Di suatu petang, dalam perjalanan pulang, di atas motor yang saya pacu lumayan kencang, pikiran saya menerawang mengingat kejadian di siang harinya.
Sebelum zhuhur, saya ditepon seorang teman bahwa dia sudah tiba di lingkungan kantor saya, dan selepas sholat zhuhur kami akan bertemu. Dalam hati saya senang sekali, karena dia datang tidak dengan tangan hampa, tapi ada oleh-oleh yang dibawanya. Hari ini saya akan dapat rezeki.
Selesai sholat segera saya keluar masjid dan menemui dirinya yang memang sudah menunggu. Begitu bertemu, dia langsung memberikan oleh-oleh kepada saya. Melihat kantong bawaannya cukup besar, saya berpikir bahwa isinya juga banyak. Bakal kenyang perut saya siang ini, begitu pikir saya. Tapi sebelumnya saya sudah beli makan untuk saya santap siang ini. Sayang juga, begitu kelanjutan pikiran saya.
Kami berbicara tidak lama, karena ia ada keperluan lain yang mendesak. Namun sebelum pergi, ia memberitahukan sebuah kabar bahwa seorang temannya mengalami musibah. Dompet dan HP hilang kecopetan dalam sebuah perjalanan.
Setelah pertemuan dengan teman saya itu, saya membawa kantong berisi makanan itu ke ruangan saya. Karena bawaan teman saya cukup banyak, teman-teman saya ikut juga merasakan nikmatnya oleh-oleh dari teman saya itu. Selagi saya dan teman-teman menikmati lezatnya oleh-oleh tersebut, teman saya yang lain datang. Sambil senyum-senyum dia memberitahukan bahwa sandalnya hilang. Dan saya memang melihat bahwa dikakinya menempel sandal berwarna biru yang masih bersih. Saya tersenyum dan menggodanya. Tak lama kemudian dia pun ikut menikmati apa yang sedang kami santap.
Masih di dalam perjalanan, ada sebuah pikiran yang terbersit. Saya harus bersyukur bahwa hari ini saya mendapat rezeki, sedangkan teman seruangan saya hari ini kehilangan sandal jepitnya. Sesaat kemudian saya juga berpikir, mungkin teman seruangan saya itu juga akan bersyukur bila mengetahui bahwa dia hanya kehilangan sepasang sandal jepit yang tidak seberapa mahal harganya, sedangkan teman saya yang lain kehilangan dompet beserta isinya dan hp. Kemudian saya berpikir, bahwa teman yang kehilangan dempet dan hp juga akan bersyukur, bila dirinya membandingkan dengan saudara-saudara kita yang meninggal karena kecelakaan pesawat di Polonia sana.
Pada suatu hari di tahun yang lalu, adik saya minta dijemput seusai jam kantor. Jalan-jalan di Jakarta tak pernah lepas dari kemacetan pada jam-jam pulang kantor. Saya pun terpaksa berkelit di antara kendaraan-kendaraan lain yang merambat pelan. Setelah menjemput adik saya, kembali saya memacu motor saya untuk kembali ke rumah. Karena jalan masih macet dan waktu maghrib sudah tiba, akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke masjid untuk sholat.
Setelah selesai sholat, saya mendapati bahwa sepatu yang saya letakan di belakang pintu pagar masjid sudah tiada. Hilang. Untunglah saya membawa sandal, jadinya saya tidak 'nyeker' di atas motor.
Sesampai saya di rumah dan menceritakan apa yang saya alami, ibu saya berucap, "Untung sepatu yang ilang, bukan motor, orangnye juge gak kenape-nape."
Ya, saya masih beruntung, dan itu patut disyukuri. Keadaan itu juga membuat saya lebih berhati-hati terhadap apa yang saya miliki.
Saya teringat sebuah kisah Kabayan, ketika dia pulang ke rumah dengan mobilnya. Setelah sampai di rumah, dia pun memarkir mobil di pinggir jalan dan langsung masuk ke dalam rumah. Setelah beberapa lama, dia pun keluar rumah untuk pergi lagi. Namun betapa terkejut dirinya ketika mendapati bahwa mobilnya sudah hilang. Tapi dia dia mengumpat atau mengeluarkan sumpah -serapah kepada pencuri yang membawa mobilnya. Dia hanya berkata, "Untung saya tidak berada di mobil itu, kalau saya masih di dalam mobil, diri saya pasti akan hilang juga."
---oo0oo---
Mungkin suatu hari, hati saya bisa tersenyum ketika melihat sebuah sandal jepit dengan corak bunga-bunga berada di tepi masjid. Dan menerima kenyataan bahwa sandal jepit itu rupanya sudah berpindah kaki. Sandal itu bisa memberikan manfaat bagi orang lain, melindungi tapak kakinya dari debu dan kotoran.
Bila saya tak mau kehilangan lagi, maka saya harus lebih hati-hati menjaga apa yang saya miliki sebagai rasa syukur. Sedangkan yang hilang tak usahlah terus dikenang. Mudah-mudahan saya tak lagi kehilangan.
