Kamis, 31 Maret 2011

Hasan Bashri Pergi Haji

Diriwayatkan bahwa Hasan Bashri, seorang sufi terkenal, tersesat dalam perjalanan menuju haji. Dia menemui anak kecil dan menanyakan arah kepadanya. Ketika ia sudah menemui jalur yang harus ditempuh, anak kecil itu bertanya kepada Hasan Bashri. ''Syaikh, apa yang engkau kenakan dan makan?'' Syaikh menjawab ia memakai baju wol dan makan roti gandum untuk mengalahkan hawa syahwatnya.

Anak itu berkata kepadanya,''Makanlah dan pakailah apa yang engkau kehendaki sejauh itu halal.'' Lalu dia bertanya lagi di mana Hasan Bashri menginap. Dikatakan bahwa Hasan Bashri bermalam di gubuk yang terbuat dari kayu. ''Jangan berbuat zalim. Bermalamlah di manapun engkau kehendaki,'' tutur anak itu lagi.

''Andai engkau benar, aku akan melakukan apa yang engkau katakan.'' Anak kecil hanya tersenyum. ''Aku melihat engkau dalam keadaan lalai. Ketika aku tunjukkan tentang dunia, engkau menerimanya. Tapi ketika aku tunjukkan jalan akhirat, engkau menafikan perkataanku. Kembali ke rumahmu. Tak ada haji untukmu.''

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Menjaga Amanah

Ibrahim bin Adham pernah menjadi penjaga kebun milik orang kaya. Dia menjaga kebun tersebut dengan terus memperbanyak shalat. Satu hari, pemilik kebun meminta dipetikkan buah delima. Ibrahim mengambil dan memberinya. Tapi pemilik kebun malah memarahinya. Ia tersinggung karena diberikan buah delima yang asam rasanya.

''Apa kau tak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam?''

Ibrahim menjawab,''Aku belum pernah merasakannya.''

Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu. Pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. ''Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding engkau.''

Ibrahim menjawab,'' Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi.''

Di hari lain, majikan kembali meminta buah delima. Kali ini Ibrahim memberi yang terbaik menurut pengetahuannya. Tapi lagi-lagi pemilik kebun kecewa karena buah yang dia terima asam rasanya. Diapun memecat Ibrahim. Sufi besar itupun pergilah. Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria yang sekarat karena kelaparan. Ibrahim memberinya buah delima yang tadi ditolak majikannya.

Ibrahim lantas berjumpa lagi dengan pemilik kebun yang berniat membayar upahnya. Ibrahim berkata agar dipotong dengan buah delima yang ia berikan kepada orang sekarat yang ia jumpai. ''Apa engkau tak mencuri selain itu,'' tanya pemilik kebun. ''Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu.'' Setelah upahnya dibayar Ibrahim pun pergi.

Pemilik kebun, setahun kemudian, mendapat tukang baru. Dia kembali meminta buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling harum dan manis. Pemilik kebun itu bercerita bahwa ia pernah meiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu.

''Dia juga selalu shalat. Betapa dustanya dia,'' kata pemilik kebun.

Tukang kebun yang baru lantas berujar.''Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan singgahsananya karena zuhud.''

Pemilik kebun lantas mengambil debu dan menaburnya di atas kepalanya sembari menyesali, ''Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.''


Menikahi Wanita Ideal

Seorang teman bercerita kepada Mullah, "Wanita yang akan saya nikahi kaya, cantik, gadis, berkelakuan baik, dan pandai."

Mullah menjawab, "Aku takut Anda tidak akan memperoleh semua kualitas tersebut pada satu istri, kecuali kalau Anda akan menikahi lima wanita!"

Mengukur Panjang Dunia

Seorang teman Mullah bertanya padanya: "Mulla, berapa meterkah panjang dunia ini?"

Pada saat yang sama orang-orang mengusung petimati berisi jenazah ke kuburan.

Mullah menunjuk petimati itu dan berkata, "Tanya dia! Lihat, dia telah mengukurnya, menghitung, dan sekarang dia pergi!"

Bukan Urusanku

Keledai Nasrudin dicuri orang. Ia segera mengadu ke polisi.

"Mullah," ujar Kepala Polisi, "ini masalah serius. Kita akan berusaha keras agar keledai Tuan kembali. Di samping itu, Anda termasuk orang penting. Sekarang ceritakanlah dari mula, bagaimana hal itu bisa terjadi?"

"Karena aku tidak ada di sana, sulit bagiku untuk menceritakan urutan kejadian itu. Betul kan?" kata Nasrudin. "Di samping itu, bukan urusanku untuk mengetahui hal itu."

[dari humorsufi3]

Hadiah

Nasrudin punya sebuah kabar baik untuk sang Raja. Dan setelah dengan susah payah berusaha menghadap raja, akhirnya ia pun bisa menceritakan berita baik itu.

Raja tampak gembira mendengar cerita Nasrudin. "Pilih sendiri, hadiah apa yang kau inginkan," katanya.

"Lima puluh cambukan," kata Nasrudin.

Meskipun terheran-heran, Raja memerintahkan juga agar Nasrudin dicambuk.

Ketika cambukan sudah sampai ke yang dua puluh lima, Nasrudin berteriak: "Berhenti!"

"Sekarang," katanya, "bawa masuk temanku, dan beri ia setengah dari hadiah yang kuperoleh. Tadi aku telah bersumpah untuk memberinya setengah dari hasil yang kuperoleh karena kabar baik yang kusampaikan itu."


Sop Panas, Tangan Dingin

Seorang laki-laki yang mendengar bahwa Nasrudin adalah orang yang amat bijaksana, bertekad mengadakan perjalanan guna menemuinya. "Aku bisa mempelajari sesuatu dari orang bijaksana seperti ini," pikirnya.

"Dan, pasti ada metode-metode tertentu dalam kegilaannya. Aku sendiri pernah belajar di sekolah-sekolah metafisik. Ini akan membuatku bisa menilai dan mempelajari kegagalan orang lain."

Selanjutnya, ia mengadakan perjalanan yang amat melelahkan untuk sampai ke rumah Nasrudin yang kecil, berada di lereng sebuah bukit. Melalui jendela, laki-laki itu melihat Nasrudin sedang membungkuk di samping bara api, mencoba meniupnya ke arah tangannya yang ditekuk. Ketika kehadirannya diketahui, laki-laki ini bertanya kepada sang Mullah tentang apa yang sedang dikerjakannya.

"Menghangatkan tanganku dengan napasku," kata Nasrudin memberi tahu. Setelah itu, keduanya sama-sama diam, sehingga pencari ilmu ini mulai berpikir apakah Nasrudin bersedia membagi kebijaksanaannya.

Sekarang, istri Nasrudin ke luar membawa dua mangkuk kaldu. "Mungkin sekaranglah saatnya aku mempelajari sesuatu," kata si pencari ilmu kepada dirinya sendiri.

Dengan suara keras, ia bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan, Guru?"

"Meniup kalduku dengan napasku agar dingin," kata sang Mullah.

"Tak salah lagi, ini orang, pasti penipu," kata sang tamu kepada dirinya sendiri. "Tadi dia bilang, meniup agar panas, lalu barusan dia berkata, meniup agar dingin. Bagaimana aku bisa percaya dengan apa yang ia akan katakan kepadaku?"

Dan laki-laki itu pun pergi.

"Bagaimana pun, waktu tidak sia-sia," katanya kepada dirinya sendiri, ketika ia menuruni bukit.

"Paling tidak, aku sudah tahu bahwa Nasrudin itu bukan seorang guru."


Tangga yang Akan Dijual

Nasrudin memanjat sebuah dinding, lalu tangga yang dipakainya ditarik dan diletakkan di kebun tetangganya. Pemilik kebun ternyata memergokinya, dan bertanya apa yang sedang ia lakukan di sana.

"Aku... punya sebuah tangga yang akan kujual," ujar Nasrudin berimprovisasi.

"Dasar bodoh!" kata sang tetangga. "Kebun itu bukan tempat menjual tangga."

"Kamu yang tolol," kata Nasrudin. "Kamu belum tahu? Tangga itu bisa dijual di mana pun."

Anjing di Kakinya

Nasrudin sering berjalan-jalan di kuburan, memikirkan perihal kehidupan dan kematian. Suatu hari, ketika ia sedang asyik dengan kegiatannya itu, ia melihat seekor anjing galak sedang berada di dekat sebuah makam.

Dengan marah, diambilnya sebuah tongkat dan diusirnya anjing itu. Tapi si anjing hanya menggeram, dan sepertinya melotot akan melompat ke arahnya.

Nasrudin bukanlah orangnya yang mau begitu saja dihadapkan pada bahaya jika hal itu memang bisa dihindari. "Duduk saja di situ," katanya membujuk si anjing, "tidak apa-apa, selama engkau hanya meringkuk di kaki manusia yang telah mati itu."


Aku Percaya Engkau Benar

Suatu kali Nasrudin bertindak sebagai seorang hakim. Pada saat kasus diungkap, penuntut berbicara begitu memikat sehingga Nasrudin berteriak:"Aku percaya, engkau benar!"

Seorang petugas pengadilan membujuk Nasrudin agar bisa lebih menahan diri, karena pernyataan dari tertuduh belum lagi didengar.

Selanjutnya, Nasrudin juga begitu terpikat oleh kepandaian bicara si tertuduh sehingga ia langsung berteriak setelah orang itu menyelesaikan pernyataannya: "Aku percaya engkau benar!"

Petugas pengadilan merasa tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.

"Tuanku, tidak mungkin keduanya sama-sama benar."

"Aku percaya engkau pun benar!" kata Nasrudin.

Mengapa Unta Tak Punya Sayap

"Dari hari ke hari," kata Nasrudin kepada istrinya, "aku merasa semakin kagum akan penciptaan alam, dan segalanya yang ada di dunia ini dibuat demi kesejahteraan manusia."

Istrinya meminta Nasrudin memberi sebuah contoh.

"Misalnya saja, bahwa dengan rahmat Allah, unta-unta itu tidak punya sayap."

"Bagaimana hal itu bisa dikatakan membantu menyejahterakan kita?"

"Bayangkan! Kalau saja unta-unta itu punya sayap betapa mereka akan senang bertengger di atas rumah dan kemudian merusakkan atap, dan kemudian tidak peduli terhadap keributan yang mereka ciptakan itu."


Khotbah di Masjid

Oleh masyarakat Nasruddin diberi tugas untuk menyampaikan khotbah di masjid setiap hari Jumat. Rupanya tugas itu selalu berat baginya dan ia senantiasa mencari akal agar tidak usah berkhotbah setiap Jumat.

Pada suatu hari Jumat ia mempunyai suatu gagasan yang bagus. Ketika ia tampil di mimbar dan akan menyampaikan khotbahnya, ia berkata dengan suara keras, "Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara sudah mengetahui yang akan saya sampaikan dalam khotbah ini?"

Para jemaat itu tentu saja terkejut, menjawab, "Belum, kami belum tahu."

Dengan tenang Nasruddin berkata, "Wah, kalau Saudara belum tahu apa-apa mengenai hal yang begini penting, saya kira akan membuang-buang waktu saja bagi saya untuk berbicara mengenai itu."

Sehabis berbicara itu Nasruddin turun dari mimbar dan tidak jadi memberi khotbah.

Hari Jumat berikutnya ia tampil lagi di mimbar dan menyodorkan pertanyaan yang sama seperti pekan sebelumnya.

"Apakah Saudara-saudara tahu mengenai hal yang akan saya bicarakan hari ini?"

Kali ini para jemaat berpikir dan mereka ingat apa yang terjadi seminggu sebelumnya, jadi secara serentak mereka menjawab, "Kami sudah tahu."

Nasruddin pun berkata kepada mereka. "Lha, kalau semua sudah tahu apa yang akan saya sampaikan, saya kira akan membuang-buang waktu saja kalau saya memberi khotbah di sini sekarang."

Dan seperti juga minggu yang sebelumnya, kemudian ia turun mimbar tanpa memberikan khotbah.

