kita sebagai makhluk yang beriman sangatlah mahal, atau mungkin kita selalu berpikir kalau harta dan dunia ini lebih berharga dan lebih mahal dari sebuah jiwa yang beriman, sehingga yang sering kita tangisi adalah di saat kita kehilangan uang, kebakaran rumah yang mewah, kehilangan pekerjaan, kita tidak pernah merasa menyesal dan menangis ketika hati kita mulai terasa mati dan jauh dari Allah, tidak pernah ada air mata ketika kita mengingat semua dosa-dosa yang telah kita perbuat, lalu jika sudah seperti ini, apa lagi yang bisa kita harapkan untuk membantu kita di hari akhir nanti?, dan jika ketaatan kepada Rabb sudah tidak ada lagi, maka dapatkah terwujud untuk mendapatkan cinta-Nya dan bertemu dengan-Nya dalam keadaan terbaik?

Subhanallah, ketika menuliskan artikel ini pun, saya berusaha untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada, akankah keinginan untuk memiliki sebuah rumah di syurga-Nya dan engkau menjadi tetangga saya ya saudaraku, dapat terwujud? Insyaallah, Amin.

Amda Usnaka
Stt Telkom
usnaka@yahoo.com


sumber : eramuslim

Berani Hidup

Aktivitas harian kadang menghadirkan rasa bosan sampai ke tingkat jenuh. Badan malas bergerak dan otak jadi malas mikir. Sangat tidak produktif! Yah, hari itu giliran saya mengalami entah untuk yang keberapa kalinya. Walau telah banyak buku teori yang dibaca sebagai penangkal, masih saja gagal.

Bermalas-malasan menjadi satu-satunya pilihan sambil berusaha merangkai khayalan yang indah tentang segala obsesi yang belum tercapai. Silih berganti dengan berandai-andai yang tanpa sadar membawa kepada rasa putus asa, "andai saja…" dan sederet rasa penyesalan yang tak kunjung usai. (Jauh sekali dari ummat dambaan Rasulullah: seorang mukmin yang kuat).

Kuasa Allah mengalihkan khayalan itu jadi sebuah perenungan yang panjang. Suara hati berebutan dalam proses penyadaran.

"Kamu Pengecut, kamu tidak berani hidup! Orang yang berani hidup akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, karena hidup yang sekarang hanyalah sementara. Dia takkan menyia-nyiakannya, dia ingin hidup bahagia selamanya disamping Rabbul Izzati”

“Bukankah kamu pernah membaca? Rasulullah bersabda “dunia adalah sebaik-baik kendaraan menuju akhirat". Dengan caramu sekarang, jangan harap deh kamu bisa menghasilkan yang terbaik".

"Wake up donk! Atau kamu ingin bergabung bersama mereka yang bunuh diri hingga kamu tidak perlu lagi capek di hari esok atau kamu akan biarkan syarafmu tegang terus jadi tidak berfungsi hingga esok hari tidak usah berpikir lagi?”.

“Allah kuasa memberi peringatan dalam bentuk apapun. Kenapa harus menunggu peringatan itu datang kalau akal sehat masih mampu memperbaiki kesalahan yang terjadi? Menurut berita terbaru, 3 dari 1000 orang di Indonesia sakit jiwa. Kamu ingin menambah panjang daftar itu?”

Na’udzubillaahi min dzalik. Saya sadar... kemalasan telah 'mengecilkan' keberadaan Sang Khalik yang telah mempersembahkan semua yang terbaik untuk hamba-Nya. Awan beraneka rupa, tak pernah sama dari hari ke hari. Dihadirkan-Nya duka agar saya bisa merasakan indahnya bahagia, dihadiahi-Nya rasa gagal agar saya bisa memanjatkan syukur yang tak berhingga ketika berhasil. Sayalah yang menjadikan hidup terasa menjemukan. Astaghfirullahal’adziim. Sesungguhnya Allah tidak pernah zalim kepada hamba-hambaNya. Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazhaalimin.

Ya, segala hal yang bersifat manusiawi selalu bisa jadi alasan hingga kita permisif dalam menyikapi kemalasan dan kejenuhan. Bukan berarti, kita harus memaksakan diri dalam melakukan suatu pekerjaan. Bukan! Masih banyak alternatif lain untuk menjadikan hidup bermakna. Hobi tidak pernah mendatangkan rasa jenuh bukan? Namanya juga hobi –hal-hal yang disukai dan disenangi. Bagi yang hobi memasak, segera bangkit dari tempat tidur, masak makanan terbaik dan suguhkan untuk keluarga tercinta. Bagi yang hobi jalan-jalan, simaklah keagungan ciptaan-Nya dan ajaklah anak yatim, bahagiakan hati mereka. Percayalah, kebahagiaan itu menular! Bagi yang hobi membaca, bacalah sebanyak-banyaknya buku, cari hikmahnya dan ceritakan kepada yang lain. Tanpa disadari, kita sudah berdakwah. Atau langkahkan kaki ke rumah sahabat lama, guru atau orang yang pernah menyakiti kita sekalipun. Yakinlah, silaturahmi bisa merubah suasana hati. Dan jika memang terlalu lelah, berdzikirlah dalam diam... rasakan bahwa Dia begitu dekat... dekaaaat sekali...

Ah, ternyata dunia ini sungguh indah. Kunci menghilangkan rasa jenuh, ternyata sangat sederhana: BERGERAK! Hingga kita akhirnya hanya punya dua pilihan: ingin hidup seratus tahun lagi untuk berkarya atau ingin mati besok karena kita yakin hidup kita selama ini telah mengantongi cukup bekal dalam menyongsong kehidupan hakiki di surga-Nya. BERANI HIDUP!!! Wallaahu 'a'lam.

farah_adibah@yahoo.com



sumber : eramuslim