Kamis, 17 Maret 2011
Anda Bisa Jika Anda Berpikir Bisa
seutas benang. Itu bukan cerita, itu kisah nyata. |
Kita sebagai manusia yang berakal budi ternyata juga mengalami trauma yang sama. Teman saya |
sejak kecil tidak berani mengendarai sepeda, ketika kami remaja dan suka keliling kota dengan |
sepeda motor, dia selalu dibonceng teman lainnya, setelah kami dewasa beberapa teman mulai |
memakai mobil untuk aktivitasnya, tapi teman saya itu tetap tidak berani mengendarai apapun. |
Anda jg pasti punya teman yg tidak pernah mau mencoba mengendarai sepeda/sepeda motor, |
apalagi mobil, selalu takut & merasa bahwa mengendarai motor atau mobil adalah sesuatu yg |
sangat sulit. Istri |
teman saya bisa mengendarai mobil, setiap hari dia menggunakan mobil untuk antar jemputnya |
ke dan dari sekolah, tapi dia hanya berani menggunakannya di dalam kompleks ( Kelapa Gading |
Jakarta ), selama lebih dari 5 tahun tidak pernah sekalipun dia berani mengendarai mobil keluar |
dari Kelapa Gading. |
Suatu hari anaknya sakit dan masuk rumah sakit di Sunter diluar Kelapa Gading, dan suaminya |
sedang tugas di luar kota. Terpaksa dia mengendari mobilnya pergi ke rumah sakit tersebut, dan |
sejak saat itu |
dia berani mengendarai mobilnya kemana saja, termasuk pulang pergi ke Bandung. |
Ada staff di bagian keuangan yang sudah bekerja 5 tahun, tidak pernah bisa meraih promosi |
jabatan karena disana adalah jabatan fungsional yang buntu dengan jenjang karir, ketika saya |
tawarkan jabatan di |
bagian marketing, dia tidak berani mengambilnya karena merasa tidak mampu menjadi orang |
marketing. |
Ada seorang salesman yang sudah bekerja 10 tahun, prestasinya bagus, disegani teman |
temannya, bahkan jadi tempat bertanya atasannya. Ketika ditawari jabatan supervisor dia |
menolak karena dia takut |
dengan pekerjaan administrasi dan takut kalau nanti suatu hari naik lagi jadi distrik manager yang |
sarat dengan tugas tugas di atas meja, dia merasa tidak bisa mengerjakan pekerjaan adminitrasi. |
Dear teman2 sekalian, coba anda lihat diri anda sendiri, adakah seutas benang yang memhambat |
diri anda saat ini? Putuskan benang itu, bergeraklah maju lebih dari lingkaran yang selama ini |
mengurung anda. |
Ada seorang tukang becak yang bertahun2 mengayuh becak tapi dengan berpikir bisa merubah |
nasib melalui bisnis Network Marketing akhirnya dia bisa menjadi Group Director dengan income |
jutaan rupiah perbulan dan tidak perlu peras keringat dan berpanas-panas lagi disiang hari. |
Ada seorang tukang sayur yang hanya tamatan SD berkali-kali coba mencari peluang karena ingin |
merubah nasib tapi karena selalu berpikir bahwa nanti pasti bisa mendapatkan usaha yang tepat |
akhirnya |
dia menemukannya dengan pendapatan bulanan mencapai 8 digit dan tidak kekurangan finansial |
lagi
Anda pasti bisa kalau anda berpikir anda bisa, anda akan gagal kalau anda selalu berpikir anda |
akan gagal. Peluang demi peluang muncul setiap hari, dan karena selama ini anda menutup mata |
anda, telinga |
anda, pikiran anda, diri anda, hidup anda, maka peluang itu menjadi bukan peluang, lewat begitu |
Kisah Sukses yang Berawal dari Kegagalan
Adam Khoo
Dia adalah orang Singapura. Waktu kecil, ia adalah penggemar berat games dan TV. Sehari, ia bisa berjam-jam di depan TV. Baik main PS atau nonton TV.
Adam Khoo pun dikenal sebagai anak bodoh. Ketika kelas 4 SD, ia dikeluarkan dari sekolah. Ia pun masuk ke SD terburuk di Singapura. Ketika akan masuk SMP, ia ditolak oleh 6 SMP terbaik di sana.
Akhirnya ia bisa masuk ke SMP terburuk di Singapura. Begitu terpuruknya prestasi akademisnya, tapi lama kelamaan membaik justru karena cemoohan teman-temannya, hingga akhirnya memperoleh kesuksesan di dunia bisnis.
Prestasi Adam di dunia bisnis ditandai pada saat Adam berusia 26 tahun. Ia telah memiliki 4 bisnis dengan total nilai omset per tahun US$ 20 juta. Kisah bisnis Adam dimulai ketika ia berusia 15 tahun. Ia berbisnis music box. Bisnis berikutnya adalah bisnis training dan seminar. Pada usia 22 tahun, Adam Khoo adalah trainer tingkat nasional di Singapura. Klien-kliennya adalah para manager dan top manager perusahaan-perusahaan di Singapura. Bayarannya mencapai US$ 10.000 per jam.
Dia adalah orang Singapura. Waktu kecil, ia adalah penggemar berat games dan TV. Sehari, ia bisa berjam-jam di depan TV. Baik main PS atau nonton TV.
Adam Khoo pun dikenal sebagai anak bodoh. Ketika kelas 4 SD, ia dikeluarkan dari sekolah. Ia pun masuk ke SD terburuk di Singapura. Ketika akan masuk SMP, ia ditolak oleh 6 SMP terbaik di sana.
Akhirnya ia bisa masuk ke SMP terburuk di Singapura. Begitu terpuruknya prestasi akademisnya, tapi lama kelamaan membaik justru karena cemoohan teman-temannya, hingga akhirnya memperoleh kesuksesan di dunia bisnis.
Prestasi Adam di dunia bisnis ditandai pada saat Adam berusia 26 tahun. Ia telah memiliki 4 bisnis dengan total nilai omset per tahun US$ 20 juta. Kisah bisnis Adam dimulai ketika ia berusia 15 tahun. Ia berbisnis music box. Bisnis berikutnya adalah bisnis training dan seminar. Pada usia 22 tahun, Adam Khoo adalah trainer tingkat nasional di Singapura. Klien-kliennya adalah para manager dan top manager perusahaan-perusahaan di Singapura. Bayarannya mencapai US$ 10.000 per jam.
Loni Dan Gadis Kecil
Tak seorang pun di sekolah yang mau bermain dengan Loni, sampai muncul seorang gadis kecil di kelasnya, pada suatu pagi.
“Kamu boleh duduk di mana saja,” kata guru kelas pada si gadis kecil.
Gadis kecil berusia sembilan tahun itu menatap sekeliling kelas dan melihat beberapa bangku kosong di sekitar. Lalu pandangannya bertemu dengan binar harapan di mata Loni, anak perempuan bertubuh setinggi Ibu Guru, dengan rambut kepang dua seperti dirinya. Dengan yakin ia mengambil tempat duduk di samping Loni, diiringi pandangan heran dari semua murid.