Pada hari Jumat ketiga, Nasruddin kembali lagi di mimbar dengan pertanyaan yang sama. "Apakah Saudara-saudara tahu apa yang akan saya sampaikan?"

Kali ini para jemaat agak bingung, ada yang menjawab "Ya" dan ada yang menjawab "Tidak".

"Baiklah," kata Nasruddin. "Beberapa di antara Saudara-saudara tahu apa yang akan saya sampaikan, yang lain tidak tahu, jadi lebih baik yang tidak tahu itu bertanya kepada yang tahu."

Sehabis berbicara itu ia pun turun dari mimbar tanpa memberi khotbah sama sekali.

humor sufi II

Masalahnya Bertambah Sulit

Ketika Nasrudin menjadi hakim, seseorang datang dan berkata kepadanya, ''Lembu Anda telah menanduk perut sapiku hingga mati.''

Nasrudin menoleh sebentar dan menjawab, ''Ya, namun pemiliknya tidak dapat ikut campur. Itu urusan binatang dengan binatang.''

Lalu pria itu berkata, ''Maaf tuan, saya salah bicara, maksudku, maksudku, lembu sayalah yang menanduk perut sapi Anda hingga mati.''

Nasrudin terlihat sangat terkejut. ''Oh, kalau begitu, masalahnya bertambah sulit. Coba ambilkan buku yang bersampul kulit warna hitam di rak itu, aku akan mempelajarinya dulu.''

Kemana Larinya Daging Itu?

Suatu hari, Nasrudin membeli tiga potong daging. Setelah menaruhnya di rumah, ia kemudian pergi bekerja. Melihat daging di dapur, istri Nasrudin segera mengundang teman-temannya dan menghadirkan daging yang baru dibeli itu.

Pada sore harinya, saat Nasrudin pulang, ia menyuruh istrinya untuk segera menyiapkan makan malam untuknya. Sang istri hanya menyuguhkan roti dan air putih. Daging? Sudah habis disantapnya bersama teman-temannya.

Melihat menu makan malamnya itu, Nasrudin berkata pada istrinya, ''Jika kamu tidak memiliki cukup waktu untuk memasaknya, mengapa tidak kamu letakkan saja beberapa potong kecil daging itu di atas roti ini, sehingga bertambah lezat? Dengan begitu, tentu aku akan menyantapnya dengan lebih nikmat.''

Istrinya menjawab, ''Ada sesuatu yang menghalang-halangiku untuk memasaknya. Ketika aku sedang sibuk, tiba-tiba binatang peliharaan kesayanganmu itu mengambilnya. Tadi aku masuk ke dapur dan aku melihatnya sedang mengusap-usap mulutnya. Daging itu ternyata telah habis dimakan oleh kucing kesayanganmu itu.''

Maka, Nasrudin memandangi kucingnya, kemudian dia berdiri dan segera mengambil sebuah timbangan. Dia lalu mengangkat kucing itu dan menimbangnya. Ternyata berat kucing itu hanya tiga kilogram, persis sama seperti sebelumnya.

Nasrudin kemudian berkata pada istrinya, ''Hai wanita kurang iman, jika yang kutimbang ini adalah daging, lalu kemanakah kucing itu? Namun jika yang kutimbang ini adalah kucing kesayanganku, lalu kemanakah larinya daging itu?

Melihat Gajah

Adalah seekor gajah di rumah yang gelap. Beberapa orang Hindu membawanya untuk dipertunjukkan. Karena melihat dengan mata tak mungkin, setiap orang meraba dengan tangannya. Mereka lantas mendefinisikan gajah itu berdasar perabaannya saja.

Tangan yang seorang menyentuh belalainya. Ia berkata, ''Mahluk ini seperti pipa air.''

Yang lain meraba telinganya. Baginya gajah seperti kipas yang lebar. Yang lain memegang kakinya dan ia berkata, ''Aku dapati bentuk gajah seperti sebuah tiang.''

Yang lain meletakkan tangannya di punggungnya dan ia berkata, ''Sesungguhnya gajah ini menyerupai singgahsana.''

Setelah masing-masing memasang lilin di tangannya, perbedaan pun akan lenyap dari kata-kata mereka. Semua benar namun hanya sepotong-sepotong. Untuk melihat kebenaran, kita harus mempelajari banyak hal dan menyeluruh.

Engkau Adalah Aku

Seorang pria pergi ke rumah kekasihnya. Ia datang dan mengetuk pintu rumah perempuan yang dicintainya. ''Siapa itu?'' tanya sang kekasih.

Ia menjawab,''Aku.''

''Pergilah,'' kata sang kekasih lagi. Ini terlalu cepat; padahal di mejaku tak tersedia tempat buat yang masih mentah.

Betapa yang mentah kan dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat melepaskannya dari kemunafikan?

Dengan sangat kecewa, pria itu meninggalkan rumah kekasihnya. Selama satu tahun, api perpisahan membakar hatinya. Kemudian ia datang lagi dan melangkah menuju rumah kekasihnya.

Ia mengetuk pintu dan seratus harapan dan kecemasan, kalau-kalau dari bibirnya terlontar kata-kata yang tak berkenan.

''Siapa itu,'' tanya sang kekasih dari balik pintu. Pria itu menjawab,'' Engkau, wahai pesona segala hati.''

''Kini masuklah,'' kata sang kekasih. ''Karena Engkau adalah Aku. Di rumah ini tak ada tempat untuk dua Aku.''


Di Istana Sultan Demak

Konon, Nasruddin pernah berkunjung ke Tanah Jawa. Itu terjadi ketika ia masih muda dan penuh jiwa petualangan. Ketika itu ia ikut sebuah kapal dagang yang berlayar ke Timur Jauh, dan dalam perjalanan pulang ke Turki, kapal itu kebetulan mampir di sebuah bandar di pesisir utara Jawa.

Pada zaman itu, kehebatan Sultan Demak sudah didengarnya, karena itu kesempatan tersebut dipergunakan sebaik-baiknya untuk berkenalan langsung dengan Sultan.

Nasruddin mendapat keterangan bahwa Sultan tidak berkeberatan menerimanya, sebab ia pun ingin berkenalan dengan pemuda Turki yang terkenal cerdas itu.

Sebelum menghadap, Nasruddin mendapat keterangan terinci mengenai tata tertib keraton Jawa. Antara lain dikatakan oleh pegawai istana, "Nasruddin, kau harus selalu menyembah setiap kali berbicara dengan Sultan!" Lalu ia pun diajar bagaimana melakukan sembah.

Di depan Sultan, Nasruddin duduk bersila dengan tertib. "Kau yang bernama Nasruddin?" tanya Sultan.

"Benar, Yang Mulia," jawab Nasruddin sambil menyembah.

"Kau tinggal dimana?"

"Di Akshehir, Yang Mulia," jawabnya terus tetap menyembah tertib.

"Dekat Masjid Agung?" tanya Sultan.

Nasruddin ingin menunjukkan lokasi masjid di kotanya itu, tetapi ia ingat bahwa harus tetap menyembah kalau berbicara dengan Sultan; jadi ia menunjuk dengan kaki kanannya sambil berkata, "Masjid di sebelah sini, Yang Mulia."

"Dekat pasar?" tanya Sultan lagi.

"Pasar di sebelah sini, Yang Mulia," sambil berkata itu Nasruddin menunjuk dengan kaki kirinya, jadi sekarang kedua kakinya mekangkang.

"Dekat kelurahan?" tanya Sultan.

Nasruddin mulai bingung, ia harus menunjukkan tempat tetapi kedua tangannya untuk menyembah. Akhirnya tangannya yang kanan tetap nempel di hidung, yang sebelah kiri menunjuk, "Kelurahan di sebelah situ, Yang Mulia."

"Lantas, rumahmu sebelah mana?"

Tak ada lagi anggota badannya yang bisa dipakai untuk menunjukkan lokasi rumahnya. Akhirnya dikatakannya, "Rumah hamba di sebelah sana, Yang Mulia," dan sambil berkata itu ia meludah, tepat jatuh di hadapan Sultan.

Bosan terhadap Guru

Sekelompok anak sekolah yang sudah jenuh dengan guru mereka memutuskan untuk melepaskan diri darinya sejenak.

Salah seorang di antara mereka, yang lebih arif daripada yang lainnya, berkata "Aku akan masuk ke dalam kelas untuk mengatakan kepada guru: "Mengapa Bapak kelihatan begitu pucat?"

Lalu Hasan masuk ke dalam kelas dan bertanya kepada guru itu apakah dia sedang tidak enak badan. Lalu Asad, Karim, satu persatu, semuanya berkomentar sama."

Anak-anak itu melakukan apa yang sudah mereka rencanakan. Mulanya sang guru tidak begitu memperhatikan, tetapi lama lama dia menjadi yakin kalau dirinya benar-benar sakit. Dia merasa sakit hati kepada istrinya karena tidak memedulikan keadaan dirinya:

"Tadi pagi istriku bahkan tidak menanyakan kepadaku apa yang sedang kurasakan dan apakah aku sebaiknya tinggal di rumah saja, tidak usah mengajar. Barangkali dia berharap aku mati saja."

[humorsufi : M Farzan]

Syair yang Jelek

Amir kota membacakan sebuah syair yang digubahnya dan meminta pendapat Bahlul.

"Aku tidak menyukainya," sahut Bahlul.

Amir pun marah dan memerintahkan agar Bahlul dijebloskan ke dalam penjara.

Minggu berikutnya si amir memanggil Bahlul dan membacakan lagi di hadapannya syairnya yang lain.

"Bagaimana dengan yang ini?" tanyanya.

Bahlul segera bangkit berdiri.

"Hendak ke mana kamu?" tanya si amir.

"Ke penjara," jawab Bahlul.


Hantam Kepalamu

Seorang lelaki datang kepada seorang syekh sufi dan berkata:

"Aku capek jadi seorang zahid, dan keduniawian membuatku dingin. Apa yang harus kulakukan?"

Sufi itu menjawab: "Hantam kepalamu dengan batu karang."

Cermin

Di tepi jalan seorang tolol menemukan sebuah cermin. Dia memungutnya, melihat ke cermin, dan tampak olehnya bayangannya. Segera ia meletakkan cermin itu lagi, seraya berkata, "Maaf, aku tidak tahu kalau itu milikmu."

Tawakal Nabi Musa

Diceritakan Nabi Musa mengadukan sakit giginya kepada Allah SWT. Allah berfirman kepadanya,'' Ambillah rumput falani dan letakkan di gigimu yang sakit.''

Musa melakukannya dan seketika sakit giginya hilang. Beberapa saat kemudian, ia merasakan giginya kembali sakit. Ia langsung mengambil rumput falani dan meletakkannya sebagaimana pertama kali.

Bukannya sembuh, sakit giginya justru bertambah parah. Musa kembali memohon pertolongan Allah SWT. ''Ya Allah, bukankah Engkau telah menyuruh dan menunjukkan kepadaku tentangnya.''

Allah berfirman,''Wahai Musa, Aku adalah yang menyembuhkan dan menyehatkan. Aku adalah yang memberikan bahaya dan manfaat. Pada waktu pertama, engkau melakukannya karena Aku, sehingga kuhilangkan penyakitmu. Sedangkan sekarang engkau melakukannya bukan karena Aku, melainkan rumput itu.''

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Kisah Umar bin Abdul Aziz

Dikisahkan, istri Umar bin Abdul Aziz memiliki seorang budak perempuan yang sangat cantik. Umar amat menyukainya. Dia berkali-kali meminta budak itu kepada istrinya. Namun izin tak juga diperoleh.

Ketika menjadi khalifah, istri Umar mendandani budak perempuan hingga sangat cantik dan tak bisa dikenali. Budak itu dikirimkan kepada Umar bin Abul Aziz. ''Ia kuberikan kepadamu untuk melayanimu, Wahai Amirul Mukminin.''

Umar lantas bertanya,''Dari mana engkau mendapatkannya?''

''Aku memperolehnya dari ayahku, Abdul Malik,'' kata istrinya.

