Rabu, 16 Maret 2011

Ada Hikmah di Negeri Sakura

KotaSantri.com - “Assalamu’alaikum”, ku dengar salam suami.
“Wa’alaikumussalam”, jawabku tanpa beranjak dari meja setrika. Ah, kebiasaan jelekku di tahun kelima pernikahan. Tampak beda di kala awal-awal nikah dulu. Mendengar motornya pun, sudah berlari ke arah pintu. Mulai krisis rupanya ruhiyahku….

“Dik, sini sebentar”, berkata suamiku sambil menekan power komputer.
“Sebentar, sedikit lagi Mas, tinggal baju Dede yang belum disetrika”. Duh, bertambah lagi dosaku yang tidak segera memenuhi panggilan suami.
“Sini… Sebentar aja, penting nih”.

Kulihat sepintas di layar komputer. Oh, rupanya suami dari warnet. Tampak tampilan e-mail di komputer. Yah, suami biasanya ke warnet, hanya membuka e-mail tanpa membacanya. Kecuali beberapa e-mail penting. E-mail dari temannya dan temanku biasanya hanya di kopi, dan dibaca santai di rumah. Menghemat biaya katanya.

Kumatikan setrika, dan berjalan menghampirinya, setelah mengambil segelas air putih di meja makan. Tampak e-mail dari Prof. Seiko Taniguchi, professor Jepang yang telah tiga tahun ini sering dikontak suami, agar bersedia menjadi supervisornya. Tanpa semangat kubaca e-mail itu. Tertegun. Tak Percaya. Kaget dan entah apalagi, “... See you in Fukuoka.”, itulah kalimat terakhir yang membuat jantungku berdegup kencang. Kutengok ke belakang, ternyata suami sudah tidak di atas kursi lagi, melainkan sedang sujud syukur di tempat yang biasa kami pakai untuk shalat. Ah, rupanya tadi di warnet belum sempat sujud syukur Segera ku susul dia, sujud bersama, dengan rasa penuh syukur. Alhamdulillaah, akhirnya keinginan kita untuk melanjutkan sekolah di Negeri Sakura terpenuhi juga. Air mata berlinang, meluapkan rasa gembira yang tak terkira. Alhamdulillaah, syukurku tak henti-hentinya.

Dua bulan setelah pengumuman itu, berpamitan dengan tetangga, teman dan saudara, akhirnya kutinggalkan tanah air demi sebuah tujuan dan harapan yang kami bangun semenjak ada cita-cita melanjutkan sekolah di luar negeri.

Kupandangi sesaat, sebelum kutinggalkan rumah sangat sederhana, tipe 21, luas 75m persegi yang belum selesai dibangun. Tersenyum, mengingat kata anak tetangga, “Masak rumah seperti ini mau ditempati to, wong belum jadi kok”, bahasa Indonesia medok Jawa khas Semarang. “Ah, insya Allah nanti kan berubah…”, ups! Tak kulanjutkan khayalanku. Astaghfirullaah.

***

Jepang, akhirnya kita sekeluarga bisa berkumpul di negeri ini. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah melihat kondisi dan keadaan di Jepang, ternyata tak semua cita-cita dan impianku terlaksana. Impian ingin melanjutkan sekolah lagi, kandas di jalan. Mengingat susahnya mencari beasiswa di sini. Sekolah dengan biaya sendiri, rasanya tidak mungkin. Akhirnya, ku semangat belajar nihonggo, aku ingin menguasai bahasanya. Namun, itu pun hanya semangat sesaat yang tak mampu kupertahankan, melihat sangat susahnya nihonggo, kursus yang hanya setengah-setengah, karena memang hanya kursus gratisan, dan bila ingin kursus yang benar-benar kursus, biaya juga tak terjangkau, akhirnya aku pun menyerah juga. Aku bukan tipe orang yang bisa belajar sendiri.

Terkadang terbersit keinginan untuk bekerja, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kendala bahasa menjadi hambatan utama. Kalau dihitung-hitung pun jatuhnya tak seberapa, kebijakan-kebijakan Jepang di sini. Semakin besar pendapatan, pajak yang dikenakan juga semakin tinggi, baik itu asuransi kesehatan, biaya sekolah anak, sewa rumah, akhirnya uang yang tersisa tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Sedangkan bila aku tak bekerja, suami yang gakusei di hitung zero penghasilan, dan hampir semua kebutuhan hidup di subsidi, mulai sekolah anak gratis, sewa rumah murah serta asuransi kesehatan murah.