Beberapa jam kemudian isi kelas dikejutkan dengan penyakit Loni yang muncul tiba-tiba. Loni kejang-kejang! Bulatan hitam di matanya nyaris menghilang. Dari mulutnya keluar busa. Beberapa teman Loni menyingkir, yang lain berbisik-bisik dan tertawa. Si gadis kecil tampak cemas. Bersama beberapa guru ia menemani Loni ke puskesmas terdekat.
Seminggu kemudian, setelah pulih, Loni tampak takjub karena murid baru, gadis kecil itu masih duduk di situ. “Mengapa kamu duduk di sini?” tanyanya. “Mengapa kamu mau bermain dengan saya? Apa kamu tidak tahu saya punya penyakit aneh?” tanya Loni terbata-bata. Tetapi si gadis kecil hanya tersenyum.
Ketika Loni diusili teman sekelas, ketika ada yang menjambak dan menendang Loni, ketika semua beramai-ramai mengejek Loni, gadis kecil membelanya. Begitu juga sebaliknya. Loni akan bersedih dan mencoba membantu sebisanya ketika gadis kecil mendapat kesulitan. Di waktu luang, gadis kecil mengajari Loni pelajaran sekolah. Semakin lama mereka semakin akrab. Gadis kecil berhasil menjadi juara kelas. Loni yang dua tahun tinggal kelas dapat naik ke kelas empat.
Suatu hari Loni tak masuk sekolah. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan Loni tak muncul. Gadis kecil sedih mendengar Loni tak lagi sekolah. Kedua orangtuanya bilang percuma menyekolahkan Loni, sebab penyakit Loni sering kambuh. Ia juga sering mengamuk pada siapa saja.
Gadis kecil sedih. Ia datang ke rumah Loni, tetapi Loni tak ada. Gadis kecil tak percaya ketika orang-orang berkata Loni kini menjadi anak jalanan, berkeliaran di jalan-jalan.
Suatu sore, si gadis kecil itu pulang menuju rumahnya. Ia harus berjalan melalui lorong pasar yang sudah cukup gelap. Tak seorang pun di sana, ketika tiga lelaki jahat tiba-tiba menyergapnya! Gadis kecil tak bisa berteriak karena mulutnya disekap. Ia akan diseret ke tempat yang lebih gelap! Tiba-tiba sesosok bayangan datang dan memukuli orang-orang itu sambil berteriak. Ia mengibas-ngibaskan rantai panjang yang dibawanya ke udara. Para lelaki itu kocar-kacir. Orang-orang mulai berdatangan mendengar lengkingannya.
“Loni!” panggil gadis kecil gembira.
Loni membelai rambut gadis kecil dan memeluknya. Tetapi ia tampak sangat berbeda. Ia begitu lusuh. Bajunya sobek di sana-sini. Pergelangan tangannya dipenuhi karet warna-warni. Begitu juga rambutnya. Rantai panjang yang sejak tadi dipegangnya, kini dililitkannya di pinggang. Airmatanya tiba-tiba menitik ketika ia berkata, ”Hanya kamu…temanku…, hanya kamu….”
Tahun terus berlalu. Gadis kecil tumbuh remaja. Ia tahu, ia mempunyai seorang teman yang hingga kini masih berkeliaran di jalan dan di pasar-pasar. Sesekali ia menyelusuri pasar dan jalan-jalan, berharap dapat bertemu dengan Loni.
“Orang gila! Orang Gila! Lariii!”
“Loni gila! Loni gilaa!”
Gadis kecil masih menawarkan persahabatan seperti dulu, tetapi Loni menghindari.
“Loni, kamu temanku…kamu tidak gila!” kata si gadis. “Aku akan menolongmu….”
Airmata Loni berderai. “Kamu temanku…,pergilah…," suaranya pelan. “Hanya kamu…temanku selamanya…,satu-satunya…, karena itu…kamu harus…pergi….”
Sejak saat itu gadis itu tak pernah lagi bertemu dengan Loni. Tetapi di mana pun Loni berada, gadis itu tahu Loni akan selalu berada di hatinya.
(Helvy Tiana Rosa)
“Kamu boleh duduk di mana saja,” kata guru kelas pada si gadis kecil.
Gadis kecil berusia sembilan tahun itu menatap sekeliling kelas dan melihat beberapa bangku kosong di sekitar. Lalu pandangannya bertemu dengan binar harapan di mata Loni, anak perempuan bertubuh setinggi Ibu Guru, dengan rambut kepang dua seperti dirinya. Dengan yakin ia mengambil tempat duduk di samping Loni, diiringi pandangan heran dari semua murid.
Beberapa jam kemudian isi kelas dikejutkan dengan penyakit Loni yang muncul tiba-tiba. Loni kejang-kejang! Bulatan hitam di matanya nyaris menghilang. Dari mulutnya keluar busa. Beberapa teman Loni menyingkir, yang lain berbisik-bisik dan tertawa. Si gadis kecil tampak cemas. Bersama beberapa guru ia menemani Loni ke puskesmas terdekat.
Seminggu kemudian, setelah pulih, Loni tampak takjub karena murid baru, gadis kecil itu masih duduk di situ. “Mengapa kamu duduk di sini?” tanyanya. “Mengapa kamu mau bermain dengan saya? Apa kamu tidak tahu saya punya penyakit aneh?” tanya Loni terbata-bata. Tetapi si gadis kecil hanya tersenyum.
Ketika Loni diusili teman sekelas, ketika ada yang menjambak dan menendang Loni, ketika semua beramai-ramai mengejek Loni, gadis kecil membelanya. Begitu juga sebaliknya. Loni akan bersedih dan mencoba membantu sebisanya ketika gadis kecil mendapat kesulitan. Di waktu luang, gadis kecil mengajari Loni pelajaran sekolah. Semakin lama mereka semakin akrab. Gadis kecil berhasil menjadi juara kelas. Loni yang dua tahun tinggal kelas dapat naik ke kelas empat.