Umar lantas menyelidiki asal kepemilikan budak itu. Ia membayar stafnya untuk memeriksa asal-usul budak perempuan nan jelita tersebut. Ia telah mendapat hasil yang meyakinkan. Semua ridha yang berhubungan dengan ridha akan budak itu. Umar sangat menginginkannya. Di hadapan budak itu, Umar berkata, ''Engkau kubebaskan karena Allah.''

Si budak bertanya kepada Umar,'' Mengapa, Wahai Amirul Mukminin. Bukankah Engkau telah melenyapkan kesyubhatanku.''

Umar menjawab,''Bila aku melakukan hal demikian, aku bukan termasuk orang yang menahan keinginan dan hawa nafsu.''

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Penggembala Domba

Abdullah bin Dinar bercerita bahwa satu kali Khalifah Umar tengah berjalan. Mereka menjumpai seorang anak kecil yang sedang menggembala domba. Umar berkata padanya, ''Juallah seekor domba kepadaku.''

Anak lelaki itu menjawab,''Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku.''

Untuk mengujinya, Umar berkata lagi,''Engkau kan bisa katakan kepadanya bahwa seekor srigala telah menerkam seekor domba. Tuanmu tak akan tahu.''

''Dia memang tak akan tahu. Tapi Allah mengetahuinya,'' kata anak itu lagi.

Mendengar jawaban tersebut, Umar menangis. Dia mengikuti anak itu untuk membebaskannya dari tuannya. ''Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia dan bebas pula di akhirat,'' kata Umar kepada anak gembala itu.

(dikutip dari cerita Al Ghazali)

Burung Bersabar

Dikisahkan pada zaman Nabi Sulaiman AS, hidup seekor burung yang bersuara merdu dan memiliki bulu yang indah. Tertarik dengan suara dan keindahan bulunya, seorang lelaki membeli burung tersebut dengan harga seribu dinar. Beberapa burung lain hinggap di atas sarang burung itu dan berkicau sebentar sebelum terbang. Setelah kedatangan burung-burung itu, burung dengan suara indah malah terdiam. Tak terdengar lagi kicaunya yang merdu.

Pemilik burung itu lantas mengadukan masalahnya kepada Nabi Sulaiman. Beliau bertanya kepada burung itu. ''Pemilikmu punya hak darimu. Dia telah membelimu dengan harga sangat mahal. Lantas mengapa engkau membisu?''

Burung itu menjawab, ''Wahai Nabi Allah, aku berkicau karena sedih dan rindu dengan pasanganku. Aku ingin lepas dari sangkar. Kemudian datang teman-temanku yang memintaku bersabar. Temanku itu bilang, keras kepala hanya akan mendatangkan kesusahan. Lagi pula lelaki itu membeli aku hanya karena cintanya pada suaraku. Maka aku memilih diam.'' Mendengar penjelasan si burung, Nabi Sulaiman membebaskan burung itu setelah membayar kepada pemiliknya.

(dikutip dari Hikayat Sufi)

Ada Cara Lain

Seseorang yang sudah mempelajari banyak ilmu metafisik di berbagai perguruan, datang kepada Nasrudin. Untuk menunjukkan ia murid yang baik, maka diungkapkan secara detail tempat-tempat di mana ia belajar, dan apa saja yang sudah ia pelajari.

"Saya harap, Mullah akan menerima saya, atau, paling tidak, menceritakan tentang ide-ide Mullah," katanya, "karena saya sudah begitu banyak menghabiskan waktu dalam mempelajari ilmu ini."

"Aku mengerti maksudmu," kata Nasrudin, "engkau telah mempelajari guru-guru dan ajaran mereka. Tapi mestinya guru-guru dan ajaran-ajaran itulah yang harus mengajarimu. Nah, dari sana, kita baru akan memperoleh sesuatu yang bermanfaat."

Rabu, 30 Maret 2011

Yang Kurindu

Kurindukan………
Sekuntum mawar dalam sebuah harapan
Mekar di pagi hari menyambut datangnya mentari
Semerbak sepanjang hari tuk meramaikan suasana taman hati
Tak layu di malam hari bersama purnama yang menerangi bumi

Kurindukan………
Sekuntum mawar dalam genggaman
Kelopaknya bukan gemerlap materi tapi kasih sayang Ilahi
Mahkotanya bukan kilauan intan permata tapi cahaya pekerti
Duri-durinya bukan kesombongan tapi pembenteng diri

Kurindukan………
Sekuntum mawar dalam keindahan
Dalam kemuliaan abadi
Dalam kesucian kasih Ilahi
Dalam kemurnian cinta hakiki

Kurindukan…………
Sekuntum mawar dalam keinginan
Sebagai teman sepanjang zaman

Kurindukan……..
Sekuntum mawar dalam lantunan do'a
Kelak kan hadir di depan mata



PujanggA

Yang Berharga Yang Terlupa

Detik demi detik dari masa yang berlalu
akan terus berganti waktu
Kisah demi kisah yang telah pergi
akan tetap hilang dan tak kan kembali

Matahari yang ada di siang ini
esok kan berbeda tak terulang lagi
Rembulan yang ada di malam hari
esok pun kan berganti

Saat ada akan terlupa
ketika berlalu datanglah rindu

Tiada sadar jiwa-jiwa yang alpa
tentang nilai dan harga
ketika segalanya hadir di depan mata

Tersadarlah jiwa-jiwa yang merugi
dengan penyesalan diri
ketika segalanya hilang pergi

Nilai dan harga yang terlupa
harus ditebus saat telah sirna
dengan penyesalan dan harapan sia-sia
bilakah kembali terulang di depan mata



PujanggA

Tetapkanlah


Bagai nyiur tertiup angin
bergerak tanpa kepastian
begitulah hatiku
ketika selalu mengikuti arus kehidupan
kemana saja ingin membawa

Kumencoba
melawan
menentang
namun tak kuasa

Tetapkan.....
tetapkanlah hatiku

Kuatkan .....
kuatkanlah jiwaku



PujanggA

Terlena

Kubernyanyi
Kumenari
Lalu terelena

Kuberdendang
Kutertawa
Lalu lalai dan lupa

Kuberjalan
Kuberlari
Lalu berhenti tanpa tujuan pasti

Kubersedih
Kumenangis
Lalu meneteskan air mata tanpa arti

Kuterdiam
Membekukan diri
Entah berbuat apa lagi

Kupergi
Lalu kembali
Entah kapan tersadar

Bilakah kumelangkah
Berkelana jauh
Dan tak kan pernah kembali


PujanggA

Terkadang

Terkadang kuinginkan
yang hilang
kan terulang

Terkadang kumau
yang pergi
tuk kembali

Terkadang kuberharap
yang duka
sirna selamanya

Terkadang kubercita
dalam hampa
tanpa kerja

Terkadang kusesali
yang terjadi
menimpa diri

Terkadang kuramaikan suasana
dengan canda tawa
penghapus lara

Terkadang kusunyikan suasana
dalam kebersamaan
dengan kesendirian

Terkadang kutergoda
dan terlena
dalam tipu daya

Terkadang kutancapkan cita
agar berbunga
namun tak kuasa


PujanggA

Tak Berbekas

Kulihat apa yangg tersurat
seraya mencoba mengerti apa yang tersirat
keagungannya

Tetapi ......
Mulutku telah mencaci
Kaki tanganku terus menodai
kesuciannya

Tetapi ......
Yang kudengar masih kulanggar
Yang kufahami tak kujalani
darinya

Tetapi ......
Semuanya tak berbekas
dalam gerak hidupku bersama desah nafasku
dalam aliran darahku yang mengiringi denyut nadiku

Kulihat apa yangg tersurat
seraya mencoba mengerti apa yang tersirat
tanpa kehadirannya


PujanggA

Senandung

Senandung telah bersua
merangkai kata-kata dalam berita
yang terbawa entah dari mana
tanpa sadar akibat dan derita

Tiada lagi yang terkekang
mengoyak semua tirai penghalang
seiring angin bertiup kian kencang
senandung pun terus berkumandang

Tanpa ragu tanpa malu
menghina yang jauh di setiap penjuru
membusungkan dada sekan tiada cela

Kelana senandung tanpa hati
menutupi kehinaan diri
yang bersembunyi di balik bait-bait syairnya



PujanggA

Semerbak Tanpa Batas

Semerbak tumbuh mewangi
Seribu mahkota di taman pekerti
Mengiringi langkah-langkah angin yang  bertiup di bumi
Harumi setiap penjuru yang disusuri

Tiadalah sendiri dalam sepi
Segala keindahan mengundang hati
Memikat mata dengan pesona hakiki
Yang berhias kemuliaan tiada tara
Kehadirannya serikan semesta
Agung setiap masa



PujanggA

Sahabat

Sahabatku adalah tetesan embun pagi
yang jatuh membasahi kegersangan hati
hingga mampu menyuburkan seluruh taman sanubari
dalam kesejukan

Sahabatku adalah bintang gemintang malam di angkasa raya
yang menemani kesendirian rembulan yang berduka
hingga mampu menerangi gulita semesta
dalam kebersamaan

Sahabatku adalah pohon rindang dengan seribu dahan
yang memayungi dari terik matahari yang tak tertahankan
hingga mampu memberikan keteduhan
dalam kedamaian

Wahai angin pengembara
kabarkanlah kepadaku tentang dirinya

Sahabatku adalah kumpulan mata air dari telaga suci
yang jernih mengalir tiada henti
hingga mampu menghapuskan rasa dahaga diri
dalam kesegaran

Sahabatku adalah derasnya hujan yang turun
yang menyirami setiap jengkal bumi yang berdebu menahun
hingga mampu membersihkan mahkota bunga dan dedaun
dalam kesucian

Sahabatku adalah untaian intan permata
yang berkilau indah sebagai anugerah tiada tara
hingga mampu menebar pesona jiwa
dalam keindahan

Wahai burung duta suara
ceritakanlah kepadaku tentang kehadirannya
 


PujanggA

Raih Cita Bersama Mentari

Langit senja mulai temaram
siang berakhir digantikan malam
dengan segala hiasannya
di angkasa
menerangi bumi

Keping kenangan di masa lalu
dari sebuah kegagalan berakhir kekecewaan
bukanlah benih putus asa
di esok dan lusa
bersama mentari baru

Rembulan berkawan bintang
hapuskan keraguan
dari sebuah asa pengharapan

Bergema do'a
jalan terbuka
tergapai segala cita


PujanggA

Pengakuan

Rinduku kekasih
Tumbuh bersemi dalam kehampaan
Pupus dan gersang
Hanyut dan hilang
Di sungai tanpa sekumpulan mata air
Terbang dan melayang
Di bumi terhampar tanpa denyut kehidupan

Cintaku kekasih
Tak sebening tetes embun pagi di ujung dedaunan
Hanya bagai kabut putih di pegunungan
Yang datang dan kembali pergi
Hilang diterpa pancaran sinar matahari

Ketulusanku kekasih
Yang kusampaikan di dalam setumpuk bingkisan
Disinggahi seribu pamrih
Yang berakar dan terus berbunga

Mawar di Pagi Hari

Duhai mawar
kuntummu telah mekar
ketika menyambut kehadiran sang fajar
rupa menawan menebar keharuman
indah mempesona

Duhai mawar
kuntummu telah mekar
ketika sang surya memnampakkan diri tuk mengawali hari
mengharum semerbak di seluruh taman
damailah rasa

Duhai mawar
akankah kuntummu tetap mekar
ketika rasa ini mngehendaki di esok hari
ingin mencium keharumanmu lagi
segarlah sepanjang masa

PujanggA

Kebekuan

Di sini.....
Kusaksikan pergantian masa
Surya tenggelam mengundang rembulan
Sahutan ayam terdengar memanggil fajar
Telah mengambil bagian diriku

Di sini.....
Kumengenang hari-hari yang telah berlalu
Membawaku dalam kebekuan jiwa
Di dalam dunia lamunan
Yang terus menyelimuti di setiap waktuku