Tidak hanya aku yang ingin bekerja, ibu pun sempat berpesan, supaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama di Jepang, baik sekolah ataupun bekerja, dan hampir semua saudara-saudara mempunyai harapan yang sama.

Aku teringat Bu De, ketika menghaturkan sebuah amplop putih saat Pak De meninggal, “An, kamu sudah kerja?”, katanya serasa tidak enak menerima uang bukan hasil keringatku sendiri.

“Duh, Bu De, uangku dan uang suami kan sama saja...”, pikirku tanpa berani mengatakan langsung. Hanya jawaban, “Belum Bu De, nyuwun pangestunipun kemawon”, jawabku dengan mata memerah.

Teringat lagi aku, saat-saat kuliah dulu. Jarak yang begitu jauh, menyebabkan aku pulang setengah tahun sekali, saat libur semester. Tiap kali main ke sana, selalu pulangnya diambilkan uang dari stagennya, sambil memelukku beliau bilang, “An, jangan dilihat besarnya ini hanya tondo tresno ya...” Aku pun terharu menerimanya. Yach, apalah artinya uang seribu dua ribu di tahun 1998-an, setelah krisis. Mungkin hanya sebungkus nasi rames di warung dekat kostku.

***

“BUZZZ!”, terdengar dari komputer ada yang memanggil.

Ah, rupanya temanku di nun jauh di pulau sana di Jepang ini. Teman yang hanya bertemu di dunia maya, namun begitu dekat di hati ini. Alhamdulillaah, atas rahmat Allah dengan kemajuan teknologi di Jepang ini, membuatku memiliki banyak sahabat yang bisa saling menasihati, menghibur dan bercanda. Dan mengalirlah serangkaian nasihat yang menyejukkan hati ini.

Sambil berchatting ria, aku baca milis muslimah di Jepang ini. Milis yang penuh hikmah, pengetahuan dan ukhuwwah. Walaupun selama ini hanya menjadi peserta pasif, rasanya tidak pede menuangkan tulisan dalam milis ini, mengingat kemampuan yang tak seberapa. Senang dengan obrolan, sharing yang kubaca. Berbunga hati ini bila ada yang menyapa. Dan iri hati ini melihat muslimah lain yang bisa begitu aktif menulis.

Selesai chatting dan puas membaca e-mail yang masuk, aku search di Google mencari resep masakan. Yap! Ini menarik, dadar gulung coklat isi vla. Dadar gulung asli, isi enten-enten justru menguras kantong, mengingat harga kelapa parut di sini lumayan mahal. Teringat aku di Indonesia, wuah…mana pernah aku bikin penganan untuk keluarga. Tinggal ke warung dan beli jadi. Paling-paling bikin pisang goreng saja. Hampir setahun di sini, kuingat-ingat kue yang telah berhasil aku buat, soes, ponds cake, cake pisang, pudding caramel, klepon juga risoles serta sosis solo dan makanan yang sangat tradisional sekali, timus ubi jalar, bahkan menjadi resep andalan bila ada matsuri. Ah, di sini aku jadi penjual timus, hehehe… Tersenyum aku mengingat semua itu.

***

“KRINGG!”, terdengar telepon berbunyi.

Temanku mengajak rapat TPA dilanjutkan belajar bahasa Arab bersama orang Mesir. Alhamdulillaah, di negara yang tidak beragama ini aku justru ada semangat untuk mengkaji Islam lebih jauh. Di Indonesia, guru bahasa Arab berlimpah, waktu pun banyak. Namun tak pernah terpikirkan untuk belajar bahasa Arab secara serius. Alhamdulillaah...