Suatu hari Loni tak masuk sekolah. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan Loni tak muncul. Gadis kecil sedih mendengar Loni tak lagi sekolah. Kedua orangtuanya bilang percuma menyekolahkan Loni, sebab penyakit Loni sering kambuh. Ia juga sering mengamuk pada siapa saja.
Gadis kecil sedih. Ia datang ke rumah Loni, tetapi Loni tak ada. Gadis kecil tak percaya ketika orang-orang berkata Loni kini menjadi anak jalanan, berkeliaran di jalan-jalan.
Suatu sore, si gadis kecil itu pulang menuju rumahnya. Ia harus berjalan melalui lorong pasar yang sudah cukup gelap. Tak seorang pun di sana, ketika tiga lelaki jahat tiba-tiba menyergapnya! Gadis kecil tak bisa berteriak karena mulutnya disekap. Ia akan diseret ke tempat yang lebih gelap! Tiba-tiba sesosok bayangan datang dan memukuli orang-orang itu sambil berteriak. Ia mengibas-ngibaskan rantai panjang yang dibawanya ke udara. Para lelaki itu kocar-kacir. Orang-orang mulai berdatangan mendengar lengkingannya.
“Loni!” panggil gadis kecil gembira.
Loni membelai rambut gadis kecil dan memeluknya. Tetapi ia tampak sangat berbeda. Ia begitu lusuh. Bajunya sobek di sana-sini. Pergelangan tangannya dipenuhi karet warna-warni. Begitu juga rambutnya. Rantai panjang yang sejak tadi dipegangnya, kini dililitkannya di pinggang. Airmatanya tiba-tiba menitik ketika ia berkata, ”Hanya kamu…temanku…, hanya kamu….”
Tahun terus berlalu. Gadis kecil tumbuh remaja. Ia tahu, ia mempunyai seorang teman yang hingga kini masih berkeliaran di jalan dan di pasar-pasar. Sesekali ia menyelusuri pasar dan jalan-jalan, berharap dapat bertemu dengan Loni.
“Orang gila! Orang Gila! Lariii!”
“Loni gila! Loni gilaa!”
Gadis kecil masih menawarkan persahabatan seperti dulu, tetapi Loni menghindari.
“Loni, kamu temanku…kamu tidak gila!” kata si gadis. “Aku akan menolongmu….”
Airmata Loni berderai. “Kamu temanku…,pergilah…," suaranya pelan. “Hanya kamu…temanku selamanya…,satu-satunya…, karena itu…kamu harus…pergi….”
Sejak saat itu gadis itu tak pernah lagi bertemu dengan Loni. Tetapi di mana pun Loni berada, gadis itu tahu Loni akan selalu berada di hatinya.
(Helvy Tiana Rosa)
Kabel dan Cahaya Lampu
Wawan Komarudin
KotaSantri.com "SAYANG, ayo kita shalat. Tuh dengar adzan telah berbunyi," ujar seorang ibu kepada anaknya yang tengah asyik nonton televisi.
"Sebentar lagi dong, ini lagi seru-serunya," jawab sang anak.
Ibu itu kemudian mendekat, "Sayang, tidak baik menunda-nunda shalat. Ini kan haknya Allah. Ayo matikan tivinya!"
"Iya deh," jawab sang anak sambil beranjak dari tempat duduk. Ia terlihat sangat kecewa karena harus meninggalkan televisi.
Selama di kamar mandi, si anak terus menggerutu. "Ah.. Ibu, tiap hari menggangu saja. Lagi enak-enaknya nonton disuruh shalat. Lagi seneng-senengnya main disuruh shalat. Lagi nyeyak tidur disuruh shalat. Harus baca Al-Qur'an lah. Harus ikut pengajian lah. Harus ini. Harus itu! Bikin pusiiiing.
* * *
SELEPAS shalat berjamaah, anak itu bertanya dengan nada protes. "Bu, kenapa sih kita harus shalat, harus puasa, harus baca Al-Qur'an, dan harus belajar? Bukankah itu mengganggu kesenangan kita? Lagi pula, menurut saya, semua itu tidak ada gunanya, tidak mendatangkan hasil."
Si Ibu sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia pun terdiam beberapa saat. Ada sedikit kemarahan yang muncul dalam hatinya. Tapi ia segera sadar bahwa yang bertanya adalah anak kecil, yang belum tahu apa-apa selain main dan bersenang-senang.
Sang Ibu beranjak mengambil sebuah lampu yang menempel di dinding kamar anaknya. Sesaat kemudian ia berkata, "Anakku sayang, kamu lihat lampu ini. Ia begitu indah. Bentuknya lonjong dengan dindingnya terbuat dari kaca yang bening. Tiap malam engkau bisa belajar, mengerjakan PR, dan nonton televisi, salah satu sebabnya karena diterangi lampu ini."
"Sayang, tahukah kamu mengapa lampu ini bisa menyala?" lanjut si Ibu.
"Ya, karena ada energi listrik yang berubah jadi cahaya," jawab sang anak.
"Benar sekali jawabanmu. Lalu apa yang menyambungkan lampu ini dengan sumber listrik tadi?" tanya si ibu lebih lanjut. Sang anak pun menjawab dengan pasti, "Yang menyambungkan lampu dan sumber listrik adalah kabel."
"Pintar sekali kamu," timpal si Ibu memuji.
"Nah, sekarang kamu pasti tahu, bila tidak ada kabel pasti lampu ini tidak akan nyala dan kamar ini pasti gelap. Bila demikian, ia tidak akan ada manfaatnya lagi, dan kamu tidak bisa belajar dan nonton tivi."
Sang Anak belum paham mengapa ibunya menceritakan lampu itu kepadanya. "Apa maksud Ibu?" tanyanya kemudian.