Di sini.....
Kusaksikan taman mulai berbunga
Kuntum-kuntumnya mulai mekar menebar keharuman
Pepohonannya mulai rindang dan berbuah di setiap cabang

Di sini.....
Aku hanya diam membeku
Tak mampu berbunga dan berbuah
Dalam kebekuan jiwa
Di setiap waktuku


PujanggA

Hati Tak Bertuan

Ayunan kaki melangkah tanpa tujuan
Menyusuri jalan tanpa kepastian
Berlari
Berhenti
Tak menentu

Mata-mata yang hampir buta
Memandang suram
Terbuka
Terpejam
Meski tak mengerti

Lidah-lidah yang hampir kaku
Berkata tanpa ragu
Berucap
Terdiam
Seakan tahu segalanya

Telinga-telinga yang hampir tuli
Mendengar tiap hari
Segala suara
Tanpa batas
Namun tak berbekas

Langkah-langkah tanpa tujuan
Mata-mata yang memandang kegelapan
Lidah-lidah yang beruap tanpa perasaan
Telinga-telinga yang mendengar dalam ketulian
Dari hati  tak bertuan


PujanggA

Genderang

Dari benih yang terlahir
keserakahan itu pun hadir
menyelimuti dunia yang memang sudah renta
hingga tak mampu lagi membendung dan mencegah
penindasan kepada yang lemah

Di setiap detik terus bergema
jerit kematian
tangis pedih kehilangan

Di setiap detik terus mengalir
tetesan air mata
darah mereka yang tak berdosa

Di setiap detik terlihat
tubuh-tubuh tergeletak
tak bernyawa tak bergerak

Nafsu bahimiyah
tak tercegah



PujanggA

Duri dalam Diri

Sengaja tanpa sengaja
kulukai
kusakiti
kumencaci
orang dan diri
melupakan
melupakan diri dari karuania Ilahi

Dengan segala tipu daya
menutupi kebusukan jiwa
diri dalam nista
bersama dosa
kuterhina
dan tercela
oleh orang dan diri

Kutersesat
dalam malam pekat
melangkah dalam gulita
gelap tak berksudahan

Kuberjalan
saat terlena
kulakukan
yang kusalahkan

Belenggu hati
dalam mimpi
yang tak terbangunkan
 
 
PujanggA
   

Dari dalam Dirimu

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
lukislah sebuah senyuman di bibirmu
karena itu indah
bak mentari pagi yang memberikan keceriaan hari
laksana langit senja yang pamit menghdirkan ketenangan angkasa dengan bulan dan gemintang
bagi yang memandang

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
rangkailah kata bijak di setiap kalimatmu
karena itu indah
seperti nyanyian burung yang berterbangan di sela dahan
bagaikan kidung serangga pengisi taman malam
bagi yang mendengar

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
eratkanlah sesama di hatimu
karena itu indah
bak tali pemersatu
laksana titian penghubung
bagi sebuah ukhuwah

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
bacalah bentangan semesta raya
karena itu indah
ketika deru ombak berpadu dengan awan berarak
di saat alam bersatu dari kemajemukan raga
bagi yang berpikir

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
satukanlah niat dan kata dalam nyata
karena itu indah
bila lisan sejalan hati
jika hati seiring perbuatan
bagi yang merasa
 
 
PujanggA
   

Bumi pun Bicara

Bila tiba masanya
bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berlari
ke dalam perutku engkau kembali

Di atasku engkau berjalan dalam kesenangan
di perutku engkau jatuh dalam kesusahan

Di punggungku engkau tertawa
di perutku engkau berduka

Di atasku engkau makan yang diharamkan
di perutku engkau menjadi santapan

Bila tiba waktunya
bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan
di perutku engkau dihinakan

Di atasku engkau dalam kebersamaan
di perutku engkau dalam kesendirian

Di punggungku engkau bermandikan cahaya
di perutku engkau dalam gulita

Di atasku engkau durhaka
di dalam perutku engkau tersiksa
 
 
PujanggA
   

Cinta Menurut Pandangan Islam (artikel dari Malaysia)

Muqaddimah

“..Ya Allah Engkau Tuhanku.. Tiada tuhan melainkan Engkau.. Engkau cinta agungku.. Nabi Muhammad pesuruhMu..”

Bait-bait nasyid kumpulan Quturunnada di atas sering mengingatkan kita kepada hakikat cinta yang sebenar. Bagi saya sendiri, makna serta irama yang dibawa oleh Qutrunnada ini benar-benar menyentuh jiwa apatah lagi di tengah-tengah kemarakan irama nasyid ala-KRU yang mewarnai dunia nasyid pada masa sekarang.

Berbicara mengenai cinta, tentunya tidak akan lepas dari perbincangan kita tentang cinta monyet yang menghiasai dunia muda-mudi sekarang ini. Malah, tidak keterlaluan untuk dinyatakan, itulah pespektif masyarakat terhadap cinta. Padahal cinta seperti inilah yang sering mendorong pelakunya ke arah melakukan maksiat kepada Allah SWT. Sekotor itukah cinta?

Apakah cinta itu sebenarnya? Cinta sebenarnya merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari fitrah manusia. Tanpa nilai cinta yang berdefinisi sebagai cetusan rasa dari orbit naluri ke arah mengenali satu objek dengan penghayatan hakikat dan kewujudannya akan membantutkan tumbesar manusia[sic!].

Kesenian cinta yang didasari runtutan fitrah tanpa dikotori oleh hawa syahwat merupakan lambang kedamaian, keamanan dan ketenangan. Namun cinta seringkali diperalatkan untuk melangsai keghairahan nafsu dan kebejatan iblis laknatullah. Demi kemakmuran manusia sejagat, kita mesti menangani fenomena cinta dengan nilai fikrah yang suci dan iman yang komited kepada Allah. Permasalahan cinta antara yang dihadapi secara serius oleh umat Islam hari ini. Pergesekan antara cinta hakiki dan cinta palsu menyebabkan umat Islam menghadapi dilema perasaan yang kronik. Krisis cinta palsu telah memapah umat Islam ke medan pergesekan yang memusnahkan etika spritual dan membunuh solidariti serta menodai sosial.

Individu mukmin sewajarnya peka terhadap kehadiran cinta di dalam jiwa. Cinta yang berdasarkan nafsu dan syahwat semata-mata hanyalah cinta palsu yang penuh jijik dan dihina. Menyadari hakikat ini, saya mencuba untuk mengberanikan diri bercerita soal cinta secara ringkas menurut pandangan Islam. Apatah lagi dalam suasana masyarakat remaja khususnya tertipu dengan propaganda 14 Februari yang kononnya ialah hari Kekasih (Indonesia: hari kasih sayang. ed). Maka sibuklah dunia berbicara soal cinta yang lebih menjurus kepada cinta karut-marut yang bertemakan mainan perasaan yang sama sekali terseleweng dari kehendak Islam.

Semoga Allah memberikan ganjaran terhadap usaha yang kecil ini dalam membersihkan jiwa pemuda-pemuda dari sebarang permainan perasaan yang hanya akan menyesatkan fikiran. Apakah Kedudukan Cinta Di Dalam Islam? Adakah Islam memusuhi cinta? Adakah sebegini kejam sebuah agama yang disifatkan menepati fitrah? Sebenarnya tidak. Malah Islam memandang tinggi persoalan cinta yang tentunya merupakan perasaan dan fitrah yang menjiwai naluri setiap manusia. Namun, cinta di dalam Islam perlulah melalui pelbagai peringkat keutamaannya yang tersendiri :

1. Cinta kepada Allah
Islam meletakkan cinta yang tertinggi dalam kehiudupan manusia ialah cinta kepada Allah. Ketinggian nilai taqarrub Al-Abid kepada Khaliq dapat dilihat melalui cinta murni mereka kepada Pencipta. Tanpa cinta kepada Allah perlakuan hamba tidak memberi balasan yang bererti sedangkan apa yang menjadi pondasi dalam Islam ialah mengenali dan menyintai Allah.

Sinaran cinta itu jua yang akan mendorong hamba bertindak ikhlas di mihrab pengabdian diri kepada Allah serta menghasilkan cahaya iman yang mantap. Firman Allah SWT :

“..(Walaupun demikian), ada juga di antara manusia yang mengambil selain dari Allah (untuk menjadi) sekutu-sekutu (Allah), mereka mencintainya, (memuja dan mentaatinya) sebagaimana mereka mencintai Allah; sedang orang-orang yang beriman itu lebih cinta (taat) kepada Allah...” (Surah Al-Baqarah ayat : 165)

Memiliki cinta Allah seharusnya menjadi kebanggaan individu mukmin lantaran keagungan nilai dan ketulusan ihsan-Nya.Namun menjadi suatu kesukaran untuk meraih cinta Allah tanpa pengabdian yang menjurus tepat kepada-Nya. Cinta Allah umpama satu anugerah yang tertinggi dan tidak mungkin siapa pun dapat memilikinya kecuali didahulukan dengan pengorbanan yang mahal. Cinta Allah adalah syarat yang utama untuk meletakkan diri di dalam barisan pejuang-pejuang kalimah Allah SWT. Firman Allah SWT (yang bermaksud) :

“..Wahai orang-orang yang beriman! Sesiapa di antara kamu berpaling tadah dari ugamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Ia kasihkan mereka dan mereka juga kasihkan Dia; mereka pula bersifat lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan berlaku tegas gagah terhadap orang-orang kafir...” (Surah Al-Maidah, ayat 54)


2. Cinta Kepada Rasulullah SAW dan para anbiya’
Apabila manusia berada di dalam kegelapan yang begitu kelam, maka diutuskan pembawa obor yang begitu terang untuk disuluhkan kepada manusia ke arah jalan kebenaran. Sayang, pembawa obor tersebut terpaksa begelumang dengan lumpur yang begitu tebal dan menahan cacian yang tidak sedikit untuk melaksanakan tugas yang begitu mulia.

Pembawa obor tersebut ialah Rasulullah SAW. Maka adalah menjadi satu kewajipan kepada setiap yang mengaku dirinya sebagai muslim memberikan cintanya kepada Rasulullah dan para ambiya’. Kerana kecintaan inilah, para sahabat sanggup bergadai nyawa menjadikan tubuh masing-masing sebagai perisai demi mempertahankan Rasulullah SAW. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebut :

Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Tiga perkara, jika terdapat di dalam diri seseorang maka dengan perkara itulah dia akan memperolehi kemanisan iman: Seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada selain keduanya, mencintai seorang hanya kerana Allah, tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia juga tidak suka dicampakkan ke dalam Neraka. (Bukhari : no. 15, Muslim : no. 60, Tirmizi : no. 2548 Nasaie : no. 4901)

Namun, dalam suasana kita sekarang yang begitu jauh dengan Rasulullah SAW dari segi masa, adakah tidak berpeluang lagi untuk kita memberikan cinta kepada Rasulullah SAW? Sekalipun Rasulullah SAW telah meninggalkan kita jauh di belakang, sesungguhnya cinta terhadap baginda boleh dbuktikan melalui kepatuhan serta kecintaan terhadap sunnahnya. Oleh yang demikian, orang yang memandang hina malah mengejek-ngejek sunnah Rasulullah SAW tentunya tidak boleh dianggap sebagai orang yang menyintai Rasulullah SAW.