TPA... Mana pernah terpikir olehku untuk mengajar TPA di komplek rumahku. Ada satu dua orang anak yang terpaksa ikut TPA RT lain, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Dan tak pernah sedikit pun terpikir untuk membantu, atau sekedar menyumbangkan tenaga. Ah, makanya aku sempat malu, namun juga bersyukur, keluarga yang sekarang menempati rumahku, merintis sebuah TPA khusus untuk RT rumahku. Dan berupaya mendirikan sebuah mushalla di depan rumah kami, yang kebetulan masih tanah kosong. Alhamdulillaah, semoga bila saatnya pulang nanti, lingkungan rumahku sudah agamis. Ah, dasar maunya enak sendiri. Kenapa dulu tak pernah berusaha untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk anak-anak.

***

Alhamdulillaah, walaupun tidak bisa memenuhi harapan ibuku dan juga harapanku sendiri untuk sekolah ataupun bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyak, namun banyak sekali hikmah di negeri Sakura ini. Dan itu semua tidak bisa dinilai dengan barang ataupun uang sebesar apapun.

Yah, inilah yang nanti akan kuceritakan kepada semua keluarga, bila saat pulang nanti disambut dengan pertanyaan, “Kamu di Jepang ngapain aja?...” Seperti juga beberapa saudara yang selalu menanyakan kegiatanku disela-sela obrolan saat telepon atau e-mail. Ah...


Fukuoka, Ramadhan 2004.
Tuk para isteri penyulut semangat suami menuntut ilmu.


Daftar Istilah :
Nihonggo : bahasa Jepang
Gakusei : mahasiswa
Nyuwun pangestunipun kemawon : mohon doanya
Tondo tresno : tanda kasih
Matsuri : pesta rakyat

Mengajar Keledai Membaca

Seseorang memberikan hadiah seekor keledai kepada sang amir. Orang-orang yang hadir ketika itu mulai memuji-muji binatang itu. Akhirnya seseorang berkata: "Aku malah dapat mengajar keledai ini membaca buku."

Sang amir pun menjadi murka dan berkata, "Kamu harus dapat membuktikannya. Bawa keledai ini dan ajarilah ia membaca dalam waktu satu bulan. Jika tak berhasil, akan kupenggal kepalamu. Jika berhasil, akan kuberi hadiah kamu sepuluh keping emas."

Si lelaki itu lalu membawa keledai itu pulang. Setelah beberapa hari mengembara dia berjumpa dengan seorang sufi di jalan dan menceritakan ancaman berat sang amir.

Sang sufi berkata: "Ambillah sebuah kitab yang besar, seperti kitab filsafat, dan letakkan jerami di antara lembar-lembar halaman kitab itu. Buatlah supaya keledai itu lapar selama sehari, lalu bukalah kitab itu di depan binatang itu, dan bukalah lembar demi lembar halaman kitab itu begitu keledai itu makan jerami dari tiap-tiap halaman.

Pada akhir bulan, sebelum bertemu dengan sang amir, buatlah binatang itu tetap lapar lagi. Pada hari yang telah ditentukan, bawalah keledai itu kepada amir bersama-sama dengan kitab itu, tetapi kali ini jangan letakkan jerami di antara halaman-halaman kitab itu."

Orang itu melakukan apa yang dinasihatkan oleh sang sufi dan meyakinkan sang amir bahwa dia telah mengajari keledai itu bukan saja membaca, tetapi juga membaca filsafat.

Rahasia

Nasrudin memanjat sebuah tembok dan dari sana ia melihat sebuah halaman yang dipenuhi rumput yang hijau dan lembut, bagaikan kain bludru yang amat halus. Ia memanggil tukang kebun yang sedang menyiram halaman penuh rumput itu.

"Apa rahasianya untuk bisa membuat halaman seperti itu?"

"Tidak ada rahasia," kata tukang kebun. "Sini, aku beri tahu asal engkau turun kemari."

"Asyiiik," ujar sang Mullah sambil meluncur turun. "Aku akan membuat halaman seperti itu."

"Caranya," kata si tukang kebun, "tanamlah rumput, bersihkan biji-bijian, dan sesering mungkin gunting rumput."

"Aku bisa melakukannya semua! Berapa lama waktu yang dibutuhkan?"

"Sekitar delapan ratus tahun."

"Rasanya, aku lebih suka melihat pemandangan dari jendelaku tanpa rerumputan," kata Nasrudin.

humorsufi3

Tidak Untuk Dibawa

"Aku akan mengajarkan kepadamu perihal metafisik," kata Nasrudin kepada seorang tetangga yang tampaknya memiliki pemahaman yang mengagumkan, meskipun masih sedikit.