Ibu itu kembali berkata, "Anakku sayang, Allah itu sumber cahaya dalam hidup. Kita adalah lampunya. Ibadah yang kita lakukan menjadi kabel atau tali penghubungnya. Ibadah dapat menghubungkan antara Allah dengan manusia, tepatnya antara Allah dengan kita. Bila tidak mau beribadah, hidup kita akan gelap. Kita akan tersesat dan takkan berguna sedikit pun, seperti tak bergunanya lampu yang tak bercahaya."
Ibu itu melanjutkan, "Jadi, shalat, bersedekah, membaca Al-Qur'an, ataupun belajar adalah kabel yang akan menghubungkan kita dengan Allah."
Mendengar semua itu, sang anak tampak tertegun. Dalam hatinya timbul penyesalan akan sikapnya yang selalu menganggap remeh ibadah. Ia pun berkata, "Kalau begitu aku tidak akan meninggalkan shalat lagi dan akan membaca Al-Qur'an tanpa harus disuruh. Bu, maafkan saya ya!"
KotaSantri.com "SAYANG, ayo kita shalat. Tuh dengar adzan telah berbunyi," ujar seorang ibu kepada anaknya yang tengah asyik nonton televisi.
"Sebentar lagi dong, ini lagi seru-serunya," jawab sang anak.
Ibu itu kemudian mendekat, "Sayang, tidak baik menunda-nunda shalat. Ini kan haknya Allah. Ayo matikan tivinya!"
"Iya deh," jawab sang anak sambil beranjak dari tempat duduk. Ia terlihat sangat kecewa karena harus meninggalkan televisi.
Selama di kamar mandi, si anak terus menggerutu. "Ah.. Ibu, tiap hari menggangu saja. Lagi enak-enaknya nonton disuruh shalat. Lagi seneng-senengnya main disuruh shalat. Lagi nyeyak tidur disuruh shalat. Harus baca Al-Qur'an lah. Harus ikut pengajian lah. Harus ini. Harus itu! Bikin pusiiiing.
* * *
SELEPAS shalat berjamaah, anak itu bertanya dengan nada protes. "Bu, kenapa sih kita harus shalat, harus puasa, harus baca Al-Qur'an, dan harus belajar? Bukankah itu mengganggu kesenangan kita? Lagi pula, menurut saya, semua itu tidak ada gunanya, tidak mendatangkan hasil."
Si Ibu sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia pun terdiam beberapa saat. Ada sedikit kemarahan yang muncul dalam hatinya. Tapi ia segera sadar bahwa yang bertanya adalah anak kecil, yang belum tahu apa-apa selain main dan bersenang-senang.
Sang Ibu beranjak mengambil sebuah lampu yang menempel di dinding kamar anaknya. Sesaat kemudian ia berkata, "Anakku sayang, kamu lihat lampu ini. Ia begitu indah. Bentuknya lonjong dengan dindingnya terbuat dari kaca yang bening. Tiap malam engkau bisa belajar, mengerjakan PR, dan nonton televisi, salah satu sebabnya karena diterangi lampu ini."
"Sayang, tahukah kamu mengapa lampu ini bisa menyala?" lanjut si Ibu.
"Ya, karena ada energi listrik yang berubah jadi cahaya," jawab sang anak.
"Benar sekali jawabanmu. Lalu apa yang menyambungkan lampu ini dengan sumber listrik tadi?" tanya si ibu lebih lanjut. Sang anak pun menjawab dengan pasti, "Yang menyambungkan lampu dan sumber listrik adalah kabel."
"Pintar sekali kamu," timpal si Ibu memuji.
"Nah, sekarang kamu pasti tahu, bila tidak ada kabel pasti lampu ini tidak akan nyala dan kamar ini pasti gelap. Bila demikian, ia tidak akan ada manfaatnya lagi, dan kamu tidak bisa belajar dan nonton tivi."
Sang Anak belum paham mengapa ibunya menceritakan lampu itu kepadanya. "Apa maksud Ibu?" tanyanya kemudian.
Ibu itu kembali berkata, "Anakku sayang, Allah itu sumber cahaya dalam hidup. Kita adalah lampunya. Ibadah yang kita lakukan menjadi kabel atau tali penghubungnya. Ibadah dapat menghubungkan antara Allah dengan manusia, tepatnya antara Allah dengan kita. Bila tidak mau beribadah, hidup kita akan gelap. Kita akan tersesat dan takkan berguna sedikit pun, seperti tak bergunanya lampu yang tak bercahaya."
Ibu itu melanjutkan, "Jadi, shalat, bersedekah, membaca Al-Qur'an, ataupun belajar adalah kabel yang akan menghubungkan kita dengan Allah."
Mendengar semua itu, sang anak tampak tertegun. Dalam hatinya timbul penyesalan akan sikapnya yang selalu menganggap remeh ibadah. Ia pun berkata, "Kalau begitu aku tidak akan meninggalkan shalat lagi dan akan membaca Al-Qur'an tanpa harus disuruh. Bu, maafkan saya ya!"
Sebuah Impian Sederhana
KotaSantri.com - Mak Sum, veteran wanita zaman VOC, Usianya hampir menyentuh 85 tahun. Lengkung punggungnya adalah sunnatullah ketuaan yang tak terelakkan. Sumirah nama lengkapnya, meski lerlanjur lansia sirat kecantikannya tetap ada --dan karena cantik dia sempat menjadi selir inlander dan di Batavia orang-orang menyebutnya Lonte Belande. Dan kini, nasib mendamparkannya di sebuah Bedeng di kota Kembang sebagai penjual nasi uduk setiap pagi.
Untuk usia seudzur beliau, geraknya terkategori gesit. Aku mulai mengenalnya setahun lalu, saat aku menjadikan komunitas Bedeng ini sebagai bahan penelitianku. Ya Bedeng, begitulah daerah ini disebut. sebuah daerah kumuh yang komunitasnya heterogen secara asal-usul dan pekerjaan tapi homogen dalam srata "kelas akar rumput". Aku dan Mak Sum benar-benar merasa satu hati saat saling mengetahui berasal dari daerah yang sama, Wates, sebuah daerah cantik di Jogja sana. Impiannya adalah bisa pulang kembali ke Wates. Nanti, jika aku pulang dia akan ikut denganku karena segan pergi sendirian. Dibalik sikap sumringahnya tak jarang kulihat sirat kesepian dan kerinduan yang terpatahkan oleh nasib. Hidup sendiri tanpa anak dan sanak keluarga didukung oleh kemiskinan adalah aroma yang kerap menyesakkan dadanya,
"Andai saja Mak punya anak..." Gumamnya, saat musim mudik menjelang --Aku jadi merasa berdosa karena lebaran ini aku tak pulang-- hingga Mak Sum pun harus menunda kepulangannya juga sampai lebaran tahun depan.