3. Cinta Sesama Mukmin
Interaksi kasih sayang sesama mukmin adalah merupakan pembuluh utama untuk menyalurkan konsep persaudaraan yang begitu utuh. Cinta sesama mukmin inilah yang mengajar manusia supaya menyintai ibu bapanya. Malah mengherdik ibu bapa yang bererti merungkaikan talian cinta kepada keduanya adalah merupakan dosa besar sebagaimana yang disebut di dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah r.a katanya:

“Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w, baginda telah bersabda: Mahukah aku ceritakan kepada kamu sebesar-besar dosa besar: Ianya tiga perkara, iaitu mensyirikkan Allah, mengherdik kedua ibu bapa dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu..” (Hadis riwayat Bukhari, no. 5519, Muslim : no. 126)

Alangkah indahnya sebuah agama yang mengajar penganutnya agar menghormati dan menyintai kedua ibubapanya yang telah melalui susah payah untuk membesarkan anak-anak mereka. Di manakah lagi keindahan yang lebih sempurna selain daripada yang terdapat di dalam Islam yang mengajar umatnya dengan pesanan :

“..Dan hendaklah engkau merendah diri kepada keduanya kerana belas kasihan dan kasih sayangmu, dan doakanlah (untuk mereka, dengan berkata): "Wahai Tuhanku! Cucurilah rahmat kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah mencurahkan kasih sayangnya memelihara dan mendidikku semasa kecil." (Surah Israk, ayat 24)

Selain daripada cinta kepada kedua ibubapa ini, Islam juga meletakkan cinta sesama mukmin yang beriman sebagai syarat kepada sebuah perkumpulan atau jemaah yang layak bersama Rasulullah SAW. Hayatilah betapa dalamnya maksud firman Allah SWT :

“..Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam)...(Surah Al-Fath, ayat 29) Malah, Al-Quran sendiri menukilkan betapa pujian melangit yang diberikan oleh Allah SWT kepada golongan Ansar yang ternyata menyintai golongan Muhajirin dengan cinta suci yang berasaskan wahyu Ilahi. Malah dalam keadaan mereka berhajat sekalipun, keutamaan tetap diberikan kepada saudara-saudara mereka dari golongn Muhajirin. Firman Allah SWT yang bermaksud :

“..Dan orang-orang (Ansar) yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi orang-orang yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula dalam hati mereka perasaan berhajatkan apa yang telah diberi kepada orang-orang yang berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang yang berhijrah itu lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kekurangan dan amat berhajat. ..”(Surah Al-Hasyr, ayat 9)

Bukankah ini yang telah diajar oleh Islam? Maka di tengah-tengah kecaman keganasan yang dilemparkan kepada Islam pada hari ini, kenapa tidak masyarakat antarabangsa malah umat Islam sendiri melihat bahwa betapa agungnya unsur kasih sayang dan cinta yang terdapat di dalam Islam? Namun, betapa agungnya cinta di dalam Islam, begitu jualah agungnya penjagaan Islam sendiri terhadap umatnya agar sama sekali tidak mencemarkan kesucian cinta dengan kekotoran nafsu. Itulah cinta di dalam Islam. Ia tidak dapat tidak haruslah diasaskan di atas dasar keimanan kepada Allah. Alangkah ruginya cinta yang lari dari landasan iman. Akan hanyutlah jiwa-jiwa yang menyedekahkan dirinya untuk diperlakukan oleh ‘syaitan cinta’ sewenangnya-wenangnya

Cinta Dunia Remaja : Tragedi Yang Menyayat Hati
Tidak ada orang yang boleh mendakwa dirinya lari daripada mainan perasaan. Asal saja ia bernama manusia, maka sekaligus dirinya akan dicuba dengan mainan nafsu yang bagaikan lautan ganas yang begitu kuat bergelombang. Salah satu darinya ialah mainan cinta.

Tidak sedikit orang yang rebah kerana cubaan ini. Dalam berbicara persoalan peringkat pembinaan ‘cinta lutong’ (cinta monyet, terj, ed), mungkin menarik untuk menilik pendapat dari Syauqi. Benar kata Syauqi, cinta lutong ini bermula dengan mainan mata yang tidak mempunyai sempadannya; ia kemudiannya diikuti dengan sahutan suara dan saling berhubung. Sampai peringkat tersebut, amat sukar sekali bagi pasangan cinta untuk tidak bertemu dan berdating (berkencan, terj, ed) sekaligus mendedahkan diri kepada aksi yang lebih hebat. Oleh kerana itulah, Islam dalam menjaga kesucian cinta dari dicemari oleh unsur-unsur nafsu meletakkan batasan pandangan seorang muslim dan muslimah. Firman Allah SWT yang bermaksud :

“..Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya tentang apa yang mereka kerjakan...”(Surah An-Nuur, ayat 30)

Betapa bahayanya cinta lutong ini boleh dilihat apabila pasangan yang dhanyutkan olehnya tidak akan berupaya untuk berfikir secara waras lagi. Setiap detik dan masa yang berlalu tidak akan sunyi dari memikirkan persoalan cinta mereka. Setiap saat, jiwa sudah tidak mampu lagi untuk tenteram sekiranya tidak diperdengarkan dengan suara halus dan lunak yang berbicara dengan kata-kata yang hanya layak diperdengarkan di dalam kelambu.

Sudah berkubur cita-cita perjuangan dan sudah lebur harapan masyarakat yang dipikulkan di atas bahu, yang ada hanyalah kehendak memuaskan hati pasangan masing-masing. Lantas, di saat demikian, layakkah orang yang hanyut ini diharapkan memikul tanggungjawab melaksanakan tugas penting membimbing masyarakat? Apakah penyelesaian terhadap permasalahan ini? Jalan yang paling baik ialah perkahwinan. Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud :

“..Wahai golongan pemuda! Sesiapa di antara kamu yang telah mempunyai keupayaan iaitu zahir dan batin untuk berkahwin, maka hendaklah dia berkahwin. Sesungguhnya perkahwinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka sesiapa yang tidak berkemampuan, hendaklah dia berpuasa kerana puasa itu dapat mengawal iaitu benteng nafsu..”(Bukhari : no. 1772, Muslim : no. 2485)

Selain daripada perkahwinan yang tentunya merupakan perkara yang hampir mustahil untuk dilaksanakan dalam dunia seorang penuntut ilmu, maka Rasulullah SAW mencadangkan puasa sebagai jalan terbaik melepaskan diri dari kekangan nafsu yang meronta-ronta. Selain daripada itu, Islam sama-sekali tidak membuka pintu yang lain. Selain daripada perkahwinan, tidak dapat tidak, hanyalah kawalan terhadap jiwa mampu menyelamatkan diri sendiri dari turut terjun dalam arus ganas cinta lutong.

Sesungguhnya cinta sebelum perkahwinan adalah cinta palsu yang walaupun dihiasi dengan rayuan-rayuan halus namun ia adalah panggilan-panggilan ke lembah kebinasaan! Dan sekalipun kekosongan jiwa daripada cinta lutong secara zahirnya adalah penderitaan dan kesunyian yang begitu hebat, namun itulah hakikat cinta sejati kepada Allah. Andainya hati dihiasi dengan rayuan-rayuan syaitan yang seringkali mengajak ke arah melayan perasaan, maka hilanglah di sana cita-cita agung untuk menabur bakti kepada Islam sebagai medan jihad dan perjuangan.

Percayalah, masa muda yang dianugerahkan oleh Allah hanyalah sekali berlalu dalam hidup. Ia tidak akan berulang lagi untuk kali kedua atau seterusnya. Meniti usia remaja dengan berhati-hati dan mengenepikan mainan perasaan adalah merupakan perkara yang amat sukar sekali. Apatah lagi, semakin dihambat usikan perasaan, semakin ia datang mencengkam dan membara. Namun, itulah mujahadah melawan perasaan. Sekadar perasaan dan diri sendiri menjadi musuh, alangkah malunya untuk kita tewas terlalu awal. Usia emas yang diberikan ini alangkah baiknya andainya digunakan sebaik mungkin menggali sebanyak mana anugerah di bumi ilmu.

Namun, kita manusia boleh tertewas bila-bila masa sahaja. Tidak kira siapapun kita. Sekalipun kita arif malah benar-benar mengetahui bahawa yang hadir hanyalah sekadar tipuan, namun kita bisa rebah dalam ketewasan yang kita sendiri sebenarnya merelakannya. Oleh yang demikian, apakah yang akan menyelamatkan selain keimanan, ketakwaan dan kecekalan?

Oleh : Ahmad Fadhli bin Shaari http://www.geocities.com/afadhlis/politik18.htm
Dengan penyesuaian beberapa bagian ke dalam bahasa Indonesia agar mudah dimengerti tanpa merusak isi artikel, Edit oleh: Ade Anita (adeanita_26@yahoo.com.au)



sumber : kafemuslimah.com

Kamis, 24 Maret 2011

Indahnya Kemiskinan

“Kamu pinjam beras ke Bulek Budi dua kilo nak!” Begitu perintah Ibu yang hampir setiap pekan keempat setiap bulan saya dengar. Jatah beras yang diterima Bapak setiap tanggal 10 tidak cukup untuk menghidupi tujuh orang anaknya. Bulek Budi, tetangga sekitar 50 meter dari rumah kami adalah salah satu ‘langganan’, tempat kami meminjam beras. Pak Budi memang satu kantor dengan Bapak kami. Bedanya Pak Budi secara ekonomi kondisinya jauh lebih baik daripada kami. Saya sendiri, sebenarnya terlalu dini untuk mengetahui urusan perekonomian orangtua. Yang saya mengerti satu, bahwa jika Ibu menyuruh saya untuk pergi ke Bulek Budi, berarti ‘gentong’ tempat Ibu menyimpan beras sudah kosong.

Bulek Budi bukan satu-satunya tetangga tempat kami meminjam beras, tempat kemana saya membawa tas kecil yang sudah usang sebagai tempat beras. Mbah Tun, perempuan tua yang biasa melewati depan rumah kami bila beliau ke mushollah, tidak jauh dari tempat kediaman Bulek Budi juga tidak ketinggalan. Kadang pula ke Bude Kinama, selain beberapa nama yang tidak perlu saya sebutkan disini. Meski waktu itu saya masih kecil, saya merasakan lebih ‘enak’ jika pinjam beras ke rumahnya Mbah Tun. Itu karena saya hampir setiap hari biasa main, tepatnya kerja sambilan, di rumah beliau. Saya setia memberi les membaca menulis, matematika, menggambar, atau apa sajalah kepada cucu-cucu Mbah Tun, yang tidak kurang dari 10 orang jumlahnya. Saya mendapatkan imbalan jasa atas kerjaan ‘sampingan’ tersebut. Mbah Tun kadang menyuruh saya untuk memijati kakinya yang sudah keriput termakan usia. Langkah-langkah kaki beliau yang penuh varices sudah tidak lagi tegar. Sambil berjalan membungkuk, Mbah Tun meminta bantuan saya “Capek nak. Tolong Mbah dipijatin ya?” Saya mengangguk setuju. Sebagai anak kecil yang mungkin polos, dalam hati saya juga butuh, sekali lagi, imbalan jasa.

Cucu Mbah Tun terpencar di tiga rumah yang bersebelahan dengan rumah beliau. Masing-masing dibelakang, dan disebelah kiri rumahnya. Setiap hari saya hampir harus selalu bergiliran berkunjung ke tiga rumah tersebut. Mbah Tun dan anaknya tempat dimana beliau tinggal, tergolong mampu. Kepergian saya kesana setiap hari, sejauh pengetahuan saya, juga diharapkan. Bahkan akan ditanyakan jika sehari saja tak muncul. Sekalipun anak Mbah Tun seorang guru SD, ironisnya, saya yang waktu itu berumur sekitar 12 tahun, justru yang mengajari anak-anaknya. Subhanallah. Saya pribadi rasanya tidak memikirkan waktu untuk belajar buat diri sendiri. Orangtua saya juga tidak pernah mananyakan “Kamu sudah belajar nak?”

Di sekolah, saya sering membantu teman-teman yang ‘malas’ untuk menulis pelajaran di bukunya. Dengan membantu menuliskannya, saya mendapatkan imbalan apakah itu berupa uang, snack, hingga peralatan sekolah seperti buku, pensil atau ballpen. Pendeknya, dengan begitu saya tidak perlu risau dengan uang saku yang nyaris tidak saya terima dari Ibu sehari-harinya. Bagaimana saya bisa mengharapkan uang saku, jika untuk kebutuhan makan sehari-hari di rumah saja kurang?

