Senin, 21 Maret 2011

Maafkan Aku, Ayah

Sewaktu usiaku belum lima tahun, aku hampir tak pernah mengenalnya. Bukan karena usiaku yang belum bisa mengenal secara detail siapapun, tapi lebih karena pria ini hampir tidak pernah kujumpai. Kecuali sesekali di hari minggu, ia seharian penuh berada di rumah dan mengajakku bermain. Namun meski sekali, aku merasa sangat senang dengan keberadaanya.

Sejak aku mulai sekolah hingga masa remaja, aku menganggap pria ini tidak lebih dari sekedar pria tempat ibu meminta uang bulanan, juga untuk keperluan sekolahku dan adik-adikku. Tidak seperti anak-anak lainnya yang mempunyai seorang pria dewasa yang membela mereka saat berseteru dengan teman mainnya, atau setidaknya merangkul menenangkan ketika kalah berkelahi, aku tidak. Pria dewasa yang sering kujumpai di rumah itu sibuk dengan semua pekerjaannya.

Hingga aku dewasa, pria ini masih kuanggap orang asing meski sesekali ia mengajariku berbagai hal dan memberi nasihat. Sampai akhirnya, kutemukan pria ini lagi sehari, dua hari, seminggu, sebulan dan bahkan seterusnya berada di rumahku. Rambutnya sudah memutih, berdirinya tak lagi tegak, ia tak segagah dulu saat aku pertama mengenalnya, langkahnya pun mulai goyah dan lambat. Kerut-kerut diwajahnya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup yang telah dilaluinya. Bahkan suaranya pun terdengar parau menyelingi sakit yang sering dideritanya.

Kini pikiranku jauh melayang pada sayup-sayup suara ibu, sambil menyusuiku ia memperkenalkan pria ini setiap hari, “nak, ini ayah …” meski aku pun belum begitu mengerti saat itu. Bahkan menurut ibu, pria ini justru yang pertama kali menyambutku ketika pertama kalinya aku melihat dunia. Cerita ibu, karena pria ini yang mengantar, menemani ibu hingga saat persalinan. Bahkan suaranyalah yang pertama kudengar dengan lembut menerobos kedua telingaku dengan lantunan adzan dan iqomat hingga aku tetap mengenali suara panggilan Allah itu hingga kini.

Dari ibu juga aku mengetahui, bahwa ia rela kehilangan kesempatan untuk mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepadaku demi bekerja seharian penuh sejak dinginnya shubuh masih menusuk kesunyian hari saat aku masih tertidur hingga malam yang larut ketika akupun sudah terlelap. Ia tahu resiko yang harus diterimanya kelak, bahwa anak-anaknya tak akan mengenalnya, tak akan lebih mencintainya seperti mereka mencintai ibu mereka, tak akan menghormatinya karena merasa asing dan tidak akan memprioritaskan perintahnya karena hampir tak pernah dekat. Tapi kini kutahu, ia lakukan semua demi aku, anaknya.

Ibu juga pernah bercerita, pria ini selelah apapun ia tetap tersenyum dan tak pernah menolak saat aku mengajaknya bermain dan terus bermain. Ia tak pernah menghiraukan penat, peluh dan lelahnya sepulang kerja demi membuat aku tetap senang. Ia tak mengeluh harus bangun berkali-kali dimalam hari bergantian dengan ibu untuk sekedar menggantikan popok pipisku atau membuatkanku sebotol susu. Dan itu berlangsung terus selama beberapa tahun, yang untuk semua itu ia ikhlas menggadaikan rasa kantuknya. Kusadari kini, semua dilakukannya untukku. Untuk sebuah cinta yang tak pernah ia harapkan balasannya.


Seperti halnya ibu, ia juga rela ketika harus terus menggunakan kemeja usangnya untuk bekerja, atau celananya yang beberapa kali ditambal. Kata ayah seperti diceritakan ibu, uangnya lebih baik untuk membelikan aku pakaian, susu dan makanan terbaik agar aku tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Terima kasih Ayah, kutahu engkau juga tak kalah cintanya kepadaku dengan kecupan hangatmu saat hendak berangkat kerja dan juga sepulangnya ketika aku terlelap. Meski tak banyak waktu yang kau berikan untuk kita bersama, namun sedetik keberadaanmu telah mengajarkan aku bagaimana menjadi anak yang tegar, tidak cengeng dan mandiri. Kerut diwajahmu, memberi aku contoh bagaimana menghadapi kenyataan hidup yang penuh tantangan.

Maafkan aku Ayah, aku tak pernah membayangkan sedemikian besar cinta dan pengorbananmu kepadaku. Ayah tak pernah mengeluh meski cinta dan pengorbanan itu sering terbalaskan dengan bantahan dan sikap kurang hormatku. Meski kasih sayang yang kau berikan hanya berbuah penilaian salahku tentangmu.

Jangan menangis Ayah, meski kini kau nampak tua dan lelah, bahu dan punggungmu yang tak sekekar dulu lagi, bahkan nafasmu yang mulai tersengal. Ingin aku bisikkan kepadamu, “Aku mencintaimu …”

Wallahu ‘a’lam bishshowaab.

(Bayu Gautama)
 
eramuslim


Kalung Annisa

Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya.

Tapi... dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji Tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya, "Ibu,bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... "
Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp 15.000,- Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten.

"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju?" Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
"Terimakasih, Ibu" Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...

Setiap malam sebelum tidur, Ayah Anisa akan membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya, "Anisa..., Anisa sayang nggak sama Ayah?". "Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah!"
"Kalau begitu, buat Ayah saja kalung mutiaramu...". "Yah..., jangan dong Ayah! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek...! Itu kesayanganku juga"
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa!". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar Anisa.

Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi, "Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?". "Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu...". "Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.." Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan Airmata membasahi pipinya... "Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?"
Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangan-nya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya, "Kalau Ayah mau... ambillah kalung Anisa.."
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa... "Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini  tidak akan membuat lehermu menjadi hijau." Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita bahkan lebih naif dari Anisa kecil : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.


.


Kisah Tempayan Retak

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masi...ng bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya.

Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang Dari mata air ke rumah majikannya, tempayan itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, Karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannnya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, "Saya sunggh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu."
"Kenapa?" Tanya si tukang air.
"Kenapa kamu merasa malu?"
"Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacadku itu, saya telah membuatmu rugi." Kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata, "Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.

Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu. Itu karena aku selalu menyadari akan cacadmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."

Setiap dari kita memiliki cacad dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias-Nya.

Di mata Tuhan yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan Tuhan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.


myquran.comLihat Selengkapnya