***
Menjadi guru sukwan di Bedeng ini hanyalah cara agar aku bisa lebih dekat dengan mereka. Aku mengajari anak-anak dan kaum buta huruf membaca dan mengaji setiap sore. Dan ternyata, semakin aku mengenal mereka aku semakin khawatir pada ketidaktahuan yang mayoritas tentang bertauhid kepada Allah. Atau tentang shaum yang gegap gempitanya hanya tampak di akhir Ramadhan saja. Karena bagi mereka, malam takbiran berarti panen uang zakat. Pada dasarnya mereka mulai bisa menerima keberadaanku, tapi hanya terbatas pada penggabungan huruf-huruf dari A sampai Z atau mencoba merangkai hijaiyah dari Alif hingga Ya. Sindiran pedas akan segera singgah di telingaku jika aku berbicara tentang indahnya hidup beragama atau menyempurnakan ibadah kepada Allah. Dan pernah aku merasa kebingungan dan tersudut diruang putus asa karena itu semua.
"Nak Dyah jangan putus asa!" Hibur Mak Sum saat aku mengeluh padanya. "Orang-orang disini memang kurang pandai bermasyarakat, jadi kalau ngomong asal celetuk aja!" imbuhnya lagi dan aku hanya menanggapinya dengan senyum terpaksa. "Maklumlah, orang-orangnya tidak berpendidikan! Tidak seperti Nak Dyah" tandasnya lagi.
Berpendidikan! Sekejap aku lupa jika ini adalah medah piiihan yang kudefinisikan dengan arti sejati kebahagiaan, berbagi dengan sesama dalam kesederhanaan. Dalam sekejap aku membenarkan kata-kata Riu jika aku terlalu berani mengambil resiko sebuah jalan hidup, Aku terlalu berani untuk berdiri diatas sebuah idealisme yang baginya hanyalah Utopia dan bahkan artificial. Saat itu aku hanya menjawabnya dalam hati, aku dan Riu hanya beda posisi saja, aku tahu mengapa aku harus berani dan dia tidak. Aku punya alasan untuk mengaplikasikan idealisme dan bukan menganggapnya sebagai utopia atau sesuatu yang artificial. Riu bilang, idealismeku sesuram atmosfir sosial negeri ini. Dan kini idealisme itu sedang mengujiku, benarkah aku akan terus memegangnya sebagai sesuatu yang harus diaplikasikan.
Hujan masih begitu deras menghentak genting-genting gang kecil ini. Sesekali kudengar suara gelegar, dari balik jendela kulihat kabut-kabut dingin mulai menebal. Menjadikan hari yang beranjak malam semakin kelabu. Riuh daun-daun beradu dengan pentalan bebatuan es yang menari di lantai porselen.
"Dyah, Dyah! Ada yang cari tuh. Katanya Mak Sum sakit!" aku meloncat dari kursi plastikku mendengar nama Mak Sum disebut. Diluar kulihat tiga abang becak yang sudah menjadi kawan akrabku sedang berdiri pucat dan menggigil kedinginan.
"Mak Sum, Neng! Badannya panas dari tadi ngigau terus'" aku tahu pasti jika di Bedeng tak ada dokter atau mantri, sementara untuk ke rumah sakit jaraknya cukup jauh dan lagi aku tak punya uang lebih sejak tabunganku harus masuk meja registrasi. Terpaksa...
"Inu, Inuyasha! Tolong aku Nu!" teriakku memukul keras pintu kamar Inuyasha.
"Apaan nih?" tanya Inu yang hanya menyembulkan kepalanya gelagapan.
"Mak Sum sakit Nu, ayo tolong dia!"
"Aku belum jadi dokter neng, baru calon!" kilahnya.
"Ayo Nu, cepet" paksaku menarik lengannya "Iya...iya bentar!"
***
Aku dan Inu berjalan memasuki komunitas Bedeng yang pengap. Hingga kami harus meuntasi jalan becek selebar setengah meter. Tak lama kami menurun tangga berbatu yang dikanan kirinya bertumpukan kaleng-kaleng bekas. Kaus kakiku hitam sudah, rasa gatal mulai menjalari sela jemari kakiku. Tiba-tiba, kami mendengar suara ribut tak jauh dari situ...
"Mak Sum hanyut, Mak Sum hanyut di kali!!!" begitu bunyi suara bergemuruh itu.
"Apa! Mak Sum hanyut? Bukannya dia sakit" Tegasku pada orang-orang itu
"lya dia memang sakit dan sekarang hanyut"
"Orang sakit kenapa dibiarkan keluar, kan jadinya jatuh!"
"Mak Sum hanyut sama rumahnya neng bukan karena jatuh"
"Apa?"
Aku melihat bagian dinding rumah Mak Sum yang masih tersisa. Sambungan triplek usang yang ditambal lempengan-lempengan kaleng bekas. Rumah itu tepat di hulu kali seluas dua setengah meter. Gelodak arusnya menenggelamkan apa saja yang sanggup diseretnya seperti juga tubuh sakit Mak Sum.
Lidahku kelu, urat syarafku rasanya putus semua, Dikelopak mataku bergayut sesuatu yang semakin menghangat bendungannya. Titik hujan samaikan airmata yang mengalir di ruas tirus pipiku. Dikepalaku kini bermain siluet tubuh renta yang timbul tenggelam dipermainkan arus air juga sebuah impian sederhana untuk pulang ke Wates bersama-sama.