Mbah Tun dan ketiga anaknya sering memberi saya makanan untuk saya bawa pulang ke rumah. Entah kenapa, dari hasil pemberian tesrsebut, saya tidak merasa malu. Nasi, sayur, ketela, roti atau apa saja yang bisa dimakan seringkali saya bawa ke rumah. “Ini kamu bawa pulang nanti nak!” Kata Mbah Tun yang menganggap saya tidak beda dengan cucu-cucu beliau. Andai ada nasi yang sudah basi pun saya tidak menolak, karena sama Ibu biasa dikeringkan kemudian dipakai sebagai sarapan pagi. Subhanallah! Melihat ‘keindahan’ kehidupan waktu itu, nasi basi yang dikeringkan, ditanak lagi, diberi sedikit kelapa dan garam, nikmat saja rasanya. Itulah barangkali karunia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, kecuali yang miskin seperti kami barangkali.

Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kesulitan orangtua membeayai uang sekolah SMP waktu itu. Setiap hari saya harus berjalan kaki lebih dari 6 km pulang pergi ke sekolah, kecuali jika ada truk yang bisa saya tumpangi. Sepatu sekolah yang saya kenakan acapkali bekas sepatu seragam pabrik salah satu kakak saya yang ikut membantu meringankan beban orangtua. Tiga dari sepuluh anggota keluarga kami, termasuk Ibu, kerja sambilan menjahit sarung di salah satu pabrik di kota kami.Dari situ akhirnya saya juga bisa menjahit, setidaknya pakaian saya yang robek. Bukankah Rasulullah juga menjahit sendiri pakaiannya? Sayangnya kerja mereka tidak berlangsung lama, karena pabriknya segera ditutup. Ini yang membuat kakak-kakak saya tidak kuasa untuk meneruskan pendidikannya. Dua orang kakak saya hanya sanggup sampai SMP, dua orang kakak lagi hanya SD, sementara saya sendiri yang mulai masuk SMP dengan beaya yang saya tidak tahu, bagaimana orangtua saya mengusahakannya. Dan dua adik yang masih kecil.

Seringkali saya tidak tidur di rumah karena harus memberikan les di beberapa tempat tadi. Saya sendiri waktu itu tidak mengerti apakah ini namanya pemberian les private. Yang penting saya akan mendapatkan imbalan dari mengajari anak-anak kecil disana-sini. Saya juga mengajari Ibu saya yang buta huruf. Subhanallah, Ibu akhirnya bisa membaca meski tulisan yang dibaca harus besar-besar. Dan tandatangan beliau pun saya yang mengajarinya. Saya ‘bangga’ bisa memberikan sedikit ‘sumbangan’ bagi beliau.

Yang menguntungkan adalah, rumah kami dekat dengan kantor desa. Pak Lurah sepertinya tidak keberatan dengan saya manfaatkannya kantor desanya untuk mengajari anak-anak, padahal waktu itu saya juga masih anak-anak. Disana kebetulan ada papan tulis dan kadang-kadang juga kapur. Saya gunakan kesempatan baik ini. Jadilah saya ‘guru kecil’.

Bilamana Ramadan tiba, kami senang sekali. Entah ada makanan atau tidak, puasa di kampung melahirkan perasaan yang tersendiri. Puasa pun bukan menjadi halangan bagi saya untuk mencari kayu di hutan. Waktu itu belum ada larangan bagi kami untuk mencari kayu disana. Yang pasti, kami tidak mencari kayu jati, sengon atau pinus yang dimanfaatkan untuk membangun rumah atau perabotan. Kami mencari kayu kering kecil-kecil buat menghidupkan api dapur. Saya tahu Ibu tidak mampu membeli minyak tanah setiap saat. Saya masih ingat ketika pertama kali mencari kayu, kelas 5 SD, ingin menangis rasanya, karena tidak tahu bagaimana harus menebang kayu. Dengan golok kecil yang tidak tajam ditangan, saya mencoba menirukan apa yang dilakukan teman-teman. Pada akhirnya toh saya bisa melakukan, sehingga pernah suatu saat halaman depan rumah yang luasnya kira-kira 40 meter persegi, penuh dengan kayu bakar. Sekali lagi, saya bangga bisa memberikan ‘sumbangan kecil’ ini bagi Ibu saya.

Saya benar-benar tidak mengerti apa arti cinta orangtua terhadap anaknya waktu itu. Setiap pagi yang saya dengar “Nggak bangun kamu?”. Kemudian saya dengar “Blakkkk...!”, Ibu membuka jendela, yang membuat kami terjaga karena kedinginan. Saya tidur di ‘amben’, sebutan tempat tidur tanpa kasur yang umum di desa-desa. Tempat tinggal kami tidak jauh dari hutan, sekitar 3 km. Pagi hari sesudah sholat Subuh, suasana terasa segar, petani sudah banyak yang lalu-lalang pergi ke sawah. Orang yang berbelanja ke pasar mulai membuka kesibukanmya. Tidak sedikit pula yang sekedar jalan-jalan pagi seusai sholat. Sementara Ibu menyiapkan sarapan buat kami, jikapun ada. Bila kami tidak melipat selimut, Ibu bertanya “Siapa yang kamu pikir akan melipat selimutmu?”, sebuah pertanyaan yang amat menyentuh rasa tanggungjawab kami. Demikian halnya jika sesudah makan lantas kami tidak mencuci piringnya, “Kamu pikir siapa nanti yang akan mencuci piring tersebut?” Subhanallah. Kami yang masih anak-anak waktu itu tidak menyadari bahwa kelak, itu semua amat membantu diri kami sendiri menjadi orang-orang yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang kami perbuat, hanya berangkat dengan melipat selimut dan mencuci piring diwaktu kecil!

Ibuku kurus sekali waktu itu, entah karena kekurangan makan atau terlalu banyak memikirkan kami, atau kedua-duanya. Sementara kami berada di sekolah, agaknya Ibu berjalan kesana kemari, bisa jadi mencari pinjaman atau sekedar membantu saudara-saudara Bapak saya yang punya pekarangan, agar setidaknya bisa mendapatkan sesuap makanan buat anak-anaknya, saya tidak tahu. Bila ada makanan ekstra, Ibu biasanya juga bilang “Jangan dihabiskan, ingat lainnya!” Maksudnya ingat saudara-saudara lainnya yang berjumlah tujuh orang. Saya merasakan, jadi orang miskin itu akan ‘jauh’ dari saudara, teman bahkan ‘kenikmatan’ dunia.

Terkadang saya mendengar Ibu agak uring-uringan kepada Bapak sebab memang penghasilan Bapak tidak cukup. Saya tahu itu karena bilamana saya ingin pergi ke kota bersama Bapak yang berangkat kerja, kala liburan tiba, beliau tidak mengendarai kendaraan umum, melainkan truk, gratis. Bagi saya hal itu tidak ubahnya ‘hiburan’. Ketika saya diajak ke kantin dekat kantor ternyata beliau tidak membayar cash alias hutang. Subhanallah, Bapak ku, hanya karena ingin menyenangkan hati anaknya, harus hutang ke kantin tersebut. Aku bisa mengerti hutang tidaknya ini sesudah cukup ‘besar’ tentunya.

Kami tidak sendirian dilanda kemiskinan waktu itu. Masih banyak keluarga-keluarga lainnya yang bisa saja jauh dibawah kami tingkat penderitannya. Rumah kami memang tembok, tapi itu warisan yang diberikan kepada Ibu dari nenek beliau. Setiap akhir pekan, biasanya ada saja ‘hiburan’ yang dipertontonkan oleh orang-orang kota yang datang ke desa kami. Saya sebagai anak-anak ikut saja melihat acara tersebut tanpa berpikiran negatif. Sesudah saya besar saya baru mengerti bahwa tontonan tersebut adalah bagian dari kegiatan kristenisasi di desa kami. Beberapa tetangga kami yang kemudian memeluk Kristen, mereka yang secara ekonomi juga lemah seperti kami, ternyata bagian dari korban kristenisasi tersebut.

Ramadan ini adalah puasa ketiga Ibu kami tidak bisa ikut menikmatinya. Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak mendahului beliau jauh sebelumnya. “ Bangun, sudah hampir Imsak!” Begitu suara Ibu yang hampir setiap hari kami dengar kala Ramadan tiba, padahal belum tentu ada makanan yang buat ukuran sekarang ‘layak’ kami makan. Begitu seringnya Ibu bilang “Makan apa nanti ?”, sehingga makan nasi dan garam atau terasi saja, bukan asing bagi kami. “Aku akan cari bayam !” kadang saya tawarkan pada Ibu sekiranya tidak ada sayur. Maksud saya adalah, bayam-bayam liar yang ada di sawah-sawah orang lain itulah yang saya cabuti. Astaghfirullah. Sekiranya perbuatan ini disebut mencuri, saya memohon ampun kepadaMu ya Allah atas segala kekhilafan hambaMu yang kala itu didera kemiskinan!

Walaupun kefakiran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bisa membawa kekufuran, mencuri kayu di hutan, hutang yang belum tentu dilunasi tepat waktu, mencuri bayam di ladang.....adalah buah dari kemiskinan ini, sekarang saya bisa merasakan, betapa kemiskinan waktu itu ternyata juga ‘indah’. Orang hanya akan bisa menikmati dan mensyukuri besarnya nikmat dan karunia Allah SWT sesudah mengenyam kemiskinan. Apakah karena alasan tersebut Rasulullah Muhammad SAW lebih memilih kemiskinan dibanding harus menjadi raja yang kaya raya? Apakah karena hikmah dibalik kemiskinan yang besar inilah sahabat-sahabat Rasulullah memilih menjadi melarat? Subhanallah! Adakah Ibu dan Bapakku di Alam Baka sana mengerti rahasia dibalik semua ini? Bahwa kemiskinan kami dulu yang membuat saudara tidak dekat, teman jadi langka, keindahan dunia menjadi mahal, ternyata buahnya begitu indah? Berbahagialah orang yang bisa belajar kehidupan ini dari kemiskinan.

sumber : eramuslim

Inferiority Complex

Inferiority Complex. Apaan tuh? Perasaan malu (shyness), kehilangan kepercayaan diri (diffidence), sifat takut/malu-malu (timidity), atau istilah trendnya anak muda sekarang MINDER dan NGGAK PD. Kok bisa gitu ya? Pertanyaan itu melintas dikepalaku. Kenapa minder dan nggak pd? Kita kan Muslim.

Sebelum kita nyari obatnya, tentu kita bakalan cari dulu sebabnya. Kalo aku pikir-pikir, akar permasalahannya adalah datang dari keimanan. Kita mengalami “erosi” iman,....bahkan bukan lagi erosi, namun sudah menjadi “longsor”. Perkembangan teknologi, kemajuan zaman, globalisasi, modernisasi, semua ibarat air hujan yang sedikit demi sedikit mengikis keimanan, bahkan dibeberapa kasus ibarat air bah yang mengakibatkan terjadinya longsoran iman, membawa semua keimanan itu dalam aliran bah.

Seiring terkikisnya dan hilangnya keimanan itu, kita mulai meraba-raba, mata mulai melirik, telinga mulai dipertajam, akal pikiran dimainkan. Buat apa? Buat mencari pijakan dan pegangan. Dan decak kagum pun muncul, ketika mata menemukan fokus yang indah, yang lebih maju dari segi peradaban dan teknologi, namun miskin dari segi rohani, dunia barat. Barat menjadi kiblat, identitas ditunjukkan dengan meniru stylenya barat, gaya hidup berputar 180 derajat. Otakpun mulai melakukan perbandingan dan hitungan matematis, yang sudah pasti persentasenya selalu lebih di barat. Hasilnya, barat adalah “kiblat” dan “figure” yang patut diikuti.

Trus, hubungannya dengan inferiority complex itu apa? Sudah pasti ada. Kalau kita mempelajari Islam, yakin akan keislaman kita, keagungan ajaran Islam, inferiority complex nggak bakalan terjadi. Tapi kondisi sekarang, sepertinya cenderung menganggap bahwa Islam itu sendiri kolot dan terbelakang, sehingga melahirkan perasaan minder dan nggak pede tadi untuk mengakui keislaman kita.

Sebenarnya, anggapan itu keluar, karena kita tidak mau melihat kembali sejarah Islam itu sendiri. Karena kalau dibandingkan dengan masa kejayaan Romawi dan Yunani, kejayaan Islam adalah yang terpanjang dalam sejarah, bahkan perkembangan barat yang diilhami dengan era renaissance pun mengalami fase kekosongan (vacuum).

Kita lihat saja betapa banyak ilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran para ahli-ahli muslim. Dibidang kedokteran, yang kita memandang dunia barat itu sangat maju, padahal banyak sekali konstribusi ahli-ahli kedokteran Islam dari zaman dahulu. Sebut saja, Al Zahrawi (976-1013) yang bukunya menjadi standar bagi Eropa dalam ilmu bedah dan juga anatomi selama berabad-abad, atau Ibn al Quffi (630-1286) yang bukunya itu mengetengahkan permasalahan traumatologi serta ilmu bedah dari kepala hingga kaki. Konstribusi ahli-ahli kedokteran Islam ini meliputi keseluruhan aspek kedokteran. Atau Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang dikenal sebagai bapak kimia, Ibn Sina (981-1037) yang konstribusinya diberbagai bidang, mulai dari kedokteran, filosofi, eksiklopedia, matematika dan juga astronomi. Siapa lagi? Ada Ibn Rusyd, Ibn Khuldun, Umar Al-Khayyam, dan masih banyak lagi.

Kemampuan para ilmuwan islam ini menjadikan sebutan ilmuwan rangkap atau eksiklopedia, karena penguasaan mereka terhadap beragam keilmuan. Jadi, apa yang membuat kita minder dan nggak pede dengan sekian banyak kekayaan islam itu sendiri.

Gimana dengan zaman sekarang? Bagi yang masih ingat dengan Abdus Salam, peraih nobel fisika tahun 1979, yang penelitian-penelitiannya tidak terlepas dari keyakinannya akan ilmu Allah, dan keyakinannya bahwa Al Quran adalah penuntun dalam segala ilmu.

Kalo aku sih, memandang ke barat itu boleh saja, tapi kita hanya memandang, sedangkan pegangan kita tetap pada 2 pusaka kita, Al quran dan Hadist.

”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".” (QS 3:32)

”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS 3:132)

Barat itu memang maju secara peradaban dan teknologi, tapi rohaninya miskin. Lihat saja negara-negara Eropa yang dari segi tatanan sosial lebih bagus. Tapi, kemiskinan rohani membuat mereka lelah untuk hidup dan memilih meninggalkan dunia dengan paksa dengan jalan bunuh diri.

Dari data WHO, The world health report 2001, disebutkan bahwa di Eropa sendiri, penyebab kematian tertinggi kedua adalah bunuh diri. Di Amerika serikat sendiri, kisaran 19 – 20-an persen masih mewarnai angka korban bunuh diri. Kenapa? Toh mereka sudah maju, peradaban maju dan teknologi nggak kurang modern. Tentu saja statistik itu saja nggak cukup, namun aku cuma mau memperlihatkan bahwa kemiskinan iman gampang sekali mendorong kita ke hal-hal seperti itu.

”..... Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS 4:29)

Aku pikir, yang bisa kita jadikan perbandingan dan cambuk buat kebangkitan kita itu adalah bagaimana mereka bisa maju, tatanan sosial mereka yang harmonis, perekonomian mereka yang bagus, pendidikan yang baik, dan sebagainya. Namun, jangan salah, kalau kita mau mempelajari Islam, sebenarnya semua itu sudah ada di dalam Al Quran dan Hadists, berikut pula dengan buktinya, yaitu sejarah kejayaan Islam.

Jadi, jangan lagi berpikiran bahwa orang yang memegang teguh syari’at itu kolot, pergi ke pengajian dianggap kuno, nggak ngeceng di mall disebut kuper, dan sebagainya. Aku yakin banget, dengan pemahaman tentang keislaman secara baik akan menghapus segala rasa minder dan nggak pede itu, inferiority complex, dan menjadikan kita bangga sebagai muslim. Jadi jangan seperti lirik lagunya Arie Wibowo, Singkong dan Keju.

...Bajumu dari Paris.
Sepatumu dari Italy.
Semua demi gengsi.
Semua serba luar negeri....

sumber : eramuslim

Ini Adalah Sebuah Kisah

Ada seorang kyai pemilik sebuah pesantren kecil yang punya seekor burung Beo. Burung beo ini pandai sekali bercakap-cakap. Dia memang dipelihara sejak masih kecil oleh Kyai tersebut. Sebut saja namanya Kyai haji Mustafa.

Kyai Haji Mustafa ini sangat sayang pada burung beonya. Burung beo ini ditaruhnya di depan kamarnya yang memang menghadap teras sekaligus menghadap bangsal kelas pesantrennya. Jadi, hampir tiap pagi hingga sore burung beo tersebut mendengar suara anak-anak pesantren tadarrus Al Quran dan ditambah dengan tiap malam mendengar ceramah agama islam yang memang dilakukan setiap sepuluh menit menjelang waktu tidur. Karenanya, tidak heran kalau burung beo itu selalu melafalkan kalimat-kalimat thayibah setiap kali dia mengeluarkan suara-suara yang meniru suara manusia. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, rasanya sudah sering keluar dari mulut burung tersebut.

Tentu saja dengan suara pelo khas burungnya. Bahkan, jika burung itu sedang tidur lalu ada yang mengagetkannya, maka burung tersebut langsung spontan mengeluarkan kalimat “Astaghfirullah.”. Hal ini membuat Kyai Mustafa kian sayang pada burungnya tersebut. Murid-murid di pesantren itu, karena melihat gurunya begitu sayang, juga ikut menyayangi si burung dan merawat serta menjaganya dengan sebaik mungkin.

Suatu hari, di siang hari yang panas terik, ketika Kyai Mustafa sedang istirahat di kamarnya tiba-tiba dia mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya.

“KWAAAKKKK..” Begitu bunyinya. Itu adalah suara khas seekor burung Beo. Spontan Kyai Mustafa melompat dari tidur siangnya dan berlari menghampiri si Burung Beo. Ada apakah gerangan? Ternyata, seekor kucing besar telah menerkam burung beonya. Kucing itu segera berlari melihat kehadiran Haji Mustafa. Darah berceceran di mana-mana dan leher burung beo yang malang itu nyaris terputus. Lidah si Beo menjulur ke luar. Burung kesayangan telah pergi menghadap Allah SWT. Haji Mustafa terpaku melihatnya, hilang kata-katanya, bahkan kesedihan pun tak langsung terasakan karena rasa terkejutnya itu. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Hanya itu kalimat yang sempat meluncur dari mulutnya.

Hari-hari selanjutnya, Haji Mustafa jadi terlihat murung. Dia tampak semakin sering menyendiri dan mengasingkan diri dari keramaian sekitarnya. Murid-muridnya ikut sedih dan berduka. Melihat gurunya sedih, semua murid di pesantren itu juga ikut sedih dan tak bergairah. Mereka berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar guru mereka kembali bersemangat seperti dahulu. Karena biar bagaimanapun, yang mati tidak akan kembali. Maka mereka semua bersepakat untuk membelikan seekor burung Beo yang baru yang juga sudah pandai berkata-kata. Hadiah itu diberikan pada sang guru dengan harapan bisa menghilangkan kesedihan sang guru.

Demi melihat hadiah dari murid-muridnya, haji Mustafa termenung. Ditatapnya semua murid-muridnya satu persatu.

“Tahukan kalian, mengapa aku bersedih dan sering menyendiri setelah kepergiaan burung beoku?” Murid-muridnya menggeleng. Dalam hati mereka berkata, apakah hadiah yang mereka berikan tidak memenuhi standar yagn dikehendaki gurunya?

“Aku bersedih bukan karena kehilangan si Beo. Bukan anak-anak. Aku bersedih karena aku berada di dekat si Beo ketika nyawanya meregang. Aku terkejut, karena si Beo yang lidahnya sudah sangat fasih mengucapkan kalimat Thoyibah, yang mulutnya tak henti memuji Allah bahkan yang terkejutnya pun tak pernah lupa pada nama Allah, ternyata di akhir hidupnya, yang keluar dari mulutnya bukan nama Allah. Burung Beo itu lupa dengan semua kalimat Thoyyibah yang sudah dihapalnya justru di akhir hidupnya. Aku sedih, sangat sedih karena aku takut, jika malaikat datang mencabut nyawaku, aku takut akupun seperti si Beo. Lupa pada Allah.” Naudzubillahi min dzaliik.

Hmm… itu cerita Haji Mustafa dan burung beonya seputar masalah kematian.

Kematian

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Bisa jadi, kematian adalah satu-satunya hal yang pasti di alami setiap manusia. “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…”(Quran 4: 78)

Kita mungkin kelak menjadi orang tua, Kelak mungkin menjadi orang kaya tapi Mungkin pula menjadi orang miskin. Kita mungkin saja mempunyai anak dan keluarga, mungkin juga tidak. Kita mungkin bisa mengalami kesuksesan tapi mungkin saja kebalikannya. Sedangkan kematian ? Setiap kita dapat dipastikan akan mengalaminya. Sesungguhnya, kematian adalah sesuatu yang amat dekat, lebih dekat dari urat leher kita bahkan, namun sering terlupakan.

Rasulullah pernah membuat garis-garis horizontal di pasir dan mengatakan : “Ini adalah angan-angan manusia,” Kemudian ia manggambar garis-garis vertikal sambil berkata, “Ini adalah hambatan atau kendala dari garis-garis horizontal tersebut.” Kemudian dibuatlah garis yang mengelilingi garis horizontal dan vertikal itu berbentuk kotak di luar kedua garis yang dibuatnya di awal tadi. “Ini adalah kotak ajal manusia. Jika ia selamat dari yang ini (garis vertikal) tentu tak akan selamat dari yang ini (garis kotak)”. Yaitu kematiannya.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”(Quran 3: 185)

Kita sering berpikir soal cita-cita dan harapan hidup. Adakalanya setinggi bintang di langit. Kita ingin bisa seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria “orang sukses” di dunia ini. Dalam mencapai cita-cita tersebut, ada saja hambatan yang akan menghadang. Kita mungkin berhasil melewati berbagai kendala lain, namun tidak mungkin mengatasi kematian. Karena itu, sudahkah kita berpikir soal cita-cita mati : Mati seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria “orang yang sukses” hingga saat kematian datang menghampiri mereka ? Orang yang sukses menghadapi sang maut adalah mereka yang menutupi hidupnya dengan indah (husnul khotimah).

Cita-cita bisa mati dalam keadaan husnul khotimah, itulah cita-cita orang yang ingin sukses hingga titik akhir hidupnya.

Siapa mereka ? Yaitu orang yang menjalani hidup dengan istiqomah (konsisten dengan amal soleh), atau orang yang selalu menjaga diri dari perbuatan dosa juga orang yang terbiasa melakukan evaluasi terhadap setiap amalnya. Mereka adalah orang yang senantiasa menjaga kakinya dari menyambangi tempat maksiat. Mereka juga tidak menggunakan anggota tubuh untuk berbuat dosa. Mereka selalu ingat akan Allah, berbuat karena Allah, untuk Allah.

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”(Quran.21: 34-35).

Hamid Al-Qushairy berkata, “Setiap orang di antara kita yakin akan datangnya kematian, sementara kita tidak melihat seseorang bersiap-siap menghadapi kematian itu. Setiap orang di antara kita yakin adanya neraka, sementara kita tidak melihat orang yang takut terhadap neraka, sementara di antara kita yakin adanya surga sementara kita tidak melihat ada yang berbuat agar bisa masuk surga. Untuk apa kalian bersenang-senang ? Apa yang sedang kalian tunggu ? Tiada lain adalah kematian. Kalian akan mendatangi Allah dengan membawa kebaikan ataukah keburukan. Maka hampirilah Allah dengan cara yang baik.”