"Aku akan senang sekali," kata sang tetangga, "datanglah ke rumahku. Di sana, engkau bisa bicara panjang lebar padaku."

Nasrudin menyadari bahwa laki-laki itu berpikir, bahwa pengetahuan mistis dapat dipindahkan begitu saja melalui kata-kata yang keluar dari mulut. Nasrudin diam saja mendengar ajakan itu.

Beberapa hari kemudian, sang tetangga memanggil-manggil sang Mullah dari atas atap rumahnya. "Nasrudin, aku membutuhkan bantuanmu untuk meniup api di tungkuku, arangku tidak ada."

"Boleh," sahut Nasrudin. "Datanglah kemari. Kau boleh bawa sebanyak mungkin."


Antara Menangis dan Tertawa

Pada suatu ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''
Kritik Ibn al-Wardi ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka tidak suka bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan tepekur mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela yang harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan ghaflah, yaitu lalai dari mengingat Allah.

Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.

Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.
Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin.

Sumber: republika





Anak Kecil yang Takut Api Neraka

Dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, sedang dia berjalan-jalan dia terpandang seorang anak kecil sedang mengambil wudhu' sambil menangis.
Apabila orang tua itu melihat anak kecil tadi menangis, dia pun berkata, "Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?"
Maka berkata anak kecil itu, "Wahai pakcik saya telah membaca ayat al-Qur'an sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi, "Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum" yang bermaksud, " Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu." Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka."

Berkata orang tua itu, "Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalm api neraka."
Berkata anak kecil itu, "Wahai pakcik, pakcik adalah orang yang berakal, tidakkah pakcik lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali yang mereka akan letakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka letakkan yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa."

Berkata orang tua itu, sambil menangis, "Sesungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?"
 

sumber : File 1001 KisahTeladan by Heksa


Al-Quran Sebagai Pembela

Abu Umamah r.a. berkata : "Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an."
Telah bersabda Rasulullah S.A.W :
Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya. Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, "Kenalkah kamu kepadaku?"
Maka orang yang pernah membaca akan menjawab : "Siapakah kamu?"

Maka berkata Al-Qur'an : "Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."
Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu : "Adakah kamu Al-Qur'an?"
Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca mengadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.
Pada kedua ayah dan ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?"

Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua kerana anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."

sumber : File 1001 KisahTeladan by Heksa

6 Persimpangan

Abu Bakar r.a. berkata, :
Sesungguhnya iblis berdiri di depanmu, jiwa di sebelah kananmu, nafsu di sebelah kirimu, dunia di sebelah belakangmu dan semua anggota tubuhmu berada di sekitar tubuhmu. Sedangkan Allah di atasmu.
Sementara iblis terkutuk mengajakmu meninggalkan agama, jiwa mengajakmu ke arah maksiat, nafsu mengajakmu memenuhi syahwat, dunia mengajakmu supaya memilihnya dari akhirat dan anggota tubuh menagajakmu melakukan dosa. Dan Tuhan mengajakmu masuk Syurga serta mendapat keampunan-Nya, sebagaimana firmannya yang bermaksud, "....Dan Allah mengajak ke Syurga serta menuju keampunan-Nya..."
Siapa yang memenuhi ajakan iblis, maka hilang agama dari dirinya.
Sesiapa yang memenuhi ajakan jiwa, maka hilang darinya nilai nyawanya.
Sesiapa yang memenuhi ajakan nafsunya, maka hilanglah akal dari dirinya.
Siapa yang memenuhi ajakan dunia, maka hilang akhirat dari dirinya.
Dan siapa yang memenuhi ajakan anggota tubuhnya, maka hilang syurga dari dirinya.
Dan siapa yang memenuhi ajakan Allah S.W.T., maka hilang dari dirinya semua kejahatan dan ia memperolehi semua kebaikan.

Iblis adalah musuh manusia, sementara manusia adalah sasaran iblis. Oleh itu, manusia hendaklah sentiasa berwaspada sebab iblis sentiasa melihat tepat pada sasarannya.

sumber : File 1001 KisahTeladan by Heksa