MQMedia.com
Untuk usia seudzur beliau, geraknya terkategori gesit. Aku mulai mengenalnya setahun lalu, saat aku menjadikan komunitas Bedeng ini sebagai bahan penelitianku. Ya Bedeng, begitulah daerah ini disebut. sebuah daerah kumuh yang komunitasnya heterogen secara asal-usul dan pekerjaan tapi homogen dalam srata "kelas akar rumput". Aku dan Mak Sum benar-benar merasa satu hati saat saling mengetahui berasal dari daerah yang sama, Wates, sebuah daerah cantik di Jogja sana. Impiannya adalah bisa pulang kembali ke Wates. Nanti, jika aku pulang dia akan ikut denganku karena segan pergi sendirian. Dibalik sikap sumringahnya tak jarang kulihat sirat kesepian dan kerinduan yang terpatahkan oleh nasib. Hidup sendiri tanpa anak dan sanak keluarga didukung oleh kemiskinan adalah aroma yang kerap menyesakkan dadanya,
"Andai saja Mak punya anak..." Gumamnya, saat musim mudik menjelang --Aku jadi merasa berdosa karena lebaran ini aku tak pulang-- hingga Mak Sum pun harus menunda kepulangannya juga sampai lebaran tahun depan.
***
Menjadi guru sukwan di Bedeng ini hanyalah cara agar aku bisa lebih dekat dengan mereka. Aku mengajari anak-anak dan kaum buta huruf membaca dan mengaji setiap sore. Dan ternyata, semakin aku mengenal mereka aku semakin khawatir pada ketidaktahuan yang mayoritas tentang bertauhid kepada Allah. Atau tentang shaum yang gegap gempitanya hanya tampak di akhir Ramadhan saja. Karena bagi mereka, malam takbiran berarti panen uang zakat. Pada dasarnya mereka mulai bisa menerima keberadaanku, tapi hanya terbatas pada penggabungan huruf-huruf dari A sampai Z atau mencoba merangkai hijaiyah dari Alif hingga Ya. Sindiran pedas akan segera singgah di telingaku jika aku berbicara tentang indahnya hidup beragama atau menyempurnakan ibadah kepada Allah. Dan pernah aku merasa kebingungan dan tersudut diruang putus asa karena itu semua.
"Nak Dyah jangan putus asa!" Hibur Mak Sum saat aku mengeluh padanya. "Orang-orang disini memang kurang pandai bermasyarakat, jadi kalau ngomong asal celetuk aja!" imbuhnya lagi dan aku hanya menanggapinya dengan senyum terpaksa. "Maklumlah, orang-orangnya tidak berpendidikan! Tidak seperti Nak Dyah" tandasnya lagi.
Berpendidikan! Sekejap aku lupa jika ini adalah medah piiihan yang kudefinisikan dengan arti sejati kebahagiaan, berbagi dengan sesama dalam kesederhanaan. Dalam sekejap aku membenarkan kata-kata Riu jika aku terlalu berani mengambil resiko sebuah jalan hidup, Aku terlalu berani untuk berdiri diatas sebuah idealisme yang baginya hanyalah Utopia dan bahkan artificial. Saat itu aku hanya menjawabnya dalam hati, aku dan Riu hanya beda posisi saja, aku tahu mengapa aku harus berani dan dia tidak. Aku punya alasan untuk mengaplikasikan idealisme dan bukan menganggapnya sebagai utopia atau sesuatu yang artificial. Riu bilang, idealismeku sesuram atmosfir sosial negeri ini. Dan kini idealisme itu sedang mengujiku, benarkah aku akan terus memegangnya sebagai sesuatu yang harus diaplikasikan.
Hujan masih begitu deras menghentak genting-genting gang kecil ini. Sesekali kudengar suara gelegar, dari balik jendela kulihat kabut-kabut dingin mulai menebal. Menjadikan hari yang beranjak malam semakin kelabu. Riuh daun-daun beradu dengan pentalan bebatuan es yang menari di lantai porselen.
"Dyah, Dyah! Ada yang cari tuh. Katanya Mak Sum sakit!" aku meloncat dari kursi plastikku mendengar nama Mak Sum disebut. Diluar kulihat tiga abang becak yang sudah menjadi kawan akrabku sedang berdiri pucat dan menggigil kedinginan.
"Mak Sum, Neng! Badannya panas dari tadi ngigau terus'" aku tahu pasti jika di Bedeng tak ada dokter atau mantri, sementara untuk ke rumah sakit jaraknya cukup jauh dan lagi aku tak punya uang lebih sejak tabunganku harus masuk meja registrasi. Terpaksa...
"Inu, Inuyasha! Tolong aku Nu!" teriakku memukul keras pintu kamar Inuyasha.
"Apaan nih?" tanya Inu yang hanya menyembulkan kepalanya gelagapan.
"Mak Sum sakit Nu, ayo tolong dia!"
"Aku belum jadi dokter neng, baru calon!" kilahnya.
"Ayo Nu, cepet" paksaku menarik lengannya "Iya...iya bentar!"
***
Aku dan Inu berjalan memasuki komunitas Bedeng yang pengap. Hingga kami harus meuntasi jalan becek selebar setengah meter. Tak lama kami menurun tangga berbatu yang dikanan kirinya bertumpukan kaleng-kaleng bekas. Kaus kakiku hitam sudah, rasa gatal mulai menjalari sela jemari kakiku. Tiba-tiba, kami mendengar suara ribut tak jauh dari situ...
"Mak Sum hanyut, Mak Sum hanyut di kali!!!" begitu bunyi suara bergemuruh itu.
"Apa! Mak Sum hanyut? Bukannya dia sakit" Tegasku pada orang-orang itu
"lya dia memang sakit dan sekarang hanyut"
"Orang sakit kenapa dibiarkan keluar, kan jadinya jatuh!"
"Mak Sum hanyut sama rumahnya neng bukan karena jatuh"
"Apa?"