Soal kapan dan bagaimana mereka mati tidak menjadi persoalan, karena ini rahasia mutlak Allah.

Bisa saja kematian merenggut kala mereka tergeletak di tempat tidur, ada kalanya di saat kepala tersungkur sujud, ada kalanya pula di medan peperangan bersimbah darah. Atau bisa jadi kematian datang ketika kita sedang tertawa, atau bisa juga ketika kita sedang menangis. Kematian bisa datang ketika kita sedang mengalami kesadaran tapi bisa juga ketika kita sedang tidak sadarkan diri.

Salman al-Farisi ra, meninggal setelah sakit keras. Menjelang kematiannya, Saad bin Abi Waqqash menengoknya. Saad melihat Salman sedang menangis. Saad bertanya keheranan, “Ya Aba Abdillah, mengapa engkau menangis, padahal Rasulullah saw meninggal dalam keadaan senang kepadamu, begitu pula para sahabatnya.?” Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut mati atau karena cinta dunia, tetapi aku teringat akan pesan Rasulullah saw, “Hendaklah kalian mencari dunia seperti halnya seorang musafir membawa bekal perjalanannya,” sedangkan engkau melihat apa yang ada di sekelilingku ini “ Sa’ad berkata, “Aku melihat di sekeliling Salman yang ada dalam ruangan itu, tetapi aku tidak melihat kecuali barang-barang yang tidak bernilai lebih dari dua puluh dirham.” Sesudah menjelang ajal, Salman berkata pada istrinya, “Bawalah kemari tempat misk (minyak kesturi) itu. Ambilkan seember air !” Salman lalu memasukkan misk itu ke dalam air, kemudian ia memerintahkan kepada istrinya, “Percikkan air itu ke sekitarku karena sebentar lagi akan datang makhluk Allah yang tidak mau disuguhi makanan, tetapi senang pada wangi-wangian, kemudian kaututup pintu dan tinggalkan aku seorang diri.” Istrinya berkata, “Aku melakukan perintahnya dan aku menunggu sebentar di luar kamar. Tak lama, aku mendengar suara lembut dari dalam, lalu aku cepat-cepat masuk dan ternyata ia sudah meninggal dunia.

Innalillahi Wainna ilaihi rajiun. Sesungguhnya segala sesuatunya itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Kita memohon kepada Allah atas karunia dan Kasih-Nya, agar dijadikan golongan orang-orang yang bersegera mengejar ketertinggalan (dalam beramal), termasuk dalam golongan orang yang berhati-hati dengan datangnya kematian, mempersiapkan bekal diri sebelum mati, dan mengambil manfaat dari segala petunjuk serta nasehat.

“Ya Rabbi, sungguh kami telah mendengar seruan yang menyeru kepada iman : “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kamipun beriman. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan kesalahan kami, serta matikanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat kebajikan. Ya Rabbi, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul-Mu, dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat nanti. Sungguh Engkau sama sekali tidak akan pernah menyalahi janji. (Quran 3: 193-294)

“Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami serta memberi rahmat kapada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”(Quran 7 : 23)

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, yang tiada Tuhan pantas disembah melainkan Engkau yang telah menciptakan diriku. Aku adalah hamba-Mu, yang dengan segala kemampuanku perintah-Mu aku laksanakan. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan yang aku perbuat terhadapMu. Engkau telah mencurahkan nikmatMu kepadaku, sementara aku senantiasa berbuat dosa. Maka ampunilah dosa-dosaku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”

‘Allahumma, ampunilah kesalahan-kesalahan, kesengajaan, kebodohan dan keterlaluanku, serta dosa yang terdapat pada diriku.”

“Allahumma, perbaikilah urusan agamaku yang menjadi pegangan bagi setiap urusanku. Perbaikilah duniaku yang disitulah urusan kehidupanku. Perbaikilah akhiratku yang kesanalah aku akan kembali. Jadikanlah hidupku ini sebagai tambahan kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat peristirahatan dari setiap kejahatan.”

Aamiin, Allahumma Aamiin.

Ade Anita (adeanita_26@yahoo.com.au)


sumber : kafemuslimah.com

Inilah Hidup


Hidup ini memang menyajikan berbagai cerita dan berbagai fenomena yang menakjubkan. Tak terbayangkan. Seorang ayah yang dia hanya bisa bekerja dan bekerja bagi keluarga, kemiskinan yang menimpa mereka itu adalah garis hidup yang mustahil diubah (anggapan mereka).

Di sisi lain, seorang remaja yang hanya memikirkan bagaimana tampil cantik dan menarik. Mereka tak berpikir bahwa hidup ini menuntut orang untuk berjuang, dan ada orang di luar sana yang hanya bisa merenungi dan menerima nasib menjadi orang yang tidak beruntung. Ada juga orang yang hanya bisa memperhatikan, mengamati dan berusaha menghibur mereka yang merasa kurang beruntung.

Inilah hidup. Sekali lagi, inilah hidup. Dunia memang aneh. Allah menciptakan semua ini pasti memberikan pelajaran yang berharga, bagi orang-orang yang berpikir. Islam mengajarkan umat manusia untuk berzuhud terhadap dunia, qonaah (menerima) dan istiqomah sebagai napak tilas di jalan surga. Inilah salah satu fenomena hidup yang sempat terekam oleh mataku…..

Ketika kutelusuri jalan menjelang maghrib, kulihat laki-laki 40-an sedang mendendangkan sebuah lagu di sebuah restoran mewah. tampak orang-orang di sana ada yang acuh, ada sedikit memberi perhatian. Pernahkah kalian bayangkan bagaimana perasaan laki-laki itu tatkala melihat orang-orang yang kelihatannya lebih sukse dari dia? Pernahkah terpikir oleh kalian apa yang terlintas dalam benaknya takala menyadari mereka lebih beruntung darinya? Aku juga tak tau itu. aku juga tak tahu seberapa besar kekuatan kesabaran, keikhlasan dan kepasrahan yang ada di benaknya. Aku juga tak tahu di mana di menyimpan keping-keping kesonbongan dan rasa malu. Aku rasa di sudah mampu berdamai dengan takdir. Dia orang yang tegar di jalan kehidupan. Ya…. Merekalah pahlawanku masa kini.

Kata orang pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan harta, jiwa dan darah yang dimiliki untuk kepentingan bangsa dan Negara. Pahlawan adalah orang yang tidak membebani Negara dan mampu mengangkat derajat bangasa di mata dunia.

Tapi entah kenapa menurutku pahlawan di masa bukan seperti definisinya tepatnya untuk kasus yang satu ini. Pahlawan masa kini bukan lagi orang yang rela mengangkat senjata dan mengorbankan nyawa. Pahlawanku bukan pula para politikus, pejabat pemerintahan ataupun pe-men, batman dan supermen. Pahlawanku adalah pahlawan yang rela pergi pagi pulang sore. Dengan berbekal keikhlasan dan keyakinan bahwa nanti sore dia akan membawakan sesuatu untuk keluarganya. Merekalah pahlawna masa kini ku. Yang hidup sederhana, tanpa embenani orang lain. Yang hidup pas-pasan tanpa membebani Negara dan tak mengemis surat pembebasan utang pada Negara.

is_ismi@yahoo.com
buat teman2ku jazakillah atas masukannya

sumber : eramuslim

Inspirasi

Suatu ketika Mohamdas Karamchand Gandhi akan berangkat dari Durban menuju Pretoria, Afrika Selatan untuk membantu sahabatnya, Dada Abdulla dalam suatu kasus persidangan. Saat itu Gandhi adalah seorang pengacara terkenal di Afrika Selatan. Ia sudah terkenal di kalangan penduduk India dan penduduk lokal di Afrika Selatan. Tatkala menunggu kereta berangkat, Gandhi mencoba untuk membaca buku yang diberikan Dada Abdulla. Baru sampai pada halaman pertama, Gandhi dikejutkan oleh suara lantang dari petugas kereta api. "Hei, Kuli", begitu panggilan seorang Inggris terhadap warga kulit hitam di Afrika Selatan. "Kamu tidak seharusnya berada di sini." Gandhi memang berada di gerbong kelas eksekutif yang biasanya ditempati oleh bangsawan-bangsawan Inggris kelas atas. Gandhi menjawab, "Saya sudah membayar tiket kelas eksekutif ini, jadi saya berhak dan sudah seharusnya mendapat pelayanan yang sama dengan penumpang di gerbong ini." Memang pada saat itu perbedaan antara penduduk lokal maupun pendatang dari India dengan penduduk berkulit putih khususnya Inggris sangat terasa. Mereka yang berkulit hitam sering mendapat perlakuan semena-mena walaupun dari kalangan terpelajar sekalipun.

Apa daya, walaupun Gandhi bersikeras untuk tetap duduk di kursi kelas eksekutif, petugas kereta api itu memaksa dengan kekerasan agar Gandhi duduk di kelas biasa. Akhirnya Gandhi yang bertubuh kecil tidak bisa melawan kekerasan dari petugas kereta api yang badannya jauh lebih besar. Ia ditendang keluar dari kereta, semua barangnya pun dihamburkan begitu saja keluar dari kereta. "Jangan lupa bawa bukumu ini, Kuli", demikian kata petugas kereta api membuang buku yang diberikan sahabat Gandhi, Dada Abdulla. Buku itu dilempar dan mengenai kepala Gandhi sehingga terjatuh di sampingnya. "Apakah nasib kami akan terus seperti ini?", pikir Gandhi meratapi nasibnya. Ketika merapikan barangnya Gandhi secara tidak sengaja membaca satu bagian halaman yang terbuka dari buku yang tadi mengenai kepalanya tadi. Bagian itu berbunyi:

"Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang utusan pada tiap-tiap bangsa untuk menyerukan: "Sembahlah Allah, dan jauhilah godaan shaitan", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS. An Nahl:36)

Ternyata buku yang diberikan sahabat Gandhi adalah Quran. Sejak membaca penggalan ayat tersebut, Gandhi mulai tergerak hatinya untuk mengajak kaum tertindas di Afrika Selatan dan akhirnya India untuk melawan penjajah. Konon sejak saat itu, Gandhi selalu membaca Qur'an sebagai salah satu referensi penting dalam perjalanan hidupnya, terutama dalam meraih kemerdekaan India dengan cara damainya. Subhanallah!

***

Kejadian di atas, penulis ambil dari film "The Making of Mahatma", sebuah film tentang perjalanan hidup Gandhi. Bagian dimana Gandhi membaca Qur'an sangat berbekas dalam ingatan ini. Qur'an menjadi sumber inspirasi penting dari dimulainya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita pun akan ingat bagaimana seorang yang keras dan selalu berprinsip semua permasalahan diselesaikan dengan pedang seperti Umar bin Khattab, bisa luluh hatinya oleh bacaan Qur'an dan terinspirasi untuk ikut serta dalam menyebarkan ajaran Islam.

Inspirasi dari Allah juga diberikan oleh Allah kepada siapa yang mau mengamati ciptaannya. Kita ingat bagaimana Salman Al Farizi terinspirasi untuk membuat parit di sekeliling kota Madinah, karena melihat keadaan geografis yang menguntungkan pasukan Muslim jika menghadapi serangan. Kita juga ingat bagaimana Jabal Al Thariq yang terinspirasi untuk membakar kapal pembawa mereka dari dataran Maghribi ke Spanyol untuk membakar semangat para pasukannya. "Tidak ada jalan ke belakang lagi, hanya ada satu jalan yaitu terus maju ke depan, Allahu akbar!", demikianlah kata-kata yang dilontarkan Jabal Al Thariq untuk memberi inspirasi kepada pasukannya.

Allah memberikan kita berbagai macam inspirasi lewat berbagai ciptaannya. Tinggal bagaimana kita bisa menangkap inspirasi itu untuk dijadikan sebagai pemicu dalam berbuat sesuatu yang besar, sesuatu yang dapat memberikan inspirasi lagi bagi anak cucu kita. Wallahu'alam bishshawab.

Zulfikar S. Dharmawan
zulfikar@ukhuwah.or.id



sumber : eramuslim