Aku melihat bagian dinding rumah Mak Sum yang masih tersisa. Sambungan triplek usang yang ditambal lempengan-lempengan kaleng bekas. Rumah itu tepat di hulu kali seluas dua setengah meter. Gelodak arusnya menenggelamkan apa saja yang sanggup diseretnya seperti juga tubuh sakit Mak Sum.
Lidahku kelu, urat syarafku rasanya putus semua, Dikelopak mataku bergayut sesuatu yang semakin menghangat bendungannya. Titik hujan samaikan airmata yang mengalir di ruas tirus pipiku. Dikepalaku kini bermain siluet tubuh renta yang timbul tenggelam dipermainkan arus air juga sebuah impian sederhana untuk pulang ke Wates bersama-sama.
MQMedia.com
Allah Mengajarkan Cinta
Pernahkah hatimu merasakan kekuatan mencintai
Kamu tersenyum meski hatimu terluka karena yakin ia milikmu,
Kamu menangis kala bahagia bersama karena yakin ia cintamu
Cinta melukis bahagia, sedih, sakit hati, cemburu, berduka
Dan hatimu tetap diwarnai mencintai, itulah dalamnya cinta
Pernahkah cinta memerahkan hati membutakan mata
Kepekatannya menutup mata hatimu memabukkanmu sesaat di nirwana
Dan kau tak bisa beralih dipeluk merdunya nyanyian bahagia semu
Padahal sesungguhnya hanya kehampaan yang mengisi sisi gelap hatimu
Itulah cinta karena manusia yang dibutakan nafsunya
Cinta adalah pesan agung Allah pada umat manusia
DitulisNya ketika mencipta makhluk-makhlukNYA di atas Arsy
Cinta dengan ketulusan hati mengalahkan amarah
Menuju kepatuhan pengabdian kepada Allah dan Rasulnya
Dan saat pena cinta Allah mewarnai melukis hatimu,
satu jam bersama serasa satu menit saja
Ketika engkau memiliki cinta yang diajarkan Allah
Kekasih menjadi lentera hati menerangi jalan menuju Illahi
Membawa ketundukan tulus pengabdian kepada Allah dan RasulNya
Namun saat cinta di hatimu dikendalikan dorongan nafsu manusia
Alirannya memekatkan darahmu membutakan mata hati dari kebenaran
Saat kamu merasakan agungnya cinta yang diajarkan Allah
Kekasih menjadi pembuktian pengabdian cinta tulusmu
Memelukmu dalam ibadah menuju samudra kekal kehidupan tanpa batas
Menjadi media amaliyah dan ketundukan tulus pengabdian kepada Allah
Itulah cinta yang melukis hati mewarnai kebahagiaan hakiki
Agungnya kepatuhan cinta Allah bisa ditemukan dikehidupan alam semesta
Seperti thawafnya gugusan bintang, bulan, bumi dan matahari pada sumbunya
Tak sedetikpun bergeser dari porosnya, keharmonisan berujung pada keabadian
Keharmonisan pada keabadian melalui kekasih yang mencintai
Karena Allah adalah kekasih Zat yang abadi
Cintailah kekasihmu setulusnya maka Allah akan mencintaimu
Karena Allah mengajarkan cinta tulus dan agung
Cinta yang mengalahkan Amarah menebarkan keharmonisan
Seperti ikhlas dan tulusnya cinta Rasul mengabdi pada Illahi
Itulah cinta tertinggi menuju kebahagiaan hakiki
Kamu tersenyum meski hatimu terluka karena yakin ia milikmu,
Kamu menangis kala bahagia bersama karena yakin ia cintamu
Cinta melukis bahagia, sedih, sakit hati, cemburu, berduka
Dan hatimu tetap diwarnai mencintai, itulah dalamnya cinta
Pernahkah cinta memerahkan hati membutakan mata
Kepekatannya menutup mata hatimu memabukkanmu sesaat di nirwana
Dan kau tak bisa beralih dipeluk merdunya nyanyian bahagia semu
Padahal sesungguhnya hanya kehampaan yang mengisi sisi gelap hatimu
Itulah cinta karena manusia yang dibutakan nafsunya
Cinta adalah pesan agung Allah pada umat manusia
DitulisNya ketika mencipta makhluk-makhlukNYA di atas Arsy
Cinta dengan ketulusan hati mengalahkan amarah
Menuju kepatuhan pengabdian kepada Allah dan Rasulnya
Dan saat pena cinta Allah mewarnai melukis hatimu,
satu jam bersama serasa satu menit saja
Ketika engkau memiliki cinta yang diajarkan Allah
Kekasih menjadi lentera hati menerangi jalan menuju Illahi
Membawa ketundukan tulus pengabdian kepada Allah dan RasulNya
Namun saat cinta di hatimu dikendalikan dorongan nafsu manusia
Alirannya memekatkan darahmu membutakan mata hati dari kebenaran
Saat kamu merasakan agungnya cinta yang diajarkan Allah
Kekasih menjadi pembuktian pengabdian cinta tulusmu
Memelukmu dalam ibadah menuju samudra kekal kehidupan tanpa batas
Menjadi media amaliyah dan ketundukan tulus pengabdian kepada Allah
Itulah cinta yang melukis hati mewarnai kebahagiaan hakiki
Agungnya kepatuhan cinta Allah bisa ditemukan dikehidupan alam semesta
Seperti thawafnya gugusan bintang, bulan, bumi dan matahari pada sumbunya
Tak sedetikpun bergeser dari porosnya, keharmonisan berujung pada keabadian
Keharmonisan pada keabadian melalui kekasih yang mencintai
Karena Allah adalah kekasih Zat yang abadi
Cintailah kekasihmu setulusnya maka Allah akan mencintaimu
Karena Allah mengajarkan cinta tulus dan agung
Cinta yang mengalahkan Amarah menebarkan keharmonisan
Seperti ikhlas dan tulusnya cinta Rasul mengabdi pada Illahi
Itulah cinta tertinggi menuju kebahagiaan hakiki
Sumber: Allah Mengajarkan Cinta oleh Eko Jalu Santoso, Cibubur - Pebruari 2005. |
Langganan:
Postingan (